Cinta di D’Pala Foodcourt - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Senin, 02 Juni 2025

Cinta di D’Pala Foodcourt



Sebut saja namanya Isa. Ia pengunjung D’Pala Foodcourt, sebuah pujasera yang dipercayakan oleh sepupu saya untuk dikelola bersama keluarga. Sudah setahun ini ia menjadi pengunjung tetap.

Pesanannya bisalah tertebak. Es teh, es cappuccino sachet, atau saat dingin menusuk tulang ia bakal pesan jahe anget. Saat pesan es ia request tak menggunakan sedotan. Sepertinya ia menikmati menyesap minuman yang tersaji.

Minuman yang ia pesan bersanding dengan bola ubi atau minipao. Menu-menu dan harga yang minimalis pasti jadi favorit anak-anak SMA. Kalau lapar biasanya pesan nasi telur. Akhir-akhir ini ia senang mengudap salad sayur yang saya buat.

Ia sering menyendiri. Di tengah ramainya teman-teman yang sama-sama ngumpul di D’Pala. Ia memilih mojok dengan laptop dan headphonenya. Karena sudah di penghujung SMA. Ia pun belajar sendiri. Benar-benar ia duduk di ujung sambil memandang jalanan. Sering kali ia menutup kepalanya dengan hoodie hijau pastel yang ia pakai.


Anaknya soft spoken banget. Sopannya Masya Allah. Kalau mengucapkan terima kasih ia meletakkan salah satu tangannya ke dada. Saya kira semua orang tua yang berhadapan dengannya langsung merasa jatuh sayang. Apalagi kalau sudah ngobrol dengannya. Saya aja betah kok ngobrol sama anak ini.

Satu saat suasana Foodcourt sedang sepi. Tak biasanya ia duduk di meja bar, dekat dengan kasir. Awalnya ngobrol random aja. Lama-lama ia bicara tentang cita-citanya. Saat ia bercerita saya merasa anak ini butuh sesuatu.

Berawal dari cerita bahwa ia lebih menyukai gadis yang dewasa. Sebagai anak sulung yang dituntut apa-apa harus sendiri. membutuhkan seseorang yang bisa mengarahkannya. Akhirnya ia bercerita tentang keluarganya.

Ia sangat mencintai keluarganya. Bahkan terhadap Ayah yang sering berbicara dan melakukan kekerasan fisik padanya. Ia menahan diri tak pernah mengeluhkan apapun pada Ibunya. Karena ia tahu beban ibunya sangat berat. Ibunya tulang punggung dalam rumahnya. Makanya tak ingin sedikitpun ia menambah pikiran sang ibu karena ia berpikir ialah yang akan menjadi sandaran ibunya.

"Apapun yang pernah Ayah lakukan ke saya. Saya tetap sayang dan hormat sama Ayah. Kalau saya melakukan hal-hal buruk karena beliau. Saya yang nggak tega melihat sedihnya Ibu dan adik."
Begitu katanya saat ia bercerita tentang apa yang pernah sang ayah lakukan padanya. Saya yang menahan air mata mendengarnya.

Ia tak pernah bercerita pada sahabat-sahabatnya. Karena menurutnya ia dibutuhkan oleh teman-temannya untuk berpikir paling waras. Semua masalah sahabatnya ia tahu. Namun mereka tak boleh tahu apa yang bergejolak dalam dadanya.

"Sebenarnya itu nggak baik ya, Buk? Saya takut suatu saat bisa meledak karena nggak kuat menahan semuanya. Gimana ya Buk, saya bener-bener nggak bisa curhat sama teman, sedeket apapun. Ini aja ada temen ngajak ketemuan di sini karena pengen cerita."

"Sekarang kamu punya tempat bercerita, Nak. Ada Ibuk, ada Bapak. Bisa sama Kak Anya dan Mas Lilo juga."
Ia tersenyum, sambil menganggukkan kepala. Ekspresinya seperti terlihat lega, layaknya beban terangkat dari pundaknya.

Sering kali saat ia bercerita mata sayalah yang berkaca-kaca. Ia tersenyum dan berkata, “Saya nggak papa kok Buk. Beneran.”

Semakin ia berusaha meyakinkan saya jika baik-baik saja. Saya malah makin merasa anak ini tak bisa dibiarkan sendiri. Saya tahu rasanya jadi anak sulung. Menjadi tumpuan keluarga. Menjadi orang yang paling diandalkan.

Satu persatu cerita tentang keluarganya mengalir. Meski tak seutuhnya. Sedih rasanya melihat senyum getirnya. Tapi saya lega. Setidaknya sekarang ia punya tempat untuk bercerita.
“Ibu, saya pengen berterima kasih pada Ibu. Sebelumnya saya tak pernah berani menatap orang jika bercerita. Tapi sama Ibu saya belajar banyak.”
Ia berkata begitu sambil meletakkan kedua tangannya di dada dan sedikit membungkukkan badannya. Manusia setengah baya ini kan langsung meleyot ya?

Saat ia mengalami kegagalan.

28 Mei 2025 pengumuman SNBT dibuka. Pas saya nggak ke foodcourt. Malam hari saat Paksu pulang ia bercerita jika Isa tak lolos SNBT.
“Salam dari anakmu,” goda Paksu.
Saya ingat obrolan terakhir tentang ketakutannya jika tak lolos SNBT. Ia berpikir jika harus UM maka ibunya harus menyediakan biaya lebih untuk membayar UKT maupun IPI. Tiba-tiba saja rasa khawatir saya menyeruak. Tanpa mikir lagi saya DM Isa. Dan anak ini emang fast response. Ia langsung membalas DM saya.


Setelah hari itu saya lihat ia kembali belajar di foodcourt. Di temani oleh cemilan favorit ia kembali lagi sibuk dengan soal-soal. Terkadang sampai jam tutup ia masih berada di foodcourt. Bahkan pernah hanya dirinya sendiri pengunjung yang belum pulang.

Biasanya saya strict banget sama aturan. Orang tahunya kalau saya yang jaga jam 22.00 tepat semua harus sudah pulang. Isa mengubah kebiasaan saya. Karena saya punya harapan. Perjuangannya belum selesai.

Isa, hidup itu isinya perjuangan. Semoga Allah mudahkan perjalananmu. Tak ada yang sia-sia atas apa yang kamu lakukan selama ini.

Tidak ada komentar:

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih