Apa yang kalian bayangkan tentang arti sebuah pernikahan? Kalau dalam hukum Islam doa yang paling sering dipanjatkan adalah menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Atau yang lebih umum adalah happily ever after. Apakah pernikahan itu memang bahagia selamanya?
Tentu saja tidak. Dalam agama yang saya anut pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Kalau membayangkan bahagianya bersama dengan orang yang dicintai dan dikagumi sepenuh hati. Tentunya semua orang ya pengen berada dalam ikatan pernikahan.
Sayangnya menikah itu tidaklah semudah itu. Kebahagiaan itu tak datang dengan sendirinya. Kebahagiaan dalam pernikahan adalah ikhtiar dari kedua belah pihak untuk mewujudkannya. Perjuangan yang tidak mudah untuk selalu bersama. Berada dalam satu rumah dengan seseorang yang tak memiliki hubungan darah dengan kita. Akan tetapi kita harus berkompromi dan bekerjasama jika kita menginginkan pernikahan yang dimiliki bisa berjalan lama, bahkan selamanya.
Menikah bukan hanya dengan pasangan. Akan tetapi dengan lingkungan yang dimiliki oleh pasangan. Keluarga, teman, pekerjaan sering kali menjadi batu sandungan jika kedua belah pihak tak memiliki kesepakatan untuk menurunkan ego masing-masing. Untuk itu pasangan harus saling berkorban demi sebagai wujud cinta orang dewasa.
Apa saja sih bentuk nyata dari pengorbanan pasangan dalam melanggengkan ikatan suci yang disaksikan oleh Sang Pencipta dan para mahluk langit? Sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan oleh pasangan. dan beberapa contohnya ada di bawah ini
Saling meredam emosi negatif saat ada masalah.
Emosi memang perlu divalidasi. Perlu adanya pengungkapan emosi apalagi emosi negatif. Akan tetapi yang perlu diingat adalah emosi negatif itu dibicarakan bukan dilampiaskan. Itu dua hal yang berbeda. Berbicara dengan nada tinggi, berkata-kata kasar, menendang pintu, itu adalah contoh melampiaskan emosi negatif. Melampiaskan emosi negatif di satu sisi akan melegakan. Tapi sisi yang lain akan menyakitkan pasangan. Antara manfaat dan madharatnya lebih besar yang mana?
Akan tetapi saat kita membicarakan ketidaksukaan kita pada apa yang dilakukan pasangan dengan nada yang biasa saja atau rendah, itulah yang dinamakan validasi emosi.
Biasanya antar pasangan akan lebih menghargai jika keduanya berbicara dengan nada yang rendah.
Setiap konflik dibicarakan dengan kepala yang dingin. Saat hati dan kepala panas, ada baiknya menjauh barang sejenak, daripada saling menyakiti satu sama lain. Namun jangan sampai terlalu lama saling menjauh. Diusahakan sebelum naik ke tempat tidur masalah telah dibicarakan sampai selesai.
Memberi waktu dan perhatian.
Tak memungkiri jika kedua belah pihak sama-sama lelah setelah seharian beraktivitas. Ada urusan kantor, ada pula yang lelah dengan urusan anak dan rumah. Bagi perempuan waktu yang diinginkan bisa jadi sekadar didengarkan keluh kesahnya. Tak harus memberikan solusi. Laki-laki hanya siap mendengarnya bercerita apa yang terjadi hari itu.
Bagi laki-laki waktu yang dibutuhkan bisa jadi istirahat dengan tenang tanpa direcokin oleh anak. Makanya sang istri perlu memberikan jeda bagi laki-laki untuk sekadar tenang ketika masuk ke dalam rumah. Mandi sore, scroll HP, atau sekedar main dengan peliharaan. Jika penatnya telah lewat bolehlah istri bercerita apa yang menjadi ganjalan hatinya hari itu.
Mengutamakan kebutuhan pasangan atau keluarga.
Untuk yang satu ini saya mengalaminya sendiri. Paksu begitu jarang membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. saat gajian yang dipikirkan adalah anak dan istrinya. Apa kira-kira kebutuhan saya atau anak yang paling urgent, itu akan menjadi prioritasnya. Bahkan saya sering menemui sepatunya yang jebol, baju yang koyak, celana yang sobek tetap ia pakai sehingga sayalah yang mikirin apapun kebutuhannya.
Bisa jadi itu adalah wujud dari tanggung jawabnya sebagai laki-laki. Meski banyak juga laki-laki yang sulit untuk memiliki perasaan yang serupa.
Adaptasi dengan berbagai perubahan
Perubahan bisa jadi berpindah tempat tinggal, mengubah karir atau mengalami masa sulit finansial. Itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk diterima. Saya pun pernah mengalaminya saat beberapa kali suami mengalami kehilangan pekerjaan.
Kejadian yang sangat membekas dalam ingatan saya adalah akhir tahun 2016 sampai pertengahan tahun 2017. Delapan bulan suami mengalami jobless. Pendapatan saya sebagai frelancer tentu saja tak mampu menutup kebutuhan sehari-hari. Tabungan pun terkuras habis. Untuk berhutang kok rasanya kelu.
Sering kali saya mengalami tak memegang uang sepeserpun.
Panik? Tentu saja. Akan tetapi semuanya saya pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Buat saya yang terpenting adalah tak memberatkan suami dengan hal-hal yang saya alami. Saat itu kami menjalani Long Distance Marriage.
Berbagai pertolongan Allah saya dapatkan lewat orang-orang terdekat. Tanpa harus bercerita berbagai rezeki datang lewat mereka. Kuasa Allah terlihat begitu nyata bagi saya.
Memaafkan, meskipun terluka.
Saya pernah ngobrol dengan salah satu teman yang sering kali saya ajak tukar pikiran. Baginya ketika pasangan masih melakukan hubungan baik dengan tuhannya. Masih bertanggung jawab pada keluarga. Tidak mendua. Dan tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Baginya pernikahan tersebut masih layak dipertahankan.
Bagi saya, pernikahan yang saya jalani tidak mulus-mulus saja. Ada masa 20 tahun pernikahan saya mengalami berbagai ujian. Dan ini adalah bagian pengorbanan saya yang paling besar menurut saya. Luka dalam pernikahan pernah saya alami. Bahkan saya pernah merasa ingin menyerah karena merasa tak mampu bertahan.
Sepuluh tahun pertama saya memilih bertahan karena ingat anak-anak. Sepuluh tahun kedua pada akhirnya saya bertahan karena suami mengalami gangguan kepribadian. Ia perlu ditolong. Saya yang tadinya mikir bahwa saya adalah victim. Berusaha untuk mengubah sudut pandang.
Menjadi helper. Meski terkadang begitu lelah. Akan tetapi saya tetap berusaha untuk mendampingi. Karena apa yang pernah ia lakukan sebenarnya juga tak ia kehendaki.
Kami datang ke profesional. Bersyukurnya saya, suami menerima kondisinya. Banyak laki-laki yang tak mau ego dan harga dirinya turun karena kelemahannya. Setelah mendapatkan assesment. Alhamdulilah perubahan suami begitu kentara.
Dua tahun sudah hal itu pernah terjadi. Sejauh ini masih aman terkendali. Saya dan suami sama-sama berusaha untuk mengendalikan diri. Sama-sama mengorbankan ego masing-masing. Untuk memberikan rasa aman dan damai. Tak hanya buat kami. Yang terpenting adalah untuk anak-anak.
Pernikahan tak ada yang ideal. Seperti sebuah kehidupan. Tak ada yang sempurna. Semua melalui kompromi di antara kedua belah pihak. Untuk sama-sama berjuang. Tak sayang untuk berkorban. Apalagi jika layak untuk dilakukan.
Pengorbanan dalam pernikahan adalah memilih untuk tetap bersama. Bukan karena mudah. Akan tetapi karena itu berharga.
Tidak ada komentar:
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih