Juli 2022 - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Rabu, 06 Juli 2022

Drama Operasi Tumor Payudara (2)
operasi tumor payudara sebelah kiri



Udah baca Drama Operasi Tumor Payudara yang pertama? Kalau belum, langsung klik DISINI ya?

Sekitar jam 22.00 perawat masuk ke dalam kamar. 
"Bu, puasa mulai jam dua belas malam ya, Bu. Sekarang makan aja sebanyak-banyaknya. Ibu besok puasa bisa sampai jam enam sore lho."

Baiklah ... Saya pun sahur di tengah malam dengan hasil kulineran si Kakak saat itu. 



Pagi hari sekitar jam enam sudah harus berganti dengan pakaian khusus untuk operasi. Pakaian yang nggak ada kancingnya itu lho, yang dipakainya pun dibalik. Pengalaman dua tahun lalu, pasien operasi pengangkatan tumor payudara hanya diizinkan memakai celana dalam selain pakaian operasi.

Setelah mandi saya pun mengambil pakaian dalam untuk ganti. Entahlah ... kudu ketawa atau ngomel sama si Kakak.

“Kak, yang dibawa kok CD yang bolong semua?”
“Kan Bunda nggak bilang kudu bawa CD yang mana.”
“Kalau operasi kan dibuka pakaian operasinya. Ya gimana kalau itu dokter sama perawat lihat daleman Bunda?”
“Kan nggak bilang yang mana to? Kupikir ya yang paling sering Bunda pakai aja.”

Haduhhh ...
Langsung saya WA ayahnya untuk membawakan dalaman yang masih lumayan bagus. Untung beliau baru mau berangkat sehingga terselamatkanlah saya dari daleman bolong. Sekitar jam 6.15 perawat masuk untuk memasang infus di tangan kanan saya. Sambil ngobrol dan bercanda mbak perawat.

suasana di rumah sakit

Seorang laki-laki memakai baju abu-abu tiba-tiba masuk ke dalam kamar rawat inap saya. Dengan mata yang minus 3,5 saya nggak begitu jelas melihat siapa yang masuk ke dalam kamar tiba-tiba. Posisi saya tiduran pula. Bayangan saya adalah rohaniawan yang mau ngedoain kayak di rumah sakit di Muntiilan, kota kecil saya. Saya bingung nyari jilbab, sementara mbak perawat yang masih merapikan pemasangan jarum infus di tangan saya menatap heran.

“Assalamualaikum,” suara laki-laki itu.

Sedetik saya mengenali suara itu langsung pecah tawa saya. Saya nggak ngenalin jaket abu-abu yang dipakai oleh si Ayah.

“Ealah Bu Irfa, belum di anestesi aja sudah nggak inget suaminya,” celetuk mbak perawat sambil terkekeh melihat reaksi saya. “Saya yang belum pernah lihat suaminya aja langsung paham itu suami Bu Irfa lho.”

Mbak perawat masih terkekeh saat keluar kamar. Sampai ditanya oleh perawat yang di luar. Tak berapa lama dokter Welman masuk. Beliau menandai mana yang akan di operasi.

Proses Operasi

Sekitar jam 9.55 saya mulai dibawa ke luar kamar rawat inap. Si Kakak mencandai saya.

“Aku tuh pengen tahu. Kalau Bunda pas nge-fly ngapain ya? Kan ada tuh yang nyanyi, ada juga yang curhat. Kalau bunda kira-kira perawat di ruang operasi diajak julid nggak ya?”

Jangan sampai ah...
Saya ingat waktu operasi dua tahun lalu yang saya pikirkan adalah waktu shalat karena mikir kalau operasinya lama. Dan begitu sadar saya langsung minta shalat. Kali ini begitu masuk ruang operasi saya berdzikir dalam hati.

Persiapan di ruang operasi lebih lama dari operasi yang lalu karena menunggu dokter Welman yang sedang mengoperasi pasien lain. Di tinggal sendirian di ruang operasi dengan alat yang bergelantungan begitu tetep aja bikin ati ciut. Belum lagi kondisi ruangan yang dingin banget sampai bikin badan menggigil. Tetapi saya tetap berkomunikasi dengan perawat untuk mengurangi rasa takut. Kalau dulu saya benar-benar memejamkan mata mulai masuk ke ruang operasi. Kali ini saya baru memejamkan mata ketika saya mulai dianestesi.

“Bu, operasinya sudah selesai,” lamat-lamat suara perawat masuk ke telinga saya. Lampu di atas saya sudah dipadamkan. Beberapa alat sudah di tutup dan saya merasakan perih di dada kiri. Tanpa sadar saya mengucapkan dzikir berkali-kali. Oleh perawat saya dibiarkan untuk berdzikir. Dzikir saya berhenti ketika sudah nggak nge-fly lagi.

“Ibu sudah sadar sepenuhnya ya? Proses operasi hanya tiga puluh menit, Bu. Nggak ada penyulitnya. Alhamdulillah.”
Saya tersenyum.
“Sebentar lagi Ibu pindah ke ruang perawatan.”

Saya di pindah ke sebuah ruangan. Saat menengok ke samping ada sosok yang terbaring di tempat tidur juga. Ah ... sesama pasien ini.
Tak berapa lama saya dibawa keluar. Saya pun dipindahkan ke tempat tidur yang membawa saya ke ruang perawatan. Si Ayah ternyata menunggu saya di depan ruang operasi. Melihat saya sudah sadar beliay tersenyum dan menggenggam tangan saya.

Pasca Operasi

Efek obat bius masih ada sih. Saya ngantuknya luar biasa. Praktis pasca operasi saya hanya melek untuk shalat dan membalas beberapa WA yang masuk. Sempat juga selfi sebentar, setelah itu tidur lagi. 

operasi tumor payudara


Bakda Ashar perawat masuk untuk mengukur tensi darah dan menyuntikkan antibiotik. Mereka menanyakan hal yang sama.

“Mual atau ingin muntah nggak, Bu?”
“Enggak.”
“Pusing?”
“Enggak juga.”
“Lemas?”
“Enggak juga?”
“Ada keluhan lain, Bu?”
“Laper...”

Perawat tentu aja ketawa. Saya kan memang harus puasa mulai jam 12 malam sampai dengan 6 jam pasca operasi. Selesai operasi jam 11 tentu saja jam 17.00 saya baru boleh minum seteguk seteguk. Baru 30 menit kemudian saya baru diperbolehkan untuk makan, itu pun pelan-pelan.

“Ibu kan tadi di bius total. Kalau bius total kan seluruh organ dalam juga di lemahkan. Makanya harus ada jeda 6 jam untuk memulihkan organ dalam, Bu,” kata mbak perawat yang terakhir datang bakda Ashar itu.

Ketika masanya boleh makan saya benar-benar menikmati. Orang bilang masakan paling nggak enak itu masakan rumah sakit. Kalau saya kok ngerasa enak-enak aja tuh. Semua menu yang dihidangkan oleh rumah sakit saya santap sampai habis.

“Yah, minta nambah sayur boleh nggak ya? Masih laper.”
Si Ayah geleng-geleng kepala aja. Pasiennya kemaruk.

Esok harinya si Ayah berangkat kerja dari RS. Si Kakak dan Adek dateng sebelum si ayah berangkat. Dokter Welman visitasi sekitar jam 06.30.

“Kemarin yang kami angkat adalah bekas air susu yang sudah menjadi nanah, Bu. Kenapa itu perlu diangkat? Yang kami khawatirkan jika terjadi perlengketan dan merusak jaringan sehat. Itu yang membahayakan karena bisa jebol keluar. Sekalian kantong susunya kami ambil, Bu. Sudah tidak berencana untuk hamil lagi, kan?”

Saya ketawa aja. Ya kali umur segini mau hamil lagi.
“Boleh pulang hari ini kan, dok?” tanya saya.
“Boleh.”
Hepi banget. iyalaahhh ...

Kakak dan Adek pun saya minta untuk packing. Infus dilepas sekitar jam 09,30 setelah seperangkat obat antibiotik dimasukkan ke dalam tubuh saya. Karena perban yang digunakan adalah perban plastik, saya pun bisa mandi sesuka hati.

Sekitar jam 12.30 administrasi telah selesai. Seorang petugas masuk ke dalam kamar sambil membawa bill yang harus diurus. Si Kakak lagi keluar karena membeli makanan.

“Ya udah deh, biar saya aja mbak,” kata saya.
“Ibu pasiennya kan?” si mbak petugas nanya.
“Iya mbak.”
“Biasanya kalau pasien dilarang kemana-mana dulu, Bu. Takut kenapa-napa.”

Hihihi ... Lupa euy kalau lagi jadi pasien. Akhirnya Adek yang mengurus administrasinya. Tak berapa lama Adek dateng barengan dengan Kakak.

Setelah shalat Dhuhur, kami pun pulang. Saat merasa kamar sudah bersih, saya pun ruang administrasi bangsal menyerahkan sedikit makanan buat yang ada di sana.

“Lho, Bu. Nggak usah.”
“Nggak papa. Buat semuanya kok.”

Lalu saya dan anak-anak pun melangkah pergi.

Wait ...
Kayaknya ada yang ngganjel sih. Tapi apa ya?
Saya masih mengingat-ingat apa yang salah saat menunggu taksi online. Sampai taksi online datang menjemput saya masih belum nemu apa yang ngganjel. 

Sampai 1 km dari RS. Saya memeriksa tas saya. Menemukan nota pembayaran yang masih rangkap dua.
“Lah ... kok nggak ada surat kontrolnya?”

Oalah ...
Saya lupa memberikan salah satu slip nota pembayaran ke administrasi bangsal. Biasanya saat memberikan nota itu maka pasien pun akan diberikan surat jalan untuk kontrol.

“Mas, bisa nggak kembali ke RS. Ada yang kelupaan.”
“Baik, Bu. Nggak papa.”

Untung si mas sopir baik hati. Tanpa nggrundel tetap melayani sepenuh hati. Saya kembali ke bangsal. Mbak perawat di bangsal mengenali saya.

“Mbak, maaf, saking senengnya pulang sampai lali nyerahin ini lho.”
“Lha iya, Bu Irfa kok nggenjrit mawon. Tadi ya podo ngomong, ’Lho itu lak Bu Irfa to? Itu kan pasien to, kok jalannya sudah gagah gitu?”

Saya ngekek. Selesai urusan nota dan surat kontrol saya pun benar-benar pulang ke rumah.

Operasi kali ini memang lebih ringan dibanding operasi dua tahun lalu menurut saya. Kalau dulu lukanya cukup besar sehingga menghambat saya mengurus diri sendiri, bahkan jalan pun harus sungguh berhati-hati karena gesekan lukanya terasa. Tumor payudara di kanan yang cenderung ke arah ketiak membawa pengaruh pada tangan kanan yang jadi lemas. Bahkan sampai seminggu saya baru bisa mengangkat sendok. Saya tak bisa mengangkat beban yang berat seperti gayung yang berisikan air penuh untuk sementara waktu karena terasa nyeri di lukanya saat itu.

Namun operasi kali ini berbeda. Saya nggak begitu merasakan perih ataupun gesekan di lukanya. Entah karena lukanya yang lebih kecil, atau karena tumor payudara kiri yang letaknya ada di belakang puting jadi nggak berpengaruh dengan syaraf atau otot di tangan. Secara fisik saya merasakan baik-baik saja. Sementara secara psikis sempat merasakan perubahan namun tak lama. Kalau dulu saya merasakan berminggu-minggu perasaan tak nyaman dan insecure. Sementara kali ini cukup sehari dua hari merasakan baper setelah itu enggak lagi. Sudah kembali seperti semula.

Tentang operasi tumor payudara pertama dan perasaan insecure saya bisa dibaca DISINI
 
Dramanya sudah usai. Meski saat menuliskan ini saya jahitan belum diambil namun saya sudah mulai melakukan berbagai aktivitas. Kalau nuruti karep ya sudah motoran kemana-mana :)

Drama Operasi Tumor Payudara (1)
operasi payudara sebelah kiri
gambar : Sasin Tipchai dari Pixabay

Dan terjadi lagi ...

Agustus 2020 saya melakukan tindakan medis pengambilan tumor di payudara sebelah kanan. Kata dr. Isti Sad, Aryanti Sp. Bedah yang menangani saya waktu itu mengatakan bahwa Tumor Mamae Dextra yang ada di tubuh saya itu sudah ada sejak setahun sebelumnya. Ukurannya pun sudah besar sebesar telur bebek. Dan pernah saya tuliskan juga cerita tentang itu DISINI.


SADARI (Periksa Payudara Sendiri)


Februari 2022, saya masih kejar deadline novel yang dipesan oleh sebuah penerbit di Bandung. Tiba-tiba saja saya merasa denyutan tak biasa di payudara sebelah kiri. Denyutan itu serupa rasanya saat kita mau haid. Padahal waktu itu saya baru saja selesai haid. Saya pun langsung curiga.

Saya angkat tangan kiri saya lalu melakukan sadari. Meraba dada sebelah kiri mencari sesuatu yang mencurigakan. Kok nggak ketemu. Lalu saya coba berbaring dan melakukan sadari kembali. Harapan saya cuma kekhawatiran doang. Akan tetapi saya kembali menemukan benjolan di payudara sebelah kiri. Letaknya lebih ke tengah dibanding benjolan payudara kanan yang cenderung ke arah ketiak.

Karena masih kecil, saya diamkan saja. Apalagi kerjaan saya masih butuh banyak perhatian. Pekerjaan yang saya lakukan mulai 17 Januari dan harus selesai 17 April dengan jumlah 400 halaman pastinya akan bakal menguras energi yang berlebih.


Pemeriksaan Tumor di RSUD Kota Magelang

Setelah Idul Fitri, saya baru ngerasa begitu terganggu dengan benjolan ini. Denyutnya makin sering. Apalagi saat itu ada saudara dan teman komunitas yang mengalami Ca Mamae membuat saya beberapa kali mengalami psikosomatis. Setiap habis bertemu atau di telp, saya seperti mengalami apa yang dialami oleh mereka. Terkadang saya merasa sakit punggung rasanya sampai seminggu seperti yang diceritakan teman saya. Lantas pertengahan bulan Juni saya memantapkan diri untuk melakukan pemeriksaan. Seperti dua tahun lalu, oleh faskes 1 di Muntilan saya pun dirujuk ke Rumah Sakit Umum Kota Magelang karena rekam medis saya sudah ada di sana.

Jumat tanggal 17 Juni 2022 saya pun ke Rumah Sakit Kota Magelang karena Jadwal dr. Isti ada setiap hari Senin, Rabu dan Jumat. Qodarullah dr Isti pun ternyata sedang melakukan pengobatan sehingga tak bisa praktek di poli bedah umum. Pemeriksaan pertama di lakukan oleh dr. Narendra, spesialis bedah onkologi

Saya yang orangnya overthinking, berjejeran dengan survivor Ca. Cerita-cerita mereka membuat saya jadi ciut. Sangkaan mereka saya mengalami dengan hal yang sama. Sebelah saya seorang ibu yang usianya mendekati 60 tahun bercerita los banget. Membuat saya begidig dengan cerita luka yang dialaminya saat itu. Alhamdulillah si ibu tinggal melakukan pengobatan satu tahun lagi. Dan saya pun berpindah bangku, saat merasa payudara saya denyutnya makin kenceng.

Oleh dr. Narendra saya dianjurkan untuk melakukan mamografi. Saat berada di radiologi saya harus antri di hari berikutnya karena jatah pemeriksaan di radiologi untuk hari itu dan Sabtu sudah full. Nggak papa juga batin saya, karena hari Senin saya harus datang ke spesialis bedah.

Senin 20 Juni 2022 saya datang ke RS jam 07. 15. Antrian daftar saya sampai 43. Saya pun naik ke lantai 4 menunggu pendaftaran. Saya lihat antrian masih lama. Lantas saya pun turun ke lantai satu di bagian radiologi.

“Dr. nya datang jam 08.30 ya Bu?” kata petugas di radiologi. Saya pun naik lagi ke lantai empat. Antrian di bagian saya masih cukup panjang. Saya menepati waktu jam 08.30 sudah duduk manis di radiologi.

“Dr. nya datang jam 09.00 bu.”

Baiklah ... Saya kembali lagi naik ke lantai empat untuk antri pendaftaran. Saya kudu banyak bersabar karena antrian di atas begitu lama. Karena masyarakat kita selalu menggunakan waktu Indonesia bagian karet, saya pun turun jam 09.30 ke radiologi.

“Ibu, dokter radiologi sedang rapat. Ini pemeriksaan ada dua kali, mamografi dan USG. Mari bu, saya lakukan mamografinya dulu.”

Alhamdulillah ... setidaknya saya wira wiri naik turun lift nggak sia-sia kali ini. Pemeriksaan mamografi dilakukan oleh perawat di sana.

“Benjolannya sudah lama, Bu?”
“Baru beberapa bulan.”
“Ada saudara yang kena kanker Bu?”
“Ada .... tapi ...”
“Kalau ada saudara yang kena kemungkinan kena juga besar, Bu.”

Saya auto ngedrop. Padahal yang saya maksud saudara itu bukan saudara sedarah. Saya males membalas omongan mbak perawat. Saya cukup memasang muka ramah meski hati nggrundel luar biasa.

“Kenapa ya mbak, sekarang saya dianjurkan mamografi sementara dua tahun lalu saya melakukan USG Rontgen?” tanya saya ke mbak perawat.
“Oh ... Mamografi itu digunakan untuk perempuan yang usianya 45 tahun ke atas. Untuk yang payudaranya sudah lembek.”

Dalam hati ya ngekek. Kok ya kudu dijelasin kalau payudara wanita usia 45 tahun sudah lembek gitu lho.
Pemeriksaan mamografi tuh serasa seperti memindai payudara. Saya tak merasakan sakit meski scan itu seperti berjalan di atas payudara pasien. Sebuah kotak kecil yang akan memindai payudara pasien dari tiga sisi. Sisi kanan, kiri dan depan. Biasanya pemeriksaan itu dilakukan di kedua payudara bukan hanya di bagian yang dikeluhkan saja.

Begitu selesai melakukan mamografi saya kembali naik ke atas. Sebelumnya mbak perawat mengatakan jika si dokter akan melakukan kegiatan lain setelah jam 11.00. saya di wanti-wanti untuk datang kembali sekitar jam 10.30.

Pas naik ke atas, belum juga dapet giliran. Lantas saya duduk di dekat ibu-ibu yang ngobrol seru. Ibu-ibu sesama pasien ini pun mengajak mengobrol. Untungnya obrolan mereka emak banget, jadi bisa nyambung lah. Sampai jam 10.30 saya harus ke bawah lagi. Salah satu ibu itu mau mengantrikan jika giliran saya datang.

Saat saya sampai di radiologi saya dipersilakan untuk menunggu dokter di ruang pemeriksaan USG dan mamografi. Si perawat sudah meminta saya berbaring dan melepas baju. Lantas mbak perawat memberikan selimut untuk menutup tubuh sementara dokter belum datang. Ruangan yang dingin membuat nyaman banget dalam selimut tebal. Rasanya sampai terkantuk-kantuk menunggu dokter. Ketika mbak dokter radiologi masuk, saya sempat terlelap sehingga beliau pun tertawa saat membangunkan saya.

Beliau melakukan pemeriksaan USG. Persis kalau kita melakukan pemeriksaan USG kehamilan. Dari pemeriksaan USG ternyata nggak hanya di payudara sebelah kiri. Namun di payudara sebelah kanan pun ada tumornya, namun kecil-kecil tak sampai 1cm. ada dua, namun kemungkinan diambil kecil karena untuk diameter sekian tak nampak saat dioperasi.

Sementara di payudara sebelah kiri ada dua tumor yang ukurannya sekitar 2cm dan tumor itu berdempetan.

Saya terkesan dengan dr Fajar, dokter radiologi di RSUD Kota Magelang. Dengan tutur kata yang lembut beliau menerangkan dan memperlihatkan apa saja yang perlu saya ketahui. menurut beliau dengan USG payudara sebelah kiri saya itu menunjukkan insya Allah itu adalah tumor jinak.

Tumor payudara
hasil pemeriksaan USG dan Mamografi di radiologi

Ciri-cirinya adalah batas gambar yang jelas antara massa tumor dengan jaringan sehat. Massa tumor yang full hitam di gambar USG tersebut. Sementara jaringan sehat adalah gambar yang bergaris-garis. Sementara jika tumor itu kemungkinan membahayakan adalah jika gambar di USG itu batasnya bergerigi atau tak ada batas yang jelas antara massa tumor dan jaringan sehatnya.

Saya masih harus menunggu hasil analisa dari dokter radiologi sehari kemudian. Kontrol saya dengan dokter Welman pengganti dr. Isti akhirnya dilakukan hari Jumat tanggal 24 Juni 2022 karena tanggal 22 saya harus menghadiri undangan acara wisuda siswa siswi Yogyakarta Independent School.

Bertemu dengan dokter Welman beliau menjelaskan apa yang bisa dilakukan. Bahwa tumor ya nggak ada obatnya untuk mengecilkan.

“Ibu siap untuk operasi?”

Pertanyaan yang sudah bisa saya duga. Dan sejatinya saya pun sudah siap melakukan itu lagi. Bukan apa-apa, meski benjolannya tidak besar, namun menurut saya cukup mengganggu dalam kondisi-kondisi tertentu. Kalau sudah merasa terganggu bisa jadi overthinking dan mengganggu keseluruhan aktivitas saya.

Dokter menjadwalkan saya operasi hari Senin, 27 Juni 2022. Namun saat saya ke TPPRI, administrasi yang terkait dengan rawat inap dan pemeriksaan lainnya, ternyata kamar klas 1 full. BPJS saya memang untuk kelas 2. Saya sengaja memilih kamar rawat inap untuk kelas 1. Posisinya adalah saya mendapatkan kabar dari suami bahwa untuk bulan Juni tak bisa mengambil cuti karena ada penilaian kantor di akhir bulan. Mau tak mau saya membawa dua anak untuk menjaga saya.

Kenapa harus dua anak yang ke RS? Bukannya udah gede-gede? Salah satu kan bisa jaga rumah?
Well ... Si Adek tuh persis seperti saya. Anaknya overthinking. Saat operasi dua tahun yang lalu baru ia mengalami ketegangan di leher. Ia kesakitan sampai menangis dan reda saat ayahnya pulang ke rumah. Disarankan oleh Mbak Yana, mbak saya yang psikolog itu. lebih baik Adek di bawa sekalian supaya tahu kondisi ibunya tak seburuk yang dibayangkan. Pengalaman itu membuat saya mengambil keputusan upgrade kamar supaya lebih nyaman buat anak-anak. Kalau Kakak ya jelas, ia jauh lebih paham untuk merawat orang sakit. Selain karena lebih dewasa, perempuan biasanya lebih peka untuk urusan itu.

Jumat itu antrian masih 20 yang inden untuk kamar klas 1. Pihak rumah sakit akan menghubungi jika sudah sampai giliran saya. Perkiraan saya kayaknya Senin belum OP. Lihat antriannya segitu. Apalagi di administrasi cerita kalau kepulangan pasien sekitar 3-4 pasien untuk saat itu. artinya saya masih punya kesempatan menyelesaikan pekerjaan yang DL nya akhir bulan.

Saya pun ngebut ngedit naskah novel yang kurang 7 bab. Menyelesaikan pekerjaan blog yang tertunda. Menyelesaikan tulisan untuk meramaikan event Komunitas Gandjel Rel meskipun masih belepotan tulisannya. Nggak papa, yang penting ikut ngeramein aja wis.

Hari Senin 27 Juni 2022, saya mendapatkan informasi dari pihak RS bahwa antrian masih 9. Saya memutuskan untuk tetap menunggu antrian saja. Bayangan saya, mungkin dua hari lagi saya baru bisa masuk. Dan saya masih bisa menyelesaikan pekerjaan saya yang tinggal sedikit.

Selasa pagi, saya menyelesaikan semua pekerjaan yang DL nya bulan ini. Lega, dan merasa butuh refreshing karena selama beberapa hari nggak lepas dari laptop. Ingat janji saya untuk membelikan bahan untuk baju Kakak kuliah. Selama ini mencari baju yang style nya pas buat Kakak kok sering nggak nemu ukurannya. Akhirnya meski nanti biaya akan jauh lebih mahal saya pun membelikan bahan untuk pakaian Kakak kuliah. Dua bulan lagi kampusnya akan melakukan tatap muka. Mau tak mau persiapan kudu dilakukan.

Berangkat ke Jogja saya sempat mikir. Jangan-jangan saya ke Jogja Rumah Sakit kasih info kalau kamar udah ada. Tapi kekhawatiran tersebut saya pangkas. Orang antrian masih sembilan juga. Saya asyik aja main ke Teh Vanny trus mampir di tempat mbak Ita. Biasalah, kalau main ke Nyonya Sakti tuh dapat banyak pencerahanlah tentang keimanan.

Abis shalat Ashar saya buka WA.

Duengggg ...

pesan dari RSUD


Ada WA dari pihak RS kalau saya harus masuk ke RS jam 16.30. sementara waktu itu pukul 15.40. buru-buru pamit sama mbak Ita setelah sebelumnya meminta masuk RS jam 17.00. Ngebutlah saya balik ke rumah. Asumsi sampai rumah 45 menit dan berangkat lagi ke RS sekitar 20 menit. Cukuplah waktunya. Di jalan saya sempat WA ke Kakak untuk menyiapkan kebutuhan saya. Jalanan padat merayap. Maklumlah, waktunya orang-orang pulang kerja kan? Kudu sabar dan hati-hati. Apalagi di kepala berkecamuk berbagai macam pikiran.

Sampai rumah si Kakak belum mandi. Ngomellah saya. Dari pagi lho dia belum mandi. Akhirnya saya dan Adek berangkat duluan, Si Kakak nyusul untuk nyiapin barang-barang yang belum masuk ke tas. Adek lumayan ngebut ngejar waktu jam 17.00 sampai rumah sakit. Sengebut-ngebutnya Adek tetep nggak bisa ngelawan macet di sore hari. Alhamdulillah sampai RS jam 16.59 lalu mengantri sebentar di loket TPPRI (Tempat Penerimaan Pendaftaran Rawat Inap)

Saya pun diminta untuk melakukan tes darah dan swab antigen. Lalu menunggu untuk pemeriksaan rontgen. Antrian lumayan banyak saat itu.

Agak mellow juga waktu Kakak belum dateng si Adek yang biasanya cool di tempat umum, ini ngelendot sambil mainan HP. Pas saya perhatiin ternyata dia mrebes mili.

“Bunda lak nggak papa to, Dek,” bisik saya. 
Dia cuma menghela napas sambil menghapus air matanya. Ah ... Dia selalu gitu. Nggak tegaan kalau ibunya kenapa-napa.

Proses persiapan masuk kamar rawat inap lumayan panjang. Sekitar jam 19.30 saya baru bisa masuk ke kamar rawat inap. Bener-bener bersyukur saya punya temen komunitas layaknya saudara. Mbak Umi, yang tergabung di IIDN Jogja dan rumahnya di Magelang sempat menemani dan membawakan barang yang Kakak lupa bawa. Bantal dan sajadah dibawa mbak Umi di luar snack-snack pengganjal perut. Bahkan beliau membelikan bantal baru. Ga bisa bales banget mbak Umi. Kecup banyak buatmu.

Si Ayah akhirnya diberi kesempatan untuk menemani saya operasi oleh atasannya meski sehari doang. Namun oleh Kakak beliau diminta istirahat di rumah, gantian dengan si Kakak. Biar si Ayah bisa nemenin operasi. Dan si Adek pun bareng dengan ayah pulang ke rumah. Ayah jemput Adek di depan RS karena penunggu pasien hanya boleh dua orang.

Kesempatan buat si Kakak saat nunggu saya di RSUD Kota Magelang. Samping rumah sakit adalah Mie Gacoan. Sebelahnya lagi McD. Depan McD ada Superindo. 200m dari McD Domino Pizza dan Brownies Amanda. Apalagi yang ia tunggu kalau bukan kulineran?

Biar nggak kepanjangan saya tulis di bagian ke dua ya? Masih mau baca? Langsung klik DISINI