Harusnya saya menulis
tentang hal ini dua bulan yang lalu ketika kisah ini baru saja terjadi. Namun
setiap kali kalimat baru terangkai beberapa saja, saya sudah meneteskan air
mata. Merinding setiap kali mengingatnya. Mungkin sampai tiga kali saya
menyampaikan kisah ini kepada Anya, gadis kecil saya. Untuk menggugah semangat.
Untuk memahami arti sebuah ketegaran.
Sebuah kisah yang menginspirasi.
Bukan dari laki—laki atau perempuan dewasa yang membuat hati saya tergetar. Namun
seorang remaja putri yang usianya belum genap lima belas tahun. Gadis itu,
kakak kelas Anya. Putri sahabat saya yang telah berpulang beberapa waktu lalu.
Sang pembawa kesetiaan bermata
indah seperti batu safir. Kira-kira begitulah kalau saya mengartikan namanya.
Saat usianya belum genap 1 tahun, ia mengalami kelainan di kepalanya. Bocah
lincah itu bisa saja merangkak dengan ceria tiba-tiba pingsan tanpa ada
tanda-tanda. Dokter mengatakan bahwa ada beberapa syaraf yang terendam cairan
di dalam kepalanya. Dan di usianya yang
belum genap 2 tahun pun ia harus berada di meja operasi.
Ia tumbuh menjadi anak yang
cerdas. Anak ragil yang selalu membawa keriuhan dalam rumahnya. Anak yang
selalu ceria. Anak yang bersemangat. Anak yang selalu berusaha menjadi yang
terbaik dalam bidangnya.
Meski anak bungsu, ia jarang
bermanja-manja. Sangat mandiri, tak suka bergantung pada orang lain. Saat
berada di bangku SD, ia sudah melakukan Shalat Tahajud. Dan mengungkapkan
sebuah keinginan yang sangat jarang tercetus dari mulut anak SD. Ingin umroh
bersama keluarganya. Kecerdasan spiritualnya yang berkembang pesat bukan?
22 Mei 2016, pukul 21.50 abahnya
berpulang setelah berjuang melawan tumor otak yang sudah menyebar di kepala.
Dalam rintik hujan malam itu, Ia menangis bersama kedua kakaknya. Dalam pelukan
sang ibu, ia memanggil abahnya.
Tak berapa lama, setelah
tangisnya mereda, ia teringat sesuatu. Esok
hari, ia bersama keempat temannya mewakili sekolah untuk lomba tari modern di
kabupaten.
“Ibuk, aku besok tetep
berangkat.”
Sang Ibu tertegun.
“Kalau teman-temanmu saja
gimana to, In? Sekolah juga pasti mengerti posisimu sekarang.”
“Enggak, Buk. Aku harus ikut
lomba. Aku ketua timnya. Untuk lomba ini aku sudah berlatih tiga bulan untuk
mempersiapkan. Gimana nanti temen-temen kalau nggak ada aku? Tariannya jadi
nggak ada maknanya, Buk.”
“Tapi kondisinya sekarang
beda ...”
“Abah juga tau aku
latihannya kayak apa. Tolong, Buk. Ijinkan aku ikut lomba besok.”
Menghadapi kekerasan tekadnya,
sang ibu pun berkata pada sang kepala sekolah yang berada di rumah itu mengikuti proses perawatan jenazah sang Abah. Dengan cepat kepala sekolah pun
menghubungi panitia lomba, meminta untuk mendapat kesempatan tampil pertama
kali. Supaya gadis ini bisa mengejar waktu sampai rumah. Untuk menghadiri
pemakaman sang ayah.
Pagi hari, setelah shalat
Subuh, gadis ini pun bersiap-siap. Saat berpamitan dengan sang ibu, air matanya
pun kembali mengalir. Sesaat sebelum mencium tangan sang ibu, dia berkata,
”Buk, ijinkan aku pagi ini
melupakan Abah. Supaya aku bisa mempersembahkan yang terbaik buat sekolah.”
Di antar kakak perempuannya
ia berangkat ke sekolah yang berada di depan rumahnya. Di sana sudah ada salah satu ustadz yang semalam mengikuti prosesi perawatan jenazah abahnya. Gadis ini kembali meneteskan air mata. Air matanya
membasahi kemeja sang ustadz dan kakaknya. Dalam pelukan dua orang yang
mengasihinya, ia tersedu.
“Nangis aja nggak papa. Tapi
nanti kalau sudah di make up jangan nangis lagi,” pesan kakak perempuannya.
Gadis itu melakukan pesan
kakak perempuannya. Meski ketika akan berangkat lomba matanya berkaca-kaca. Apalagi
saat kakaknya berkata,” Jadikan ini persembahan terakhir buat Abah.”
Sekuat tenaga ia menahan tangisnya.
Untuk berlomba.
Dan gadis ini tampil di
panggung tanpa air mata. Ia benar-benar tampil seakan tak ada beban. Ia
menyimpan segala tangis dan milyaran kesedihannya. Untuk melunasi tanggung
jawabnya sebagai ketua tim tari sekolahnya.
Begitu turun dari panggung,
sang MC lomba berkata. Bahwa salah satu peserta yang baru saja tampil ayahnya
berpulang tadi malam. Mendengar kata-kata sang MC, pecah sudah tangisnya. Semua
orang yang tergabung dalam tim sekolahnya berpelukan, menangis bersama gadis
itu.
Sore hari, ada senyum di
wajah gadis itu. Saat sang Ibu dan kakak perempuannya masih menemui para pentakziah,
ia memeluk sang ibu dan berbisik, ”Buk, kami juara satu. Besok Agustus maju
lomba tingkat provinsi.”
Saya sangat tahu. Gadis itu
mewarisi kekuatan orang tuanya. Kekuatan sang abah untuk berjuang. Kekuatan
sang Ibu untuk bertahan dalam duka. Ia mempunyai seluruh semangat sang abah dan
ketegaran ibunya. Saya tak mungkin bisa sekuat itu jika berada di posisinya.
Terima kasih, Mbak Ain. Kau
sudah memberikan sebuah pelajaran tak ternilai untuk orang-orang di sekitarmu. Insya
Allah kau akan menjadi qurrotaa’yun seperti yang dipesankan Abah saat masih
sehat.
Masya Allah...luar biasa semangatnya. TFS, Mbak Irfa. btw, namanya cantik banget, sesuai orangnya.
BalasHapusIya mbak Nunung, mereka keluarga yang luar biasa. maturnuwun sudah mampir
HapusPutri sahabat saya yang telah berpulang beberapa waktu lalu.... #semula kukira yg berpulang putrinya...kurang konsentrasi sy..
BalasHapusada Aqua :D
HapusMerinding bacanya, tegar sekali
BalasHapusSemangat :)
Iya mbak Witri, waktu saya diceritain ibunya saya bisa tahan nggak nangis. Begitu keluar rumah nggak kerasa air mata dleweran nggak bisa ditahan. makasih udah mampir mbak
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusmirip nama dan sering dikira laki-laki hehehe. makasih sudah mampir mas Irfan
HapusSerupa tak sama dg si kecil Titin berkepang satu.
BalasHapusAku juga mmbrambang baca tulisanmu waktu itu. Tengkiu udah mampir
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
HapusInspiring bu..
BalasHapusMatur nuwun :)
Hapusmbrebes mili air mataku mbak irfa....smp gak terbendung, untung gak ada yang liat heeee
BalasHapusAku nulis e yo karo mrebes mili mbak T_T
HapusMengharukan... thanks sharenya .. sangat menginsiprasi
BalasHapus:) matur nuwun sudah mampir ke blog ku
HapusInspiratif Sekali jeng Irfa....
BalasHapusMatur nuwun :)
HapusInspiratif Sekali jeng Irfa....
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Hapusinspiratif sekali kisah ini...
BalasHapusMattur nuwun Mbak Amalia sudah berkunjung :)
HapusYa Allah, aku nangis bacanya
BalasHapusAku butuh waktu dua bulan, bahkan lebih untuk nulis tentangnya mbak. Sebelumnya udah nyoba bolak balik nggak kuat atiku. Insya Allah dia kuat banget. She's amazing.
HapusYa Allah...mungkin kalo aku yang mengalami nggak akan kuat kayak Ain. Tegar banget ya
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus