Agustus 2020 - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Minggu, 23 Agustus 2020

Ada tumor di payudara saya


Tumor?

Sering kali saya begidik mendengar kata tersebut. Entahlah, mungkin ada sedikit trauma di diri saya. Beberapa orang dekat dan teman mengalami hal itu membuat saya lebih baik tidak membicarakan ketika ada topik tersebut melewati pendengaran saya.

Seorang sahabat, udah kayak sodara. Ia sudah saya anggap pengganti orang tua mengalami tumor otak. Tak pernah terlihat sakit sebelumnya. Hanya dua bulan sebelum terdeteksi mengidap tumor otak yang ganas ia memperlihatkan tanda-tanda. Sempat berpamitan. Sebelum pada akhirnya ia drop sampai dipanggil oleh Sang Pencipta empat tahun yang lalu.

Kemudian Yaya, anak sahabat saya, mbak Atih sahabat saya. Ani, teman SMP dan SMA saya. Sempat menguatkan hati untuk memberikan support pada mbak Atih dan Ani. Yang paling terasa adalah saat saya memberikan support pada mbak Atih. Benar benar membolakbalikkan hati.

Lantas, kurang dari sebulan yang lalu, saya terdeteksi mengidap tumor payudara. Rasanya tak percaya. Benjolan yang baru teraba ketika saya bercanda dengan Kakak dan sisi di benjolan itu tidak sengaja tersodok tangan Kakak. Rasa nyeri yang benar-benar saya rasakan saat itu membawa sebuah kenyataan. Ada tumor payudara di tubuh saya.

Rasanya tidak percaya. Menangis pun saya tak bisa. Saya melewati fase denial. Saya menyangkal. Bagaimana bisa saya yang rajin berolah raga dan mengonsumsi makanan sehat bisa ada tumornya?

Saya mencoba tenang. Tak memperlihatkan emosi di rumah. Saya tak mau anak-anak terpengaruh, secara kami terbiasa bertiga di rumah setiap harinya. Berkegiatan seperti biasa. Bercanda seperti biasa, meski anak-anak merasakan sedikit perbedaan.

Saya menjalani pemeriksaan setelah dirujuk ke Rumah Sakit Umum Kota Magelang. Bersyukurnya saya, dokter di faskes 1 adalah ibu teman sekelas Adek. Beliau mengirim rujukan ke rumah sakit tipe B dengan pertimbangan di sana ada pemeriksaan mammografi. Kalau rumah sakit tipe C baru menggunakan USG untuk mendeteksi pemeriksaan.

Hari Jumat saya bertemu dokter bedah umum. Diagnosa awal adalah tumor jinak. Kemungkinan tumor itu bersarang di payudara saya sudah satu tahun. Sudah besar. Tak hanya sebesar kelereng. Sang dokter langsung meminta saya untuk cek lab hari itu juga. Ada pemeriksaan darah dan rontgen. Tindakan medis dilaksanakan hari Selasa, setelah hasil cek lab keluar dan diserahkan ke dokter hari Senin.

Sejak awal terdeteksi saya hanya bercerita pada suami, anak-anak, adik-adik dan dua sahabat terdekat yang sudah saya anggap sebagai kakak. Saya menjaga hati supaya tenang, tak banyak informasi masuk sehingga menggoyahkan hati. Saya ingin fokus. Menyiapkan diri dan keluarga supaya bisa bertahan. Lantas dalam perjalanan menuju rumah sakit sebelum tindakan medis barulah saya mengabari beberapa sahabat di circle terdekat.

Mempersiapkan hati anak-anak itu yang paling menguras hati. Berusaha tak menangis itu sebuah perjuangan yang berat. Melihat si Kakak meneteskan air mata di tengah doanya. Memeluk saya dengan erat. Berusaha untuk menahan diri supaya tangisnya tak meledak. Dengan mata yang berkaca-kaca si Adek pun memeluk saya setelah berdoa. Pemandangan emosional itu membuat saya berusaha berbicara dengan suara yang tak bergetar. Sesekali menarik napas dengan maha berat. It was work out. Meski dada mau pecah rasanya.


Menjelang Tindakan Medis.

Program tindakan medis dilakukan hari Selasa. Namun Senin sore saya sudah harus stand by di RS. Was wasnya dobel karena rumah sakit itu merupakan rumah sakit rujukan Covid. Setiap saat melihat nakes memakai APD lengkap keluar masuk membawa pasien.

Saya menempati kamar Anyelir 1. Meski BPJS saya harusnya menempati kelas 2, saya tetap berusaha berhati-hati untuk tidak sharing kamar atau toilet dengan orang lain. Walaupun sebelum masuk bangsal semua pasien selalu melewati rapid test. Lebih baik saya menambah biaya demi keamanan semuanya, kan? O ya, sebagai informasi tambahan sekarang ini jika hendak rawat inap di RS harus melakukan rapid test terlebih dahulu. Selain itu pihak keluarga juga menandatangani pernyataan bahwa pasien tidak boleh dijenguk sama sekali. Penunggu pasien pun maksimal 2 orang.

Bakda Maghrib sedikit drama terjadi. Adek tiba-tiba chat saya begini.


Saya yang panikan pun langsung VCall ke Adek. Makin panik ketika melihat Adek menangis. Adek itu nggak pernah nangis kalau menahan sakit. Lha kok ini bisa nangis tersedu-sedu. PakSu pun langsung pulang ke rumah.

Hati saya embuh rasanya. Melihat Adek menangis, Kakak yang ikut meneteskan air mata sambil mengelus kepala Adek. Sementara saya sendiri harus menyiapkan mental untuk tindakan medis esok hari. Jantung tak segera reda berdebum. Alhamdulillah, nggak berapa lama, pakde nya anak-anak yang ada di sebelah rumah mengabari kalau Adek sudah mendingan. Meski nggak sepenuhnya tenang, setidaknya jantung saya sudah nggak jedag jedug lagi.


Tindakan Medis

Mulai jam 06.00 infus mulai terpasang di tangan saya. Jarumnya jauh lebih besar dari jarum infus yang biasa saya lihat. Sampai delapan hari pasca tindakan medis pun bekas lukanya masih terlihat. Baju operasi pun sudah mulai dipakai di waktu yang sama.

Jadwal operasi di RSU Tidar tak bisa saya ketahui dengan pasti. Semua berdasar on calling dari ruang operasi. Sampai pukul 09.00 saya tanyakan ke perawat pun masih belum ada jawaban. Sampai kemudian pukul 10.15 beberapa perawat masuk ke ruangan saya. Inilah waktu saya menjalani tindakan medis tersebut. Penutup kepala dipasang, begitu juga dengan masker. PakSu membersamai saya sampai depan pintu ruang operasi.

Sejujurnya saya takut. Mau operasi sesimpel apapun perasaan takut mati itu pasti menyelusup dalam hati. Kata bagaimana dan jika selalu melintas dalam pikiran. Saya pun memejamkan mata. Bertahlil. Berpasrah. Tempat saya berbaring pun mulai didorong memasuki sebuah tempat dengan hawa dingin yang menusuk tulang.

Saya nggak mau membuka mata. Saya tak mau melihat berbagai alat dan lampu di ruangan itu. Sekitar 15 menit persiapan dilakukan. Lantas saya mendengar suara sang dokter bedah. Seorang perawat berkata pada saya, 

"Ibu, berdoa ya? Semoga tindakan hari ini berjalan lancar dan ibu kembali sehat."

Saya mengangguk. Tahlil tak berhenti terucap. Sesuatu masuk ke dalam tubuh saya. Saya tahu. Itulah saatnya. Lantas saya tak ingat apa-apa lagi.

Saya terbangun saat mendengar adzan. Mata saya berkejap. Merasakan balutan di dada begitu kuat. Nyeri bekas sayatan terasa.

"Shalat ..," desis saya.

"Ini masih di ruang operasi, Bu. Sabar ya, sebentar lagi kembali ke bangsal."

Total waktu tindakan medis kurang dari 1,5 jam. Bersyukurnya saya, tidak disertai penyulit sehingga operasi pun berjalan lebih cepat dari perkiraan.


Alhamdulillah ...

Selang beberapa waktu saya pun keluar dari ruang operasi, dan dipindah ke ranjang pasien yang sudah disiapkan oleh bangsal. Dari sudut mata saya menangkap senyum PakSu yang menunggu di balik pintu.

Efek bius bertahan sampai esok pagi. Saya lebih banyak tertidur meski tak lama. Beberapa kali video call dengan keluarga supaya mereka sudah merasa tenang. Dan membalas beberapa WA beberapa sahabat. Meski pada akhirnya sulit membalas satu persatu. Tapi saya usahakan untuk membalas semua WA yang masuk keesokan harinya.


Pasca tindakan medis

Dokter visite sekitar jam 07.30. Dari awal beliau sudah mengatakan bahwa tumor tersebut Insya Allah tumor jinak. Hal itu ditandai dengan :

1. Ada batas yang jelas

2. Benjolan bisa bergerak kesana kemari

3. Permukaan halus

4. Saat puting ditekan tidak ada cairan yang keluar

5. Tidak ada gangguan kulit disekitar payudara, misal bersisik, gatal, atau puting melesak ke dalam.


Saya harus menunggu beberapa jam untuk administrasi. Infus pun dicopot sekitar pukul 10.00. Sebelum infus dicopot pun saya sudah bisa beraktivitas ringan seperti makan atau ke toilet sendiri tanpa bantuan.

Saya pun pulang dari rumah sakit bakda Ashar. Di rumah anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Salah satu yang saya syukuri adalah saya mendapatkan tindakan medis saat anak-anak sudah besar. Semua pekerjaan rumah dihandel oleh anak-anak, terutama si Kakak. Semua tugas yang terkait dengan belanja mingguan dan urusan perdapuran Kakak lakuin dengan baik banget.

Terkadang merasa kasihan juga pagi hari dia sudah bangun, cuci piring dan peralatan lain. Setelah itu ia harus prepare untuk memasak sarapan. Selesai memasak ia harus bersiap untuk masuk kelas dan mengerjakan tugas-tugas sekolah. Belum selesai mengerjakan tugas, ia harus memasak untuk siang hari.

Trenyuh, pasti. Nggak pernah saya dengar ia mengeluh. Berusaha selalu membuat saya tersenyum. Bicara pada adiknya pun pelan, nggak ada ngegasnya sama sekali. Si Adek juga nurut banget. Mau bantuin segala macam urusan rumah tangga yang dilakuin Kakaknya.

Sejujurnya ya pengen banget bisa bantuin. Apa daya, saya sendiri untuk melakukan sesuatu pun lebih banyak menggunakan tangan kiri. Masih banyak hal-hal yang saya lakukan selalu butuh bantuan. Dan itu bikin saya down banget.


Perasaan seorang pasien

Kelemahan seseorang yang terbiasa mandiri itu ketika berada di posisi pasien menjadi merasa tidak berdaya, merasa tidak berguna. Itu saya rasakan ketika saya harus selalu dibantu untuk mandi, memakai baju, dan menyiapkan beberapa hal. Terkadang berusaha untuk tidak merepotkan ternyata nggak berhasil.

Kepercayaan diri berada di titik yang paling rendah. Sensitif dengan kata-kata yang terucap dari lawan bicara. Baperan. Overthinking. Mudah tersinggung, apalagi terkait dengan komentar dari beberapa orang yang menjenguk dan mendoakan.

Saya memang menerima tamu yang ingin menjenguk dan mendoakan. Saya anggap itu adalah wujud cinta dan perhatian. Apalagi doa-doa yang terpanjat selalu mengalir untuk saya demi kesehatan dan kesempurnaan pemulihan. Kita nggak pernah tahu juga darimana doa-doa itu akan diijabah Allah.

Hanya saja kita nggak bisa menutup bibir orang lain untuk berkomentar apa saja. Bisa jadi yang dikatakan akan saya terima dengan biasa aja kalau kondisi saya sehat wal afiat. Tapi status sebagai 'pasien' membuat saya mudah sekali memasukkan berbagai kalimat ke dalam hati.

Misalnya ada yang berkomentar, "Eh ... Lha dene, nggak papa. Bisa jalan gitu kok. Ngapain sampai opname?"

Saya menerjemahkannya gini.

"Emange saya kudu tiduran? Emangnya lebih seneng saya nggak bisa ngapa-ngapain?"

Atau ada saudara yang nggak bisa ngebedain tumor jinak dan ganas, udah mangkel aja, berasa didoain yang enggak-enggak.

Emosi yang naik turun itu bikin saya inget alm ibuk pun ketik mengalami stroke pertama jadi pribadi yang susah dimengerti. Ibuk gampang marah, sementara kami yang merawat juga kelelahan karena keterbatasan kemampuan berkomunikasi yang efektif.

8 hari pasca operasi saya mengalami fase emosi yang naik turun. Serba salah. Nggak bisa nangis, mungkin karena gengsi juga, nggak pengen terlihat lemah. Sampai kemudian di satu hari seorang teman menengok dengan berbagai wejangan tentang menu makanan, dan treatment yang bisa saya lakukan. Apa yang disampaikan sebenarnya baik. Namun tidak dengan penerimaan saya.

Saya menangis. Pertama kali menangis dan mengeluarkan uneg-uneg di depan suami dan Kakak. Ngomong nggak pakai filter. Beberapa hal yang sebenarnya ingin saya tahan akhirnya keluar juga. Meskipun setelah beberapa waktu saya mengucap istighfar dan memohon ampun, mencabut kata-kata yang sempat terucap. Takut aja, gimana kalau kata-kata yang kurang baik itu diijabah Allah?

Dengan kejadian ini, saya pun memahami. Kesehatan itu nggak cuma mahal, tetapi juga sangat berharga. Rasa sakit selalu diiringi oleh emosi yang sering kali meledak-ledak, dan sulit dikendalikan. Perasaan 'kamu nggak ada di posisiku' lebih dominan.

Saya sudah berusaha untuk mengontrol emosi ketika berhadapan dengan mereka yang memberi perhatian. Namun sering kali kalah oleh kata yang terucap dari orang lain. Lantas saya pun seperti menyerahkan remote kontrol emosi saya pada orang lain. Mudah tersulut dengan informasi yang tidak saya kehendaki.

Dalam kondisi seperti ini saya bersyukur karena dimengerti oleh keluarga dan sahabat terdekat. Simpati dan empati jadi obat hati paling besar yang bisa menenangkan.


12 hari pasca tindakan medis

All is well.

Salah satu penyemangat saya adalah perawat homecare yang rutin datang dua hari sekali merawat luka. Orangnya masih muda, cekatan, tegas dan informatif.

Namanya mbak Shafa. Ia bekerja di sebuah rumah sakit di Jogja, dan bersertifikasi sebagai perawat luka. Saya baru tahu ternyata tak semua perawat memiliki ijin praktek home care.

"Di luar kuasa Allah, kesembuhan itu bukan dari dokter ataupun saya. Kami, tenaga medis hanya membantu, Bu. Kesembuhan itu berasal dari keyakinan pasien sendiri. Semangat itu nggak dari orang lain, Bu. Semua berasal dari diri sendiri."

Kata-kata itu selalu diulang setiap kali merawat luka. Hal itu membuat saya ingin sesegera bisa beraktivitas seperti biasa. Di hari ke 10, saya mulai bisa mandi sendiri (mandi bebek, karena luka tidak ditutup dengan perban anti air), mulai menyiapkan makanan sendiri, dan membantu Kakak di dapur.


Hari ini hari ke 12 pasca operasi. Insya Allah kondisi badan sudah makin baik. Kangen sekali bisa ngezumba seperti biasa. Kangen bisa menemani si Kakak puasa Daud, setelah berhari-hari harus konsumsi obat di jam-jam tertentu sehingga belum bisa kembali berpuasa. Kondisi emosi juga mulai stabil. Ini salah satu yang sangat saya syukuri. Tiga hari lagi saya harus kontrol kembali. Insya Allah jahitan akan diambil dan hasil PA akan keluar. Semoga semuanya aman terkendali.

O ya, hampir kelupaan. Mungkin ini bisa jadi pertimbangan saat teman-teman menjenguk seorang pasien.

1. Jangan banyak bertanya mengenai rasa sakitnya, kecuali si pasien sendiri yang ingin bercerita.

2. Ajak berbicara tentang hal-hal yang membuatnya bersemangat misalnya ngomongin passionnya atau hal-hal yang disukai.

3. Hindari membicarakan orang lain yang memiliki sakit yang lebih parah

4. Tidak perlu memberikan informasi seputar kesehatan atau alternatif kesehatan. Si pasien biasanya sudah memiliki pilihan atau referensi sendiri.

5. Mendoakan adalah pilihan terbaik jika menengok pasien.


Semangat sehat ya temans ...