Saat saya berada di awal
perkuliahan Ibuk alm pernah bercerita tentang harapan beliau terhadap saya dan
adik-adik. Ibuk ingin salah satu dari kami ada yang mengikuti jejak Bapak
sebagai guru.
“Kenapa Buk?” tanya saya waktu
itu.
“Profesi guru itu profesi yang
paling ramah untuk perempuan. Jam kerjanya nggak sampai sore. Siang sudah di
rumah, jadi bisa mendampingi anak-anak. Kalau murid-murid libur, guru juga
ikutan. Bisa dapat tambahan pendapatan dengan memberi les. Yang penting sesuai
dengan fitrah perempuan, yaitu mendidik anak-anak.”
Namun yang namanya remaja saat
itu profesi guru bukanlah menjadi sebuah pilihan. Kurang menantang, nggak
dinamis. Pendapatan juga segitu-gitu aja. Makanya untuk perkuliahan di jaman
saya remaja, teknik dan kedokteran menjadi jurusan yang wow. Sementara managemen,
psikologi dan Bahasa Jepang menjadi jurusan favorit untuk anak-anak IPS.
Saya kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi.
Dik Nisa, adik saya persis kuliah di Teknik Arsitektur, sementara Dik Rahma,
adik bungsu saya kuliah di jurusan Kimia Terapan. Jauh sudah dari harapan Ibuk
untuk memiliki penerus seorang guru di keluarga kami.
Seiring waktu berjalan, ternyata
kami bertiga mengamini pendapat Ibuk. Kami bertiga pernah bekerja di luar rumah
yang mengharuskan jam 08.00 – 17.00 berada di kantor. Belum lagi Dik Nisa yang
bekerja di konsultan bisa saja waktu 24 jam masih kurang untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Sebuah renungan kecil ketika kami belum mempunyai anak. Kok kayaknya
nggak punya banyak waktu untuk anak-anak kami nanti ya?
Dunia tulis menulis mengantarkan
saya untuk mengenal dunia mengajar. Mengajar ekstra kurikuler di sebuah SMPIT
di Jogja menjadi awal bagi saya sebagai seorang guru. Saya yang bukan tipe
public speaker dipaksa untuk menerangkan hal-hal yang lebih banyak saya
sampaikan lewat tulisan. Biasa berkarya di jalan sunyi kemudian harus banyak
berbicara di depan audiens tentunya ada kesulitan tersendiri. Namun semakin
hari saya semakin menikmati. Interaksi antara seorang guru dan seorang murid
ternyata menyenangkan juga.
Menjadi seorang guru harus
mempunyai kesabaran yang luar biasa. Bagaimana seorang guru bisa tenang
menghadapi murid yang berulah atau kelas yang serupa pasar. Bagaimana kesabaran
seorang guru diuji saat menghadapi anak yang bermasalah.
Guru serupa orang tua. Ia harus
menahan ucapan ketika emosi mulai menaik. Supaya ucapan itu tak menyakiti
murid-murid lantas menjadi label bagi si murid itu sendiri. Guru selalu
berusaha mengucapkan hal-hal baik supaya menjadi doa bagi murid-muridnya. Ucapan
guru biasanya seperti titah raja bagi murid-murid yang mencintainya. Sering
kali ucapan gurunyalah yang selalu dituruti seorang anak dibanding ucapan orang
tuanya.
Saya jadi memaklumi mengapa sikap
murid-murid Bapak sering main ke rumah. Saya lantas memahami mengapa
murid-murid Bapak bisa begitu akrab, bahkan kadang cenderung kurang sopan. Karena
Bapak guru yang santai. Berbicara dengan murid seperti dengan seorang teman.
Dan saya tahu, dari mana asal kesabaran Bapak saat menghadapi masalah.
Ini celoteh saya dalam rangka
memperingati Hari Guru tanggal 25 November kemarin. Bagaimana dengan Mba Relita
dan Mbak Yuli Arinta?