September 2014 - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Jumat, 12 September 2014

Masih tentangnya ...
Ini masih tentang dia. Tentang perasaan rindu yang membuncah. Tentang keinginan-keinginan yang tak tersampaikan. Tentang keikhlasan yang yang masih timbul tenggelam datangnya. Tentang pertanyaan-pertanyaan mengapa aku harus kehilangan dua orang tuaku sekarang.

Bapak pergi di umurku yang ke 23. Adikku umur 18 tahun dan 15 tahun saat mereka harus kehilangan Bapak. Masa-masa dimana kami harus prihatin seprihatin-prihatinnya. Aku masih skripsi, Dik Nisa sedang mulai masuk kuliah, dan Dik Rahma sedang mulai SMA. Semua membutuhkan biaya. Dan Ibu sendirian mencari biaya sekolah untuk kami.

Tanpa punya penghasilan. Hanya mengandalkan pensiunan bapak. Berhutang kesana kemari. Gali lobang tutup lobang. Dan Ibu tak pernah meminta tolong pada siapapun. Sendirian mencoba membesarkan kami. Tanpa tangis. Tanpa merendahkan diri.

Ibu tak pernah mengucapkan kata sayang atau cinta. Aku pun jarang dipeluknya. Jarang ia mengucapkan kata dengan lemah lembut. Serba lugas. Tanpa basa basi. Namun tulus. Dan sebuah ketulusan itu tak pernah dikatakan bukan? Kadang aku merasa Ibu terlalu keras. Tapi sekarang aku tau mengapa ia tak pernah berlemah lembut. Ia ingin aku kuat. Itu keyakinanku.

Senin, 08 September 2014

Selalu ada senyum dalam sebuah kesedihan
Dia telah pergi. Dan tak akan kembali. Untuk awal dari perjalanan. Perjalanan menuju keabadian. Dia telah bahagia. Dia berada di sisi Sang Pencipta. Tapi aku di sini, masih selalu menggulirkan air mata. Untuk sebuah kenangan. Kenangan yang terpahat seumur hidupku.

Akankah di sana ia mengenangku? Akankah di sana ia merindukanku?
Bayangannya tak mau hilang dari mataku. Senyumnya, cara berjalannya, cara bicaranya. Dan sungguh ... aku masih teringat ekspresinya di hari-hari terakhirnya.

Aku kehilangan.
Aku pernah merasakan kehilangan. Tapi tidak sesakit ini. Aku pernah merasa hampa, tapi tidak sekosong ini. Tak pernah aku menatap nanar pada sesuatu yang mengingatkanku padanya. Tak pernah ...

Takkan ada yang sama setelah ia berlalu. Semua akan terasa berbeda. Dan di hati ini, penyesalan masih terus bertalu. Orang lain mungkin akan mudah untuk mengatakan sebuah kata ikhlas. Sementara aku, masih tak mampu untuk melakukan itu.

Senin, 01 September 2014

Untukmu, Ibu
Aku tau dia mencintaiku. Cinta yang tumpah ruah untukku. Cinta yang kadang menyakitkan. Cinta yang sering menyesakkan. Cinta yang membangkitkan amarah. Namun sebenarnya cintanya tanpa pamrih. Cinta sepanjang masa. Cinta yang paling tulus dan tak mungkin terganti.

Dia yang kini terbaring dengan selang-selang yang tergantung di sekitarnya. Diam, tak berdaya. Sungguh, aku merindukan suaranya. Aku merindukan ia bersuara. Ia yang dulu tak pernah berhenti bercerita. Dia yang selalu banyak bicara. Dia yang selalu ingin aku dengarkan. Namun aku sering tak memperdulikan apa yang ia katakan. Karena aku merasa capek untuk mendengarkan.

Sekarang giliranku yang berbicara. Aku kini yang selalu bercerita di telinganya. Apa kegiatanku hari itu, apa yang akan kulakukan untuknya. Aku melafalkan asma Allah di telinganya semampuku, mengajaknya berdzikir. Aku juga selalu menyampaikan padanya siapa yang datang ingin melangitkan doa. Apa yang aku lakukan, takkan mungkin bisa mengganti cinta yang selalu ia ulurkan untukku.

Aku tau dia mendengarku. Ketika aku melafalkan asma Allah, kadang setitik air mata bergulir dari matanya yang terpejam. Dari nafasnya yang saat ini memberat, aku tau ia menarik nafasnya seirama dengan lafal Allah yang aku lantunkan. Ini menjadi satu kolaborasi yang luar biasa. Suaraku dan tarikan nafasnya.

Aku hanya bisa menyesali kini. Ketika ia masih mampu melengkingkan suaranya, aku kadang meresponnya dengan tak semestinya. Ketika ia masih mampu memberikan cintanya, aku sering tak menerima dengan keikhlasanku. Aku sebenarnya sangat tahu bahwa itu karena cinta. Tapi aku yang merasa bukan anak-anak ini memahami dari sisi yang selalu berbeda.