Assalamualaikum Temans,
Masih ingat kan kisah Pak guru introvert dengan dedek barbie yang saya
tuliskan minggu lalu? Untuk teman-teman yang belum membaca silakan membaca
chapter pertama dan keduanya.
Baca juga :
Setelah minggu kemarin saya bersama banyak orang tua yang menghadapi
drama SKTM dan zonasi yang cukup melelahkan, hari ini saya pengen refreshing
nih, menulis tentang kisah saya saat mendampingi taaruf.
Mendampingi taaruf itu ternyata bikin baper sendiri. Saat pak guru
introvert mengatakan sulit kemudian saya WA berkali-kali cuma centang satu saya
merasa khawatir. Mengapa ia mengatakan sulit setelah saya minta ia matur ke bapak dan ibunya ya? Atau
jangan-jangan orang tua pak guru introvert ini kurang suka terhadap sosok dedek
barbie?
Jika tidak suka, apa ya yang kurang disukai dari sosok dedek barbie
ini? Apa karena terlihat masih terlalu muda sehingga orang tua pak guru
introvert menginginkan sosok yang lebih dewasa? Atau karena dedek barbie
berasal dari keluarga yang sederhana sementara keluarga pak guru introvert
berasal dari keluarga terpandang?
Pikiran fiksi saya pun mengembara kemana-mana. Saya sendiri juga
bingung. Jika dedek barbie ditolak oleh keluarga pak guru introvert, saya pasti
patah hati beneran. Pastinya juga malu dan merasa nggak enak banget, memberikan
harapan bagi seorang perempuan baik yang saya yakini shalihah.
Keesokan harinya saya teringat bahwa saya harus memastikan pengisi
acara untuk acara halal bihalal yang akan diselenggarakan di rumah. Nah ...
pengisi acara ini adalah bapak dari pak guru introvert memberikan taushiyah
ringan untuk keluarga besar saya. Pagi-pagi saya meluncur ke rumah pak guru
introvert untuk menemui bapaknya. Meski pengen juga rasanya sekalian nemuin pak
guru introvert. Tapi saya berusaha untuk tak ikut campur karena sudah ranah
keluarga. Bagaimanapun juga saya adalah orang luar.
Si ibu yang menemui. Ternyata si bapak sudah berangkat takziah ke
Jogja beberapa menit yang lalu. Sejenak saya ngobrol ringan dengan sang ibu,
kemudian saya pun mohon diri.
“Eh ... Mbak, aku mau nanya.”
“O... Nggih Bu, tentang apa?”
Feeling saya, ini tentang pak guru introvert. Eh ... beneran, saya
setengah mati menahan jantung saya yang berdegup lebih kencang. Kayak saya yang
ditanya sama calon mertua.
“Ceritane anakku itu gimana to?”
“Oh ... sudah matur ya Bu?”
“Iya ... lha tapi yo saya sama bapak yo harus mikir panjang to?
Bayangin aja mbak, lha tiba-tiba nodong orang tua buat nglamarin anak orang dan
tiga bulan kemudian harus nikah. Yo kaget to mbak? Kami kan yo nggak bisa
terburu-buru gitu. Dari keluarga yang sana minta tiga bulan lagi nikah to?”
Sepertinya ada miskomunikasi nih.
“Kan belum ketemu Bu, jadi belum tahu keinginan dari pihak perempuan
seperti apa. Kan baru tanggal 1 besok mau ketemu.”
“Lho, kok katanya dari keluarga sana minta tiga bulan? Kami ya
keberatan wong belum ada persiapan sama sekali. Lagi pula kalau minta tiga
bulan yo kami pas repot wong adike juga lahiran.”
Duh ... jangan-jangan saya yang salah ngomong ya? Perasaan kemarin
waktu ngobrol sama pak guru introvert itu saya nerangin kalau proses taaruf itu
nggak lama. Yang sudah-sudah tiga bulan kemudian menikah.
“Nyuwun ngapunten, Bu. Mungkin putro njenengan salah paham dengan
omongan saya. saya yang minta maaf. Kemarin kalau kata tiga bulan itu datang
dari saya. kami ngobrol kemudian saya sampaikan kalau biasanya proses taaruf
itu tiga bulan terus nikah. Biasanya lho Bu. Tapi kan semua tergantung rembugan
dua keluarga nggih? Lha ini juga belum ketemu sama pihak perempuan. Tanggal 1
besok baru mau ketemuan. Nanti saya dan satu lagi temen yang nemenin
ketemunya.”
“ Oalah ... gitu ceritanya. Lha kemarin sampai rodo panas pas bicara
sama saya dan bapaknya. Ngotot gitu. Ya kan pertimbangannya Bapak dan saya kan
yang namanya pihak laki-laki kan ke sana nggak cuma bawa badan. Memang dalam
Islam itu kalau mau menikah dipermudah. Tetapi kita yo orang Jawa, harus mrajakke keluarga. Ada peningset,
oleh-oleh, juga uang dapur. Uang dapur yo nggak mungkin seratus dua ratus ribu
to?”
Well, I got the point. Sulit yang dikatakan pak guru introvert hanya
masalah waktu.
“Tapi nggak keberatan sama sosoknya Ustadzah **** kan Bu?”
“Yang mana to orangnya? Yang waktu penutupan itu jadi MC? Lak yo yang
cantik itu to? Kami sih seneng aja. Wong berasal dari lingkungan yang bisa
dipertanggungjawabkan. Nggak masalah kok sama pilihannya.”
Wuih ... sebagian rasa berat yang tadinya membebani pundak hilang
seketika. Saya pun bisa bernapas lega. Lantas sang ibu meminta saya untuk
bicara dengan pak guru introvert.
“Dari semalem nggak mau keluar kamar. Dia kalau lagi nggak enak hati
pasti mengurung diri gitu. Itu lho yang bikin saya khawatir. Takut kalau dia
stress. Saya sampai bilang sama Bapak, ‘mbok ya dituruti ajalah Pak, masalah
uang nanti bisa dicari-cariin gitu. Kalau anaknya stress piye?’ Lha si Bapak
malah bilang, ‘nggak mungkin stress. Kayak nggak punya agama aja’. Gitu mbak.”
Saya tersenyum. Mau sedewasa apapun seorang anak, ibu akan selalu
mengkhawatirkan.
“Njenengan bicara sama anakku aja ya? Biar tak panggilin.”
Saya mendengar sang ibu mengetok kamar pak guru introvert. Nggak ada
jawaban sama sekali. Bolak balik beliau mengatakan ada saya di ruang tamu pun
pak guru introvert nggak segera keluar kamar.
“Kayak gitu lho, Mbak. Gimana saya nggak takut kalau dia stress? Saya
aja ngadepin begini stress sendiri. Dia itu sebenarnya dewasa pemikirannya.
Tapi untuk masalah ini kok dia jadi kayak anak-anak. Bayangin mbak, lha minta
nikah kok kayak minta dibeliin balon, sak deg sak nyet (istilah jawa : harus
sekarang).”
“Nanti saya WA aja Bu, anaknya.”
Sang ibu masih berjuang mengetok pintu kamar pak guru introvert. Akhirnya
si pak guru introvert keluar kamar juga. Tebakan saya sampai jam segini dia
belum mandi.
Wajahnya ditekuk. Ia duduk di samping saya sambil melipat tangan. Rahangnya
terlihat mengeras. Ia sama sekali tak memandang saya maupun ibunya. Tatapnya
kosong.
“Le, Ibu sudah dengar cerita dari Mbak Irfa. Ibu tuh nggak keberatan
sama pilihanmu. Malah seneng kamu sudah punya pilihan. Tapi kan semua itu nggak
bisa cepet-cepet. Butuh biaya. Pakai uang to, nggak pake daun. Lha nek cuma pake
daun yo ayok, kita ngunduh daun di depan rumah itu bisa terkumpul banyak.”
Sebenarnya saya pengen ketawa mendengar sang ibu berbicara. Tapi
melihat mata pak guru introvert berkaca-kaca saya kasih kode ke ibu untuk
berhenti berbicara dahulu.
‘Yo wis mbak, sekecakke. Saya tak cuci piring dulu,” kata sang ibu dan
beranjak pergi.
Saya mengajak bicara pak guru introvert. Nggak ada respon sama sekali.
Hanya serin menarik napas berat. Matanya terus berkaca-kaca. Saya bicara
panjang pun ekspresinya masih begitu.
“Kalau kamu diem aja, aku nggak ngerti maumu apa. Kalau kamu diem aja,
yang sakit kamu sendiri. Nggak ada yang memahami,” kata saya.
Ia mencoba bersuara. Namun tercekat di tenggorokan. Ia menarik napas
berkali-kali. Lantas dengan terbata-bata ia berbicara.
“Saya itu dua kali ditolak perempuan karena kondisi saya. Sekarang ada yang mau, tapi kok dipersulit.”
Air matanya meleleh sudah. Ia tersedu. Saya speechless. Bingung mau
bilang apa. Lah gimana? Suami aja nggak pernah nangis di depan saya. Laki-laki
yang sering saya bujuk untuk diem kalau nangis Cuma si Adek. Lha ini? Anak orang
pula.
Pelan saya sentuh punggungnya. Rasanya kok kayak ngadepin Adek kalau
pas ngambek yak?
“Bukan dipersulit. Ini cuma masalah waktu, bisa dibicarakan. Bapak
sama ibu cuma minta waktu. Aku yakin kok, dari pihak Ustadzah **** bisa
memahami. Mereka pasti juga butuh waktu. Mereka kan bukan dari keluarga yang
kaya raya yang jika nikah besok langsung bisa nyiapin gedung sampai
kateringnya. Wis to, yang tenang,” bujuk saya.
Pak guru introvert terdiam. Ia menghapus air matanya. Saya tersenyum
kecil. Biasanya saya melihat pak guru introvert ini sebagai pribadi yang
tenang, kalem, dan cool. Lha kok sekarang saya melihat sisi lain yang nggak
pernah terbayang oleh saya.
“Kamu takut kehilangan Ust **** yo?” tebak saya.
Dia mengangguk.
“Cinta pake banget ya sama Ust ****?”
Ia kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. Fix. Saya sedang ngadepin
Adek kalau pas ngambek J
“Yo wis, semua udah jelas masalah Bapak sama ibu. Nanti tanggal 1 semua
dibicarakan,” kata saya.
“Nggih,” ucapnya lirih.
Sehari kemudian saya dapet WA dari sang ibu.
“Anakku sudah ngurusin anggreknya. Sudah mau keluar kamar. Sudah ke
masjid juga.”
Tanggal 1 Juni 2018
Saya datang duluan di sebuah rumah makan. Rumah makan itu berada di sebuah
kecamatan antara temat tinggal saya dan dedek berbie. Nggak kejauhan buat saya
ataupun buat si dedek berbie, biar nggak kemalaman. Setelah itu Pak guru
introvert yang datang. Ia senyum-senyum, namun dari gesture nya saya tahu bahwa ia gelisah.
Nggak berapa lama Ustadzah Anne dan dedek berbie dateng. Ekspresi
dedek berbie saat itu kelihatan malu. Saat bersalaman dengan saya tangannya
terasa dingin.
“Ust Irfaaaa ... saya maluuuuuu. Pulang aja yaaaaa?”
Saya ketawa dengan ekspresi spontannya. Pak guru introvert pun tertawa
mendengar kata-kata Dedek berbie. Kemudian setelah sempat berbasa basi
sebentar, saya pun membuka pembicaraan. Awalnya mungkin agak kagok juga. Dulu
di SMA boarding school mereka bisa bicara santai. Dengan kondisi yang berbeda
begini ada awkward moment nya, saat mereka berdua bicara tidak saling
memandang. Dedek berbie ngomong ke pak guru introvert, yang dipandang wajah saya.
Giliran pak guru introvert bicara, bibirnya kelihatan bergetar. Mata pun
tak berani langsung menatap dedek berbie. Saya dan ustadzah Anne ketawa aja
melihat kondisi begini. Sesekali kami menggoda membuat mereka tersipu.
Mereka bernegosiasi. Sifat apa yang bisa diterima dan tidak. Kondisi apa
yang bisa dimaklumi dan tidak. Apa yang diinginkan pak guru introvert, atau apa
yang tak diinginkan oleh Dedek berbie. Suasana pun mulai cair. Ceria dan
lucunya Dedek berbie membawa pengaruh juga ke pak guru introvert. Mulai bergurau
yang membaperkan hati.
“Saya orangnya nggak bisa ngatur uang. Uang yang saya pegang sering
banget habis, nggak ketauan kemana. Kadang beli-beli barang yang nggak
seharusnya saya beli,” kata Pak guru introvert satu saat berkata.
“Oh... gampang, nanti saya yang atur,” canda dedek berbie.
Pak guru introvert tertawa.
“Saya tuh sering banget kesasar. mau berapa kali berkunjung ke satu
tempat selalu saja nyasar. Mau ke rumah temen sampai harus di jemput karena
kesasar jauh,” kata dedek berbie.
“Besok-besok saya yang nganter. Saya boncengin,” ujar pak guru
introvert sambil tertawa.
Dedek berbie meminta waktu paling nggak 6 bulan untuk mempersiapkan
pernikahan. Ia ingin menabung karena baru saja bekerja. Ia tak ingin terlalu
memberatkan orang tua di perniakahannya nanti. Sesederhana apapun sebuah
pernikahan, tetap harus diumumkan melalui perjamuan walimah.
Mereka pun sepakat bahwa lebaran hari ketiga pak guru introvert akan
datang ke rumah dedek berbie untuk bicara pada orang tua dedek berbie.
Paginya, saat bertemu ibu pak guru introvert di kuliah subuh saya
ditodong untuk cerita. Ada kilatan bahagia di mata sang ibu mendengar cerita
saya. Ia pun tertawa mendengar cerita saya.
“Semalem dia nyetel lagunya udah ganti lagu-lagu cinta, Mbak.
Sebelumnya lagu sik embuh. Gedubrakan tiada tara,” kata sang ibu. Saya pun
ngikik berdua.
Alhamdulillah, akhir bulan lalu, dedek berbie sudah dikhitbah oleh
keluarga pak guru introvert. Dalam waktu dekat mereka akan melangsungkan
pernikahan. Semoga last forever deh dan sakinah mawaddah warrahmah. Last
forever tapi enggak sakinah ngapain juga. Iya kan?