Februari 2021 - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Selasa, 09 Februari 2021

1000 hari untuk selamanya





Ia melangkah mendekati nisan itu. Tangan kanannya membawa sebuah mini red velvet cake dengan beberapa lilin yang menyala di atasnya. Sebuah mawar putih tergenggam di tangan kirinya. Sebelum ia letakkan mawar itu di atas nisan, ia mendekatkan mawar itu ke hidungnya. 

Ia menghela napas. Kemudian berjongkok. Sejenak ia memejamkan mata. Ia menggigit bibirnya, menahan air yang hendak tumpah dari matanya.

“I hate you ...,” bisiknya sambil menatap nama yang tertera di nisan itu. Lalu ia meletakkan kue kecilnya. 

“But I miss you so much.”

Suaranya makin memelan. 
Angin sepoi meniup bunga kamboja yang berada di dekat gadis itu. 


Sehelai daun kamboja jatuh di kepalanya. Menyadarkan bahwa ia tak hanya ingin berkunjung saja.

"Kamu baik kan? Awas kalau kamu sedih di sana. Kan kamu sudah nggak sakit. Kamu sudah bahagia sama Allah. Bisa nggak bilang ke Mama supaya nggak worried lagi sama kamu?"

Matanya memburam. Ia mengatupkan rahangnya. Mencoba bertahan untuk tidak mengeluarkan air mata.

Kamu sudah pergi, Kak. Tapi kenapa kamu masih aja ngambil kasih sayang Mama semuanya? Nggak nyisain dikit aja buatku. Di pikiran dan hati Mama cuma ada kamu."

Dadanya pepat. Isak tak mampu lagi di tahan. Ia membiarkan air matanya luruh. Sampai seseorang yang melangkah dari kejauhan mendekat pun ia tak menyadari. Seseorang yang lantas berdiri tak jauh darinya. 

"Seribu hari. Hampir tiga tahun kepergianmu. Sampai umurku tujuh belas tahun hari ini. Aku tak pernah ada dalam kepala Mama. Padahal aku yang masih bernapas. Aku yang masih butuh cinta Mama. Mungkin, Mama akan mencintaiku kalau aku hanya butuh doa sepertimu, Kak."

Suaranya melirih. Meski sudah tak ada lagi yang menyumbat kerongkongannya. 

"Ayo Kak, ucapin Happy Birthday buatku. Kayak dulu-dulu. Jangan sok lupa kalau hari ini umurku udah 17. Udah kubawain kue nih, supaya kita tiup barengan."

Ia menyalakan lilin yang tadi sudah padam. Menyanyi dengan lirih. Memberikan ucapan selamat pada diri sendiri. Lantas meniupnya. 

"Udah ah, aku pulang. Di rumah ada acara 1000 hari kepergianmu. Nggak enak kalau aku telat sampai rumah. Sejujurnya, aku benci harus selalu berkala mengingatmu sudah pergi. Menyakitkan, sudah selama ini Mama tak menganggapku ada. Jangankan ulang tahunku, sekadar membangunkanku tidur pun tidak."

Ia berkemas. Kemudian berbalik hendak melangkah. Namun langkahnya terhenti. Melihat seseorang berdiri menatapnya sendu. 

Hatinya menghangat. Ingin rasanya menghambur ke dalam pelukan sosok perempuan yang menatapnya dengan berkaca-kaca. Sejenak saja keinginan itu hadir. Lantas ia mulai melangkah kembali. Meskipun kakinya seperti dijerat tali.

"Kia ..."

Langkahnya terhenti. 

"Tunggu Mama ya? Kita pulang sama-sama. Mama akan menyapa Kakak dulu."

Kembali napasnya menyesak. Ia merasa bahwa ia bukanlah pilihan. Ia membalikkan badannya.

"Kia pulang duluan aja."

Mama pun lantas membalik dan berjongkok di depan nisan kakak Kia. Membuat hati Kia semakin perih. Ia begitu ingin Mama menahan langkahnya. Namun harapan memang tak pernah berbanding lurus dengan kenyataan. Benar ucapnya tadi. Ia akan dicinta saat Mama hanya bisa berdoa. 

Ia kembali melangkah. Meninggalkan Mama yang khusuk berdoa. Air matanya meleleh satu-satu. Matanya pun memburam. Saat Kia hendak menyeberang jalan, sebuah mobil berjalan zig zag menuju ke arahnya. Ia terbelalak.

Brraaakkkk!

Benturan keras memekakkan telinga di sekitar area pemakaman itu. Mama terlonjak. Jantungnya berdebar keras.

Kia!

Mama berlari dan meraung.

"Kiaaaaaaa!"

Jantungnya makin berdebum melihat kerumunan orang di luar area pemakaman. Matanya sudah berkunang-kunang melihat sebuah mobil menabrak pohon di pinggir jalan. Semakin dekat. Semakin tak berjarak.

"Kiaaaaaaaaaa!"

Gadis itu terduduk hanya dua meter dari pohon yang dahannya patah karena tertabrak. Wajahnya pucat pasi. 

Mama pun jatuh terduduk dengan air mata berderai. Dengan sisa tenaganya ia bersujud. Mengucap syukur.

***


Rumah kembali sepi. Acara 1000 hari kepergian Leon telah berlalu. Setelah ini takkan ada lagi ritual mengingat Leon. Takkan ada lagi kesibukan menyiapkan segala hal berbau Leon. Semuanya tertinggal di hati. 

"Waktuku untuk move on," bisik perempuan usia empat puluhan tahun itu sambil mengelus foto Leon yang terpampang di dinding. Foto yang takkan berganti-ganti karena takkan ada lagi kesempatan memasang foto Leon yang makin dewasa. 

"Harusnya sudah sejak lama kamu move on, Ma." 

Mama menoleh, kemudian berjalan mendekati Papa. Dengan lembut Papa menggandeng tangan Mama. Lantas diajaknya Mama masuk ke kamar. 

"Aku pernah bilang, jangan memaksaku melupakan Leon, kan?" 

Papa tersenyum, lantas menyentuh pipi Mama pelan.

"Tak ada yang melupakan Leon. Kamu, aku ataupun Kia. Aku cuma mengingatkan. Ada Kia yang harusnya mendapatkan cinta kita penuh-penuh."

"Kia pasti paham kenapa aku begitu mencintai kakaknya."

"Ia paham kamu begitu mencintai Leon. Yang ia tak paham adalah obsesimu terhadap kenangan."

Mama menatap Papa tak suka. 

"Aku nggak pernah terobsesi terhadap apapun."

"Lalu apa namanya kalau setiap hari kamu selalu membicarakannya tak kenal waktu. Yang kamu bicarakan itu sudah nggak bernapas lagi, Ma. Harusnya kita lebih memikirkan nyawa lain yang kering dari perhatian kita."

Mata Mama memerah. Kedua tangannya mengepal erat.

"Yang sudah nggak bernapas itu pergi karena menyelamatkan nyawa lain itu, Pa!"

Mama setengah berteriak. Napasnya tersegal-segal menahan rasa sakit di dada.

Papa menghela napas. Ia berusaha memeluk, namun lengannya ditepis kasar oleh Mama.

"Jangan lupa, Ma. Kia sampai sekarang tak bisa mengingat hal itu. Ia juga mengalami trauma. Benturan di kepalanya membuat sebagian memorinya hilang. Ia takkan pernah ingat bagaimana Leon bisa tertabrak motor karena menyelamatkan Kia. Yang ia ingat hanya Leon melambaikan tangannya dan tersenyum. Ia tak ingat setelah itu ia hendak menyeberang jalan. Ia tak pernah tahu ada motor ngebut yang mendekatinya lalu Leon berlari menyelamatkannya."

Yang bertahun-tahun ingin dilupakan dihadirkan kembali oleh suaminya. Anak lelaki kebanggaannya. Yang selalu berprestasi di sekolahnya. Lelaki yang mulai mendewasa. Yang santun dan lembut mewarisi sifat ayahnya. Anak muda yang dikagumi oleh banyak lawan jenisnya. Si penyayang yang tercinta. Yang tak pernah disangka diambil paksa oleh Sang Pencipta. 

Mama tersedu. Inginnya meraung mendengar kata-kata Papa. Inginnya Mama Leon tetap hidup di rumah ini. Leon hanya pergi sebentar. Ada kegiatan OSIS atau sedang bermain basket. Leon sedang di kamarnya, lagi nggak mau diganggu. Leon sedang belajar. Leon sedang ...

Mama tak ingin kehilangan Leon. Menghadirkan Leon di rumah ini sejatinya hanya menutup lukanya karena pernah menganggap Kialah penyebab Leon pergi. Menghadirkan milyaran cinta untuk Leon di permukaan sebenarnya hanya untuk mengikis kebencian yang timbul karena Leon mengorbankan diri sendiri. 

Leon berkorban untuk adik kecilnya. Adik yang juga lahir dari rahim yang sama. Adik yang didambakan semua orang di keluarga besar. Yang kelahirannya ditunggu banyak orang karena memiliki predikat sebagai cucu perempuan satu-satunya. 

Kia ...

Sebelumnya menjadi tumpahan kasih sayang banyak orang. Setiap tahun selalu merayakan ulang tahunnya dengan berbagai hadiah serta dikelilingi orang-orang tercinta. Terakhir kalinya ia berulang tahun dipenuhi peluk dan cium adalah ulang tahunnya yang ke 14. Ketika semua orang berbahagia. Saat Mama belum terluka seperti hari ini.

Mengingat Kia membuat Mama tergugu. Sejujurnya kejadian tadi siang cukup memukul perasaannya. Betapa ia pun takut kehilangan Kia. Seperti tulang-tulangnya terlepas dari tubuh ketika mendengar suara tabrakan yang demikian keras. Napasnya sedemikian sesak karena takut kehilangan yang kedua kalinya. Sesal mulai beterbangan di kepala, mengingat kata-kata Kia yang terucap di depan nisan Leon. 

Benarkah Leon telah merampas seluruh cinta Mama? Tak ada sedikitpun yang tersisa untuk Kia? Benarkah cintanya pada Kia akan muncul saat Mama hanya bisa mendoakan saja? Apakah Mama akan menunggu cinta datang saat sudah tak mampu lagi mendekap?

Mama menggelengkan kepalanya. Benar kata Papa. Ada hati lain yang menunggu cinta. Hati lain yang begitu terluka karena diabaikan sedemikian lama. 


Tuhan ...

Jangan sampai cahaya di hatinya redup karena kesalahanku, batin Mama. 

***


Mata Kia sulit terpejam. Meski jam di dinding sudah menunjukkan pukul 02.00. Tetap saja kantuk tak segera menyapa. 

Ia masih mengingat Mama. Ekspresi Mama, kekhawatiran Mama. Meski ditunjukkan tak lama. Namun cukup membuat hatinya menghangat.

Ada percikan kasih di mata Mama. Sujud syukur disertai air mata yang meleleh saat mengetahui Kia baik baik saja cukup membuat Kia merasa. Ada harapan yang tersemai untuknya. Mendapatkan cinta yang selama ini ia anggap diambil habis oleh Kak Leon. 

Tertatihnya Mama saat berjalan mendekatinya. Dekapan erat Mama sehingga Kia pun merasakan degup jantung Mama. 

Dalam diam Kia menikmati napas Mama di kepalanya. Mensyukuri basah rambutnya karena air mata Mama. Rasanya ingin membiarkan pipinya tetap memerah karena bekas lipstik Mama. Kia makin memahami. Mama hanya butuh diberi waktu. Membiarkan Mama melepaskan Kak Leon dengan keikhlasan tanpa paksaan. 

Mama ...
Maafkan Kia ...

Ingin rasanya menghambur dalam pelukan Mama. Namun Kia tahu. Ia harus bersabar menunggu datangnya matahari. Mama pasti lelah mengurus sendiri acara 1000 hari kepergian Kak Leon. 

Tiba-tiba saja Kia memiliki rasa rindu. Untuk perempuan yang melahirkannya. Untuk perempuan yang 1000 hari ini telah terluka. Sayangnya tak ada foto Mama di kamarnya. Ia harus ke ruang keluarga untuk menatap wajah Mama. 

Namun Kia juga khawatir. Apakah rindunya akan disambut Mama. Apakah rindunya tak melukai jika besok kenyataannya tak seindah harapan? 

Kia tak ingin berandai-andai. Biarlah, jika harapannya harus tetap membumbung tinggi. Yang terpenting baginya, Kia akan memberikan waktu sebanyak yang Mama mau. 

Pelan-pelan ia keluar dari kamarnya lalu berjalan ke ruang keluarga. Tiba-tiba darahnya tersirap. Mama sedang berdiri menatap foto keluarga. 

"Kia ..."

Kia tak jadi melangkah pergi saat ia sudah membalikkan badannya. Dalam temaram lampu, ia melihat wajah kelelahan Mama dengan jelas. Mata sembab Mama tak mampu ditutupi. 

Mama melangkah mendekati Kia. Membelai rambut Kia sekilas, kemudian menatap Kia lekat-lekat sampai Kia pun jengah dibuatnya.

"Mama apaan sih?"

Mama tertawa. Sejurus kemudian mulut Mama terkatup rapat. Hidung Mama tiba-tiba memerah. Mata Mama pun berkaca-kaca. 

"Kak Leon tak pernah merampas habis cinta Mama, Ki. Mama yang tak bisa memaruh cinta Mama dengan baik."

Mama terisak. Kia masih saja mematung di depan Mama. Kia tak kuasa untuk bergerak. 

"Maafkan Mama, Ki. Mulai hari ini. Kita saling menyembuhkan luka ya?"

Sebelum Mama menyelesaikan kalimatnya, Kia sudah menghambur. Ia tak perlu memberikan Mama banyak waktu. 1000 hari sudah cukup bagi Mama. Untuk selamanya memberi cinta untuk Kia. 

"Selamat Ulang Tahun ya, Ki. Kamu pengen kado apa?"
Sejenak Mama melepas pelukan. 

Kia menatap Mama, lalu menggeleng. Kembali ia mengetatkan pelukan.

Kia tak ingin kado apapun di ulang tahunnya kali ini. Hadiah yang tak ternilai baru saja ia dapatkan dari Mama.

***