Assalamualaikum temans,
Kata Ibuk saya suka sekali membuka surat kabar yang dibawa Bapak pulang. Saya suka melihat gambar dan bertanya tentang huruf dan angka.
"Ini huruf apa?"
"Ini bacanya gimana?"
Itu pertanyaan yang sering muncul saat melihat Headline surat kabar hari itu. Saya inget banget, Bapak sering membawa Suara Merdeka. Saat itu kami belum mampu berlangganan. Bapak biasanya meminjam surat kabar dari kantor saat pulang, dan dikembalikan keesokan harinya sambil berangkat ke kantor.
Lalu Bapak pun membeli papan tulis kecil. Fungsinya buat saya menulis menirukan huruf dari surat kabar. Zaman itu anak TK belum terbebani oleh calistung. Sekolah isinya ya bermain dan bernyanyi.
Dari surat kabar itu saya belajar mengeja.
"Su A Ra Mer De Ka."
Begitu saya mengeja. Setelah sukses membaca nama surat kabar, saya pun suka membaca headline Suara Merdeka. Saya membaca dengan keras. Kata Ibuk, saya melonjak kegirangan jika sukses membaca tulisan-tulisan itu. Apalagi dengan tulisan-tulisan panjang. Saya sendiri sudah lupa-lupa ingat saat itu. Kata Ibuk, itu terjadi saat saya masuk TK besar. Paling nggak ya usia lima tahunan lah.
Yang paling saya ingat adalah ketika Ibuk menuliskan arti surah Al Fatikhah di papan tulis. Saya sangat suka membaca tulisan itu berulang-ulang. Bahkan mencoba mendeklamasikan ala ala saya. Sampai akhirnya saya pun hafal terjemahan Surah Al Fatikhah tersebut. Lalu di acara akhirussanah TK, saya pentas membacakan terjemahan itu.
Kecintaan Kakak pada membaca
Belajar dari orang tua, saya pun tak memaksakan anak untuk belajar calistung si Kakak ketika masih belajar di PAUD. Namun sejak dini saya menyediakan buku-buku berbahan hard cover untuk permainan si Kakak. Ternyata buku-buku yang sering ia buka sejak usia dua tahun itu menumbuhkan minat baca si Kakak.
Awalnya ia suka melihat gambar dan warna. Saya sering mengajaknya ke toko buku. Bahkan supaya bisa membeli buku dengan diskon yang lumayan banyak, saya sampai membuka toko buku kecil di kota saya. Meski kemudian toko kecil itu saya tutup karena minat baca di kota saya masih minim, namun saya memiliki relasi untuk mendapatkan buku yang lebih murah atau mendapatkan diskon lebih besar.
Relasi pertama saya adalah distributor Mizan dan Agro grup. Anak-anak paling suka jika saya ke Distributor Mizan grup. Kenapa? Karena di sana ada Mizan Book Store, semacam display dari semua buku-buku yang tergabung dalam Mizan grup.
Di Mizan Book Store (MBS) pengunjung anak dimanjakan. Ada display khusus anak dengan penataan yang membuat anak-anak betah. Display pictorial book dibuat seperti loko kereta api. Ada kursi-kursi kecil jika anak-anak ingin membaca di sana. Dan sebuah sofa warna merah bagi orang dewasa yang ingin membaca buku jika berkunjung ke sana. Saya paling suka membaca buku parenting di sana. Banyak pilihan tentang cara mendidik anak di sana.
Si Kakak bisa betah satu sampai dua jam di sana. Setiap kali saya mengambil buku di sana si Kakak pasti ikut. Awalnya sih lihat-lihat. Karena sering melihat pictorial book, si Kakak pun bersemangat belajar membaca sendiri.
Selain melihat pictorial book, saya suka membacakannya buku. Disertai dengan ekspresi di suara dan mimik muka layaknya pendongeng, hal itu ternyata membuat si Kakak sangat suka.
Kesukaan Kakak pada buku membuatnya lancar membaca di usia lima tahun. Bahkan di usia 5,5 tahun ia sudah mulai membaca novel anak. Lantas di usia tujuh tahun ia sudah membaca novel karya Tere Liye, Hafalan Shalat Delisa. Kebutuhannya membaca buku memang gila-gilaan saat itu. Ketika kls 6 SD, ia membaca buku tentang sirah sebanyak 500 halaman selama dua hari.
Si Adek pun akhirnya ngikut si Kakak. Melihat Kakaknya anteng baca buku, ia pun tertular menyukai buku meskipun beda genre. Kalau si Kakak suka baca novel sejak usia SD, ia lebih suka komik. Namun mulai SMP ini ia suka membaca novel-novel yang berhalaman tebal. Namun ia kurang menyukai novel yang berbasis media sosial. Ia lebih menyukai novel karya Ary Nilandari atau bacaan bergenre personal literature semacam karya Raditya Dika.
Dari pengalaman saya sebagai anak atau orang tua dalam memupuk minat baca anak, saya melihat kesamaan bahwa minat baca itu tidak datang dengan sendirinya. Orang tua harus berperan aktif dalam menyediakan fasilitas meningkatkan kecintaan anak pada buku. Bapak dan Ibuk saya tak pernah mengenal apa itu parenting ketika memupuk minat saya pada membaca. Yang mereka tahu ketika anak menyukai huruf ataupun angka, maka mereka menyediakan fasilitasnya. Fasilitas tak harus membeli. Contohnya seperti Bapak saya yang meminjam surat kabar dari kantor supaya bisa saya baca.
Selain memberikan fasilitas orang tua juga harus terlibat dalam memupuk minat anak terhadap membaca. Jika anak hanya diberikan fasilitas tanpa pendampingan, saya yakin anak juga takkan tertarik pada fasilitas yang disediakan. Bagaimanapun juga anak melihat keteladanan. Jika orang tua lebih memilih melihat televisi atau bermain gadget, masihkah ada harapan anak-anak kita cinta akan membaca?