Assalamualaikum Temans,
Saya pernah membaca bahwa menulis mampu menjadi healing bagi siapapun yang merasakan kesedihan. Saya mempercayai hal itu. Meski tak lantas membuat semua sesak di hati menghilang, setidaknya menulis mampu mengalirkan perasaan yang membuat dada terasa berat.
Setengah bulan yang lalu, ketika kakak sahabat saya menelpon. Ia berbicara mengenai penyakit adiknya. Diagnosa baru saja tegak. Kanker ovarium yang telah menyebar ke ginjal, liver dan usus. Rasanya tak percaya mendengar berita itu. Tanpa sadar air mata sudah luruh. Isak tak bisa ditahan. Sehari itu air mata saya sering kali mengalir ketika bercerita. Menumpahkan sedu sedan saat berada di kamar mandi.
Lantas saya berkomunikasi dengan teman-teman terdekat. Lalu sepakat untuk membuat grup baru, karena dalam grup alumni angkatan ada sahabat saya yang sedang sakit tersebut. Qodarullah, sebelum grup baru dibuat, berita ini telah bocor. Salah satu teman posting di grup alumni angkatan bertanya tentang kondisi sahabat saya ini. udah gitu pakai mention saya lagi. Saya dalam posisi mau mengajar jadi sewot sendiri. Langsung saja ucapan simpati membanjir di grup alumni angkatan. Saya pun ngomelin salah satu teman terdekat yang saya yakini memberikan informasi kepada si teman yang posting ucapan simpati pertama kali.
Konyol memang. Salah satu teman terdekat ini wanti-wanti untuk japri ke saya jika ingin mengetahui informasinya. Malah di posting di grup. Emak-emak emang tak ada lawan movement nya ya? Duh ...
Bukannya saya nggak memperbolehkan teman-teman mengucapkan rasa simpati. Namun yang saya jaga adalah kondisi psikologis sahabat saya yang sedang sakit. Ia dalam fase denial. Belum menerima sepenuhnya bahwa penyakit inilah yang bersarang di tubuhnya. Masih banyak pemberontakan di dalam batinnya. Dalam posisi ini, seandainya membaca rasa simpati itu, bukankah itu bisa membuatnya beranggapan bahwa orang lain sedang membenarkan sakitnya? Saya yang termasuk orang terdekat saja tak berani memberikan ucapan itu, apalagi menghubunginya. Semua hal saya komunikasikan kepada keluarga.
Kondisi psikologis pasien kanker sering kali berdampak pada fisiknya. Banyak sekali hal buruk terjadi karena pasien kanker tak bisa mengelola emosi. Salah satu usaha untuk menyetabilkan kondisi tubuhnya adalah membuatnya terhibur, tertawa tanpa melihat air mata saat berhadapan dengannya.
Grup baru pun dibuat. Kemudian beberapa informasi pun saya sampaikan. Ada juga yang saya keep sendiri. Lantas sepakat membuat gerakan support untuk sahabat saya ini. beberapa hari kemudian saya pun bezuk sahabat saya. Ia banyak bercerita. Saya pun memahami yang diinginkan. Ia belum ingin dijenguk, kecuali teman-teman terdekatnya. Ia memilih siapa yang bisa datang padanya. Hal ini menjaga kondisi tubuh serta kestabilan emosinya. Saya menghormatinya. Bahkan ketika keluarga mengatakan bahwa ia menginginkan untuk tak dijenguk siapapun saya tetap menghormati keputusannya. Hanya si sakit yang paham dengan kondisi tubuhnya.
Saya tetap berkomunikasi dengan keluarga sahabat saya. Hal-hal detil kami komunikasikan. Meski saya tahu dimana ia dirawat, saya tak lantas nekad untuk datang menemuinya. Saya menunggu waktu. Sampai ia bersedia untuk menemui yang ingin menjenguknya.
Dalam kurun waktu 10 hari saya membuka kesempatan bagi teman-teman yang ingin berpartisipasi. Saya pun aktif japri ke beberapa teman SMP atau SMA yang mengenalnya, serta kakak kelas. Beberapa teman saya persilakan untuk nyolek teman yang lain. Meski ada suara sumbang yang membuat saya mengelus dada.
“Sorry ya, apakah kondisi finansialnya tidak baik?” atau pertanyaan, “Dia kekurangan ya?”
Well, yang namanya pengobatan kanker meskipun memakai kartu BPJS kan nggak semua obat dan tindakan dicover. Bayangkan, hanya untuk tes darah saja keluarga pasien kanker harus mengeluarkan uang minimal satu jutaan. Sementara itu pemeriksaan darah kan berkali-kali. Belum tindakan biopsi yang memakan beaya minimal sembilan juta rupiah. Lalu bagaimana dengan tindakan kemoterapi? Biasanya pasien kanker melakukan kemoterapi sebanyak 16 kali. Satu kali kemoterapi beaya yang harus dikeluarkan adalah 7-9 juta. Silakan dikalikan ya, berapa biaya yang harus dikeluarkan? Belum lagi tindakan operasi atau apapun.
Support untuknya telah terkumpul. Bersama beberapa teman saya menyampaikan amanah. Dari obrolan dengan keluarga itu saya sempat mendengar ada teman saking inginnya menjenguk sampai menghubungi si pasien sendiri. Tentu saja ditolak oleh pasien kan? Annoying banget ya?
Sebagai manusia sehat, saya tak bisa memungkiri betapa inginnya saya bertemu dengannya, menghibur, menunjukkan rasa empati dan simpati. Selain itu saya juga ingin sekali bersilaturahmi sekaligus mendoakan supaya ia bisa pulih kembali seperti sedia kala. Itu ketika saya memposisikan sebagai manusia sehat. Bagaimana dengan si sakit?
Si sakit merasa tak ingin merepotkan. Ia juga tak ingin dikasihani. Ia tak bisa istirahat karena menemui tamu. Meski dalam kondisi berbaring, bagi penderita kanker cukup membuatnya lelah berbicara dan menemui si tamu. Belum lagi rasa iri yang muncul. Mereka sehat, mengapa aku yang sakit?
Belum lagi obrolan, pertanyaan dan saran dari pembezuk. Sering kali yang disampaikan malah membuatnya stres dan depresi. Padahal kondisi seperti itu harus dihindari. Pasien kanker harus dalam keadaan tenang dan stabil. Mau tanggung jawab nih kalau menjenguk malah bikin si pasien stres atau depresi?
Sahabat saya pagi ini mengirimkan pesan untuk saya. Meski hanya sekadar berterima kasih dan memohon doa. Membuat air mata saya jatuh saat itu juga. Membirukan hati sampai saat ini. Namun membuat hari ini penuh doa yang ingin dilangitkan.
Pada akhirnya, doa dari jauh menjadi hal terbaik yang bisa dilakukan. Bawa namanya dalam setiap shalat akan lebih bermakna dibandingkan si pasien mengetahui bahwa kita berempati. Setulus-tulusnya doa adalah ketika hanya Allah yang mengetahui. Allah lebih paham apapun niat kita. Dan saya yakin, si pasien pun paham ratusan, bahkan ribuan doa dari kerabat akan dilangitkan untuknya.