Sebuah telepon di pagi hari mengantarku menemani adik Mbah Uti ke Jogja, bersilaturahmi ke rumah adik Mbah Uti yang lain. Dua perempuan adik Mbah Uti ini sepantaran dengan Ibuk. Mereka juga yang paling dekat dengan Ibuk. Aku menyebutnya Bu As dan Bu Tin. Rasanya aneh aja menyebut mereka Mbah, karena dari sedari kecil tak ada yang mengoreksi panggilan itu.
Dua perempuan yang wajahnya mirip dengan Ibuk itu bercakap. Melepas rindu. Apalagi Bu Tin baru saja sakit. Wajah sayu Bu Tin terlihat lebih bercahaya. Senyum dan tawa terhias di wajah perempuan yang usianya hanya terpaut satu tahun dengan Ibuk. Aku senang mendengar gelak tawanya ketika beberapa kali aku melempar candaan. Dan rasanya terbayang masa tuaku nanti bersama adik-adikku ketika mendengar rajukan Bu Tin pada kakaknya.
"Mbak As, bobok sini ya? Aku mbok dikancani."
Beberapa kali ia bercerita tentang putra putrinya. Raut wajah bangga tersirat di wajah yang mulai menyemburatkan warna merah di pipinya siang tadi. Namun tersirat gelisah di wajahnya, ketika bercerita tentang apa yang ia rasakan, apa yang sering ia alami di rumah. Aku sangat tahu. Aku sangat mengerti. Kegelisahan itu juga pernah dirasakan Ibuk. Hanya saja, Ibuk bercerita tentang kegundahannya. Entah kalau Bu Tin.