Sejujurnya saya takut saat Merapi
kembali beraktivitas dengan letusan freatiknya yang frekuensinya lebih sering
akhir-akhir ini. Hujan abu tipis pun mulai terjadi. Biasanya di pagi hari. Mendung
abu-abu menggantung. Dan penduduk di lingkungan saya pun mulai memakai masker
jika bepergian menggunakan kendaraan bermotor. Rasa pedih di mata pun mulai
terasa jika beraktivitas di luar rumah tanpa kaca mata.
Saya, dan banyak orang lain yang
tinggal di kawasan terdampak bahaya letusan Gunung Merapi sepertinya trauma
dengan Letusan Merapi di tahun 2010 yang menewaskan banyak orang serta
menghancurkan beberapa tempat di lereng Gunung Merapi. Kenangan tentang bencana
Merapi tersebut mau tidak mau memang meninggalkan jejak di alam bawah sadar
kami, penduduk yang termasuk dalam Kawasan Rawan Bencana.
Benar sejak kecil saya dan mereka
yang tinggal di kawasan bahaya merapi ring tiga sudah akrab dengan hujan abu
ataupun pasir. Namun tak separah saat letusan Merapi 5 November 2010. Beberapa
hari sebelum letusan itu beberapa tempat di Kabupaten Magelang mengalami
pemutusan aliran listrik dan air. Lantas setelahnya sekitar tiga minggu barulah
listrik dan air bersih kembali didapatkan.
depan rumah |
belakang rumah |
Hujan abu dan pasir setiap hari.
Bahkan saat letusan terbesar di bulan November 2010 tersebut hujan lumpur pun
terjadi. Pohon-pohon tak kuat berdiri. Semalaman kami tak bisa tidur saat kaum
lelaki ronda. Setiap saat mendengar dahan yang roboh dan pohon bambu patah yang
bunyinya seperti suara senjata api ditembakkan. Ketika pagi hari, kami
menemukan pemandangan yang belum pernah kami lihat sebelumnya.
Depan halaman |
Lumpur di depan rumah sampai di
atas mata kaki. Kami sulit berjalan menggunakan alas kaki karena takut
terpeleset. Anak-anak yang ketakutan. Beberapa rumah yang menggunakan kanopi
sudah ambruk tak kuat. Begitu juga dengan garasi rumah saya pun mengalami atapnya
jebol. Alhamdulillah, tidak mengenai mobil yang terparkir di bawahnya.
Tempat saya, Muntilan saat itu
seperti kota mati. Begitu lengang. Tak satupun toko yang buka. Desa saya beberapa
kampung menjadi tempat untuk mengungsi masyarakat yang tinggal di Kawasan Rawan
Bencana di Ring 1 dan 2. Banyak bantuan datang untuk pengungsi. Namun beberapa penduduk
sekitar kesulitan mendapatkan sembako. Bahkan sempat ada salah satu penduduk
yang pingsan karena kelaparan.
Seminggu setelahnya, beberapa
toko sembako mulai buka meski pintu toko tertutup sebagian. Abu masih
beterbangan. Gundukan pasir di pinggir jalan masih teronggok tinggi. Setiap
hari penduduk yang berada dipinggir jalan bergotong royong menyingkirkan abu
dan pasir. Selama dua bulan lebih Muntilan dan sekitarnya berjibaku dengan abu di
jalanan. Sampai 6 bulan jalanan di area tersebut masih terasa sangat berdebu.
2 bulan pasca bencana, lumpur dan pasir yang memadat sehingga halaman rumah nambah tingggi 15cm |
Belum habis abu di jalanan lantas
di beberapa tempat dikejutkan oleh datangnya lahar dingin yang datang melalui
Kali Putih, Kali Lamat, Kali Senowo, juga Kali Pabelan. Dampak terparah dari
lahar dingin adalah kawasan yang dilewati oleh Kali Putih dan Kali Pabelan.
Lahar dingin yang melalui Kali Putih masuk ke areal perumahan di daerah Pendem
Jumoyo, Salakan, serta Sirahan di Kecamatan Salam.
Kawasan Tamanagung dan Adikarto Muntilan pun ikut terguyur lahar dingin sehingga beberapa rumah hancur. Lahar dingin pun menghancurkan saluran irigasi sawah yang berada di pinggir Kali Pabelan sehingga sampai sekarang sawah di areal tersebut kesulitan mendapatkan air.
30 Maret 2011, Rabu Malam, Semua Jembatan
yang berada di Kali Pabelan terputus. Ada sekitar 5 atau 6 jembatan yang
menghubungkan Kecamatan Muntilan dan Kecamatan Dukun ke kecamatan Mungkid dan Kecamatan
Sawangan hilang diterjang lahar dingin. Bahkan salah satu jembatan yang menjadi
lalu lintas antar provinsi pun tak kuat menahan laju lahar dingin, sementara
yang satunya penyangga sudah retak dan miring. Beberapa hari setelah dievaluasi
jembatan yang miring tersebut hanya bisa dilewati sepeda motor saja.
Jembatan Pabelan berada di jalan Provinsi Jogja - Magelang |
Satu jembatan Pabelan yang miring |
Perasaan takut memang tak boleh
dibiarkan supaya tak menimbulkan dampak psikologis yang lebih banyak. Bagaimanapun
juga ketika pilihan kita tinggal di area seperti ini memang harus menyiapkan
hati jika sewaktu-waktu bencana kembali datang. Selain menyiapkan hal-hal penting harus selalu
ada di rumah satu lagi yang terpenting adalah berdoa.
Saya yakin, akan selalu ada
hikmah di setiap kejadian. Semoga saja abu yang keluar dari mulut Merapi bisa
lebih menyuburkan tanah-tanah kami semua.