Belajar dari Tragedi Kanjuruhan: Saatnya Orang tua Mengajari Anak Mengontrol Amarah - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Senin, 03 Oktober 2022

Belajar dari Tragedi Kanjuruhan: Saatnya Orang tua Mengajari Anak Mengontrol Amarah

mengajari anak mengelola emosi
cr : Pixabay


Tragedi Kanjuruhan masih terbayang di benak kita. Begitu banyak nyawa melayang sia-sia. Belum diketahui siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya Kanjuruhan berdarah ini. opini-opini pun berkembang liar tanpa kita tahu kebenarannya.

Banyak yang mengatakan bahwa pendukung Arema tak bisa menerima kekalahan mereka dari Persebaya Surabaya. Namun saya membaca sebuah artikel ini bukan perkara puas atau tidak puas terhadap hasil pertandingan. Ini juga bukan perkara tawuran antar pendukung karena pendukung Persebaya pun tak diizinkan masuk ke dalam stadion. Semua yang berada di stadion adalah pendukung Arema Malang.

Lalu salahnya dimana?
Tak ada seorang pun yang bisa memastikan. Menurut versi yang saya baca setelah pertandingan tim Persebaya langsung menuju ruang ganti. Tak ada sedikit pun selebrasi. Tim Persebaya hanya lima menit berada di ruang ganti lantas digiring ke kendaraan taktis yang sudah dipersiapkan keamanan untuk mengevakuasi tim Persebaya jika ada hal-hal yang tak diinginkan. Kalau membaca sampai disitu kelihatannya aman-aman saja kan?

Awal mula terjadinya kerusuhan versi yang saya baca adalah salah seorang pendukung turun ke lapangan memberikan semangat pada tim Arema yang telah mengalami kekalahan. Tak lama kemudian beberapa pendukung pun ikut turun. Pihak keamanan yang tak menginginkan hal-hal buruk terjadi pun menghalau para pendukung untuk turun. Namun halauan dari pihak keamanan tak menyurutkan langkah. Malahan semakin banyak pendukung Arema turun ke lapangan.

Entah siapa yang mulai kondisi jadi represif. Pihak keamanan pun berseteru dengan pendukung Arema. Makin banyaklah pendukung Arema yang turun mengakibatkan pihak keamanan yang jumlahnya tak seberapa kewalahan. Mereka pun menembakkan gas air mata ke arah pendukung. Sayangnya bukan ke arah yang berada di lapangan. Pihak keamanan juga menembakkan gas air mata ke arah penonton yang berada di tribun.

Tentu saja kondisi jadi chaos. Penonton berusaha menyelamatkan diri, namun banyak yang terinjak-injak karenanya. Setelah itu kondisi sama sekali tak bisa dikendalikan dan terjadilah tragedi kemanusiaan ini.

Sebagai seorang ibu dari anak penggila bola hal-hal seperti ini benar-benar meresahkan. Sejak lama saya mengkhawatirkan si Adek kalau dia ingin nonton bola secara langsung di stadion. Untungnya Adek relatif mudah untuk diberikan nasehat. Sehingga ia memilih nonton streaming di media sosial.

Memang yang namanya amarah jika tak bisa dikontrol mengakibatkan banyak kerugian bagi siapapun. Amarah itu merusak hati dan pikiran. Sebagai ibu saya pun berusaha mengajak anak untuk bisa mengontrol kemarahan dimanapun dan kapanpun.

Bisa nggak sih ngajak anak remaja untuk mengontrol amarah sementara ia sudah memiliki kekuatan sendiri?
Bisa bangetlah. Ada beberapa strategi yang digunakan untuk mengontrol amarah anak-anak terutama yang sudah remaja dan menginjak dewasa muda.
  • Anak merasa tak nyaman saat dirinya marah. Sebagai orang tua kita harus mengerti saat dirinya merasa tak berada dalam kontrol dirinya. Tenangkan dirinya karena kemarahan itu membuatnya tertekan. Dan tentunya tenangkan diri kita sebagai orang tua saat menghadapi kemarahan anak. Jangan sampai kemarahan anak kita balas dengan kemarahan yang lain.
  • Usahakan berada di dekatnya saat anak marah. Jangan biarkan anak sendirian dalam jangka waktu yang lama saat berada dalam kemarahan. Tak perlu mengintervensi, cukup berada di dekatnya untuk mengawasi resiko apakah ia menyakiti orang lain atau menyakiti diri sendiri karena terlampau marah.
  • Tak perlu mengajak diskusi saat anak marah. Anak akan mudah menyerang karena menerima input saat ia mengalami kemarahan. Biarkan ia merasa tenang terlebih dahulu sebelum kita ajak berkomunikasi.
  • Cobalah untuk berempati di segala situasi yang ia alami. Tak perlu mencari alasan untuk berargumen dengan anak. Beri waktu dan tenangkan diri kita juga terlebih dahulu. Kalau perlu katakan sekali saja bahwa kita mengerti kalau dia sedang marah.
  • Jika sudah tenang tak apa anak diajak bicara. Jadikanlah komunikasi ini tentang mereka. Bukan saatnya kita memberikan nasehat. Terkadang ada anak yang sulit berbicara langsung. Ia harus melalui media tertentu misalnya melalui email atau WA untuk berbicara. Tanyakan keadaannya, apa yang membuatnya marah, apakah ia tersakiti, ataupun bagaimana menurutnya cara menyelesaikan masalah tersebut.
  • Memperbaiki situasi bersama. Orang tua terkadang perlu untuk mengalah membuka keran komunikasi dengan anak terlebih dahulu. Mendengarkan anak bicara, menerima masukan, dan bersama-sama mencari win win solution. Orang tua perlu membangun kepercayaan anak. Jika anak sudah memiliki kepercayaan pada orang tua pintu untuk kedekatan antara orang tua dan anak akan semakin terbuka.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Berikan teladan yang baik untuk anak-anak kita supaya terbentuk karakter mulia anak yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih