Jurnal Hati Irfa Hudaya

Kamis, 03 Juli 2025

Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak Laki-laki


Assalamualaikum temans,

Saya pernah membaca artikel yang menuliskan tentang para ahli neurolog dan psikolog melihat bahwa individu usia 20 an yang seharusnya sudah menginjak usia dewasa ternyata memiliki ketidakstabilan secara emosi. Berbagai faktor mempengaruhi mengapa hal itu terjadi. Hal itu menjadikan batas usia remaja dianggap bergeser menuju angka yang makin besar.

Faktor sosial ekonomi menjadi faktor pendorong perpanjangan usia remaja. Tuntutan pendidikan yang tinggi membuat banyak individu menunda pernikahan dan memulai karir untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan itu memakan waktu yang cukup lama.

Persaingan dunia kerja membuat individu kesulitan mendapatkan pekerjaan yang stabil dan mandiri secara finansial. Hal ini menjadikan individu memperpanjang ketergantungan kepada keluarga, dalam hal ini orang tua atau siapapun yang mem-provide dirinya.

Konsep pernikahan dan keluarga juga mengalami pergeseran yang cukup siginifikan. Orang makin ragu melangkah ke jenjang pernikahan karena fokus pada pengembangan karir sebelum masuk ke jenjang itu.

Hal ini menjadikan individu merasa bahwa masa eksplorasi makin panjang dan sebenarnya membuat kecemasan dan tekanan karena pencapaian tujuan hidup makin jauh.

Menyiapkan anak laki-laki menuju dewasa

Secara Islam usia dewasa dimulai saat ia telah baligh. Di saat seseorang telah baligh maka ia telah taklif, bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Anak sudah bisa diajak untuk berpikir lebih jernih dan membicarakan hal-hal yang lebih serius dalam kehidupan.

Menata hidup bukanlah hal yang sepele. Anak-anak perlu dididik untuk menghadapi kehidupan yang rasa-rasanya semakin berat. Dan yang pasti dibutuhkan peran ayah dan ibu dalam mendorong anak-anak untuk bisa lebih kuat.

Dan sudah dipastikan yang banyak berperan dalam mendidik anak-anak adalah sang ibu. Budaya patriarki di Indonesia ini masih mengkotak-kotakkan tugas dalam rumah bahwa Ibulah yang harus memiliki peran dalam mendidik anak-anak sementara sang ayah sudah cukup berperan karena menjadi pencari nafkah dalam keluarga. Sang ayah sosoknya ada, namun peran dalam diri anak-anak sama sekali tak ada. Padahal peran ayah dalam mendidik anak-anak sangatlah besar, apalagi bagi anak laki-laki.

Apa saja peran ayah dalam pengasuhan anak laki-laki?

Maskulinitas dan identitas gender
Ayah berperan pada anak untuk mengidentifikasi dirinya bagaimana ia harus bersikap, berperilaku, menyelesaikan masalah, mengontrol emosi menunjukkan simpati dan empati pada orang lain sebagai seorang laki-laki.

Membangun kepercayaan diri
Ayah yang memiliki peran dalam diri anak laki-lakinya akan membentuk harga diri yang lebih tinggi, percaya diri, dan tidak mudah menyerah. Ia akan menyukai tantangan dan berusaha untuk menaklukkan tantangan. Motivasi anak dan kompetensi akan menjadi lebih kuat saat anak memiliki tujuan.

Kedisiplinan dan pembentukan moral pada diri anak
Anak laki-laki akan belajar bertanggung jawab, memiliki rasa keadilan, serta konsekuensi akan apa yang ia lakukan dari ayahnya. Kedisiplinan dan memahami akan batasan-batasan akan mempengaruhi anak dan efeknya akan panjang saat sang ayah berperan

Mengembangkan emosi
Seorang anak yang tak memiliki peran ayah secara emosional dalam hidupnya rentan dengan agresivitas, kecemasan, dan kesulitan dalam membangun relasi dengan orang lain. Anak belajar memahami emosi dan bagaimana mengontrol emosi berkiblat dari ayahnya.

Pengembangan ketrampilan dalam hubungan sosial
Cara seorang ayah memperlakukan ibunya menjadi benchmark bagi anak dan menjadi model mengembangan hubungan interpersonal dengan orang lain. Seorang ayah yang aktif mengajak anaknya untuk ‘srawung’ akan mengembangan ketrampilan sosial dalam diri anak bagaimana ia harys berempati akan kesedihan orang lain, berkompetisi secara sehat dan mengembangkan sikap kerjasama dengan siapapun.

Sekuat-kuatnya seorang ibu ia adalah mahluk feminin yang selalu melibatkan perasaannya jauh lebih besar dibanding logisnya. Jangan biarkan anak laki-laki terlalu banyak mengambil feminine energy karena ayahnya tak mengambil peran dalam kepengasuhan. Saat feminine energy terlalu besar dalam diri anak laki-laki. Ia tak memiliki mental provider. Ia akan sulit bertanggung jawab dan overthinking. Saat ibu mengambil alih seluruh kepengasuhan. Maka anak takkan belajar tentang struktur, batasan, dan arah karena seorang ibu akan memanjakan anak dengan caranya sendiri.

Akibatnya saat ia membangun hubungan dengan orang lain, apalagi yang terkait dengan romantisme. Ia akan menuntut selalu dimengerti karena mencari figur ibu dalam hubungan romantisnya. Ia tak siap memberikan rasa aman kepada pasangannya saat kelak ia menikah.

Sebagai orang tua memang kita memiliki cinta yang tak terbatas pada anak-anak. Jangan sampai cinta tanpa tapi ini menjerumuskan anak-anak kita sehingga menyulitkan dirinya di masa depan.

Sabtu, 28 Juni 2025

Empat Inspirasi Saya dalam Mendidik Anak
parenting



Assalamualaikum temans.

21 tahun menjadi orang tua saya masih tetap belajar menjadi orang tua. Ada fase-fase yang berbeda di setiap masanya. Bagaimana menjadi orang tua saat anak-anak masih balita, lantas pra baligh, remaja, kemudian mereka menjadi dewasa muda.

Banyak kesalahan yang saya perbuat ketika menjadi orang tua baru. Meskipun saat itu saya sudah mulai belajar tentang parenting. Sering kali apa yang sudah saya pelajari baik lewat media maupun buku ternyata tak berhasil saya terapkan pada anak-anak saya. Meski orang-orang bilang setiap keluarga memiliki gaya parenting sendiri atau anak-anak itu nggak sama sehingga yang tertulis di media maupun buku tak tepat. Saya tetap meyakini bahwa ilmu parenting sangat penting.

Bagaimana saya belajar parenting selama 21 tahun tersebut? Ada beberapa orang dan bacaan yang menjadi inspirasi saya saat mengasuh anak hingga saat ini.

Tabloid Nakita
Tabloid ini mulai terbit sekitar tahun 1999. Tabloid yang memberikan informasi seputar ibu dan anak ini diterbitkan oleh Kompas Gramedia Grup.Tabloid Nakita memberikan informasi seputar relasi pasangan muda, kehamilan, persalinan, tumbuh kembang anak serta parenting.

Saya mulai berlangganan Nakita sejak hamil Kakak. Saya cukup terbantu dengan informasi-informasi yang diberikan oleh tabloid ini. Meski terkadang bertentangan dengan kebiasaan orang tua zaman dulu. Saya tetap menjadikan Tabloid Nakita ini menjadi panduan bagi saya dalam mengasuh anak-anak. Bahkan nama Adek pun terinspirasi oleh nama bayi yang ada di tabloid ini.

Buku-buku karya Ayah Edy
Saya membeli beberapa buku parenting karya Ayah Edy ini. Buku-buku beliau memuat tentang tips dan trik mengasuh anak di berbagai jenjang usia. Bahasa yang digunakan sangat mudah dipahami. Dengan format tanya jawab memudahkan pembaca memetakan masalah-masalah yang sering dihadapi oleh orang tua muda.

Meski ada beberapa trik yang saya terapkan ke anak-anak tetapi gagal. Mostly buku Ayah Edy ini menemani saya mengasih anak sampai saya menemukan partner diskusi tentang parenting.


Dr. Riana Mashar, M.Psi, Psikolog
Beliau adalah dosen Pendidikan Guru Paud di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saya bertemu beliau sekitar tahun 2010 saat saya merasa berbagai ilmu parenting yang saya baca tak lagi menjawab permasalahan yang terjadi pada Kakak. Beberapa kali saya merasa kewalahan dalam mengasuh anak-anak. Mbak Yana, begitu saya biasa memanggilnya. Beliau memetakan berbagai permasalahan yang saya temui.

Sering kali perilaku anak-anak saat itu dikarenakan ketidakkonsistenan saya dalam mengasuh anak-anak. Terkadang strict, tapi sisi lain permisif. Sering kali aturan tak bisa ditegakkan sehingga anak-anak pun mengalami kebingungan.

Saat Adek mengalami hambatan emosi Mbak Yana lah yang membantu saya dengan assesment yang diberikan. Cukup lama sampai emosi Adek cukup stabil.

Beliau seorang single parent. Tetapi anak-anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang kuat psikologisnya. Menurut saya beliau mematahkan mitos bahwa anak-anak yang broken home adalah anak-anak yang bermasalah. Masya Allah. Saya tak menemukan itu dari anak-anak mbak Yana. Mereka tumbuh dengan empati dan simpati yang tinggi, tutur kata yang sopan, dan akademis pun juga bagus.


Miftahul Jannah, M.Psikolog.
Mbak Ita, begitu saya memanggilnya. Buat saya beliau adalah guru kehidupan. Beliau menjadi partner mendidik anak-anak sejak Kakak remaja. Kakak pun sangat nyaman jika berbicara tentang masalah-masalah yang dihadapi ataupun teman-temannya. Mungkin karena umur beliau jauh lebih muda dari saya. Sehingga Kakak pun merasa tak bicara dengan orang tua.

Meskipun saya tak bisa mencontoh bagaimana beliau mendidik Zahro sang buah hati. Akan tetapi saya selalu mendapatkan pencerahan setiap kali ngobrol dengan beliau. Apa yang beliau sampaikan berdasarkan Al Quran dan Hadits.

Ngobrol perkara iman tak pernah membosankan dengan beliau. Meskipun usia dibawah saya hampir 10 tahun. Kedewasaan dan logika berpikir yang ada di beliau memberikan saya pemahaman tentang rumah tangga dan mendidik anak sesuai dengan tuntunan agama.

Perbaiki hubungan kita dengan Allah maka Allah akan memperbaiki hubungan kita dengan manusia. Perbaiki ibadah kita. Allah akan menyelesaikan semua urusan di dunia.

Bagi saya kata-kata beliau seperti mantra sakti yang membuat hati lebih lapang. Bahkan Paksu juga megatakan setiap kali pulang dari bertemu dengaan Mbak Ita pemikiran jadi lebih bersih dan lebih semeleh.

Kalau kalian bagaimana? Inspirasi apa yang kalian temukan dari hal-hal yang tak jauh dari kita?

Minggu, 08 Juni 2025

Pernikahan adalah Seni Tentang Berkorban
pernikahan


Apa yang kalian bayangkan tentang arti sebuah pernikahan? Kalau dalam hukum Islam doa yang paling sering dipanjatkan adalah menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Atau yang lebih umum adalah happily ever after. Apakah pernikahan itu memang bahagia selamanya?

Tentu saja tidak. Dalam agama yang saya anut pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Kalau membayangkan bahagianya bersama dengan orang yang dicintai dan dikagumi sepenuh hati. Tentunya semua orang ya pengen berada dalam ikatan pernikahan.

Sayangnya menikah itu tidaklah semudah itu. Kebahagiaan itu tak datang dengan sendirinya. Kebahagiaan dalam pernikahan adalah ikhtiar dari kedua belah pihak untuk mewujudkannya. Perjuangan yang tidak mudah untuk selalu bersama. Berada dalam satu rumah dengan seseorang yang tak memiliki hubungan darah dengan kita. Akan tetapi kita harus berkompromi dan bekerjasama jika kita menginginkan pernikahan yang dimiliki bisa berjalan lama, bahkan selamanya.

Menikah bukan hanya dengan pasangan. Akan tetapi dengan lingkungan yang dimiliki oleh pasangan. Keluarga, teman, pekerjaan sering kali menjadi batu sandungan jika kedua belah pihak tak memiliki kesepakatan untuk menurunkan ego masing-masing. Untuk itu pasangan harus saling berkorban demi sebagai wujud cinta orang dewasa.

Apa saja sih bentuk nyata dari pengorbanan pasangan dalam melanggengkan ikatan suci yang disaksikan oleh Sang Pencipta dan para mahluk langit? Sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan oleh pasangan. dan beberapa contohnya ada di bawah ini  

Saling meredam emosi negatif saat ada masalah.
Emosi memang perlu divalidasi. Perlu adanya pengungkapan emosi apalagi emosi negatif. Akan tetapi yang perlu diingat adalah emosi negatif itu dibicarakan bukan dilampiaskan. Itu dua hal yang berbeda. Berbicara dengan nada tinggi, berkata-kata kasar, menendang pintu, itu adalah contoh melampiaskan emosi negatif. Melampiaskan emosi negatif di satu sisi akan melegakan. Tapi sisi yang lain akan menyakitkan pasangan. Antara manfaat dan madharatnya lebih besar yang mana?

Akan tetapi saat kita membicarakan ketidaksukaan kita pada apa yang dilakukan pasangan dengan nada yang biasa saja atau rendah, itulah yang dinamakan validasi emosi.

Biasanya antar pasangan akan lebih menghargai jika keduanya berbicara dengan nada yang rendah.

Setiap konflik dibicarakan dengan kepala yang dingin. Saat hati dan kepala panas, ada baiknya menjauh barang sejenak, daripada saling menyakiti satu sama lain. Namun jangan sampai terlalu lama saling menjauh. Diusahakan sebelum naik ke tempat tidur masalah telah dibicarakan sampai selesai.

Memberi waktu dan perhatian.
Tak memungkiri jika kedua belah pihak sama-sama lelah setelah seharian beraktivitas. Ada urusan kantor, ada pula yang lelah dengan urusan anak dan rumah. Bagi perempuan waktu yang diinginkan bisa jadi sekadar didengarkan keluh kesahnya. Tak harus memberikan solusi. Laki-laki hanya siap mendengarnya bercerita apa yang terjadi hari itu.

Bagi laki-laki waktu yang dibutuhkan bisa jadi istirahat dengan tenang tanpa direcokin oleh anak. Makanya sang istri perlu memberikan jeda bagi laki-laki untuk sekadar tenang ketika masuk ke dalam rumah. Mandi sore, scroll HP, atau sekedar main dengan peliharaan. Jika penatnya telah lewat bolehlah istri bercerita apa yang menjadi ganjalan hatinya hari itu.

Mengutamakan kebutuhan pasangan atau keluarga.
Untuk yang satu ini saya mengalaminya sendiri. Paksu begitu jarang membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. saat gajian yang dipikirkan adalah anak dan istrinya. Apa kira-kira kebutuhan saya atau anak yang paling urgent, itu akan menjadi prioritasnya. Bahkan saya sering menemui sepatunya yang jebol, baju yang koyak, celana yang sobek tetap ia pakai sehingga sayalah yang mikirin apapun kebutuhannya.

Bisa jadi itu adalah wujud dari tanggung jawabnya sebagai laki-laki. Meski banyak juga laki-laki yang sulit untuk memiliki perasaan yang serupa.

Adaptasi dengan berbagai perubahan
Perubahan bisa jadi berpindah tempat tinggal, mengubah karir atau mengalami masa sulit finansial. Itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk diterima. Saya pun pernah mengalaminya saat beberapa kali suami mengalami kehilangan pekerjaan.

Kejadian yang sangat membekas dalam ingatan saya adalah akhir tahun 2016 sampai pertengahan tahun 2017. Delapan bulan suami mengalami jobless. Pendapatan saya sebagai frelancer tentu saja tak mampu menutup kebutuhan sehari-hari. Tabungan pun terkuras habis. Untuk berhutang kok rasanya kelu.
Sering kali saya mengalami tak memegang uang sepeserpun.
Panik? Tentu saja. Akan tetapi semuanya saya pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Buat saya yang terpenting adalah tak memberatkan suami dengan hal-hal yang saya alami. Saat itu kami menjalani Long Distance Marriage.

Berbagai pertolongan Allah saya dapatkan lewat orang-orang terdekat. Tanpa harus bercerita berbagai rezeki datang lewat mereka. Kuasa Allah terlihat begitu nyata bagi saya.

Memaafkan, meskipun terluka.
Saya pernah ngobrol dengan salah satu teman yang sering kali saya ajak tukar pikiran. Baginya ketika pasangan masih melakukan hubungan baik dengan tuhannya. Masih bertanggung jawab pada keluarga. Tidak mendua. Dan tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Baginya pernikahan tersebut masih layak dipertahankan.

Bagi saya, pernikahan yang saya jalani tidak mulus-mulus saja. Ada masa 20 tahun pernikahan saya mengalami berbagai ujian. Dan ini adalah bagian pengorbanan saya yang paling besar menurut saya. Luka dalam pernikahan pernah saya alami. Bahkan saya pernah merasa ingin menyerah karena merasa tak mampu bertahan.

Sepuluh tahun pertama saya memilih bertahan karena ingat anak-anak. Sepuluh tahun kedua pada akhirnya saya bertahan karena suami mengalami gangguan kepribadian. Ia perlu ditolong. Saya yang tadinya mikir bahwa saya adalah victim. Berusaha untuk mengubah sudut pandang.

Menjadi helper. Meski terkadang begitu lelah. Akan tetapi saya tetap berusaha untuk mendampingi. Karena apa yang pernah ia lakukan sebenarnya juga tak ia kehendaki.

Kami datang ke profesional. Bersyukurnya saya, suami menerima kondisinya. Banyak laki-laki yang tak mau ego dan harga dirinya turun karena kelemahannya. Setelah mendapatkan assesment. Alhamdulilah perubahan suami begitu kentara.

Dua tahun sudah hal itu pernah terjadi. Sejauh ini masih aman terkendali. Saya dan suami sama-sama berusaha untuk mengendalikan diri. Sama-sama mengorbankan ego masing-masing. Untuk memberikan rasa aman dan damai. Tak hanya buat kami. Yang terpenting adalah untuk anak-anak.

Pernikahan tak ada yang ideal. Seperti sebuah kehidupan. Tak ada yang sempurna. Semua melalui kompromi di antara kedua belah pihak. Untuk sama-sama berjuang. Tak sayang untuk berkorban. Apalagi jika layak untuk dilakukan.

Pengorbanan dalam pernikahan adalah memilih untuk tetap bersama. Bukan karena mudah. Akan tetapi karena itu berharga.

Senin, 02 Juni 2025

Cinta di D’Pala Foodcourt


Sebut saja namanya Isa. Ia pengunjung D’Pala Foodcourt, sebuah pujasera yang dipercayakan oleh sepupu saya untuk dikelola bersama keluarga. Sudah setahun ini ia menjadi pengunjung tetap.

Pesanannya bisalah tertebak. Es teh, es cappuccino sachet, atau saat dingin menusuk tulang ia bakal pesan jahe anget. Saat pesan es ia request tak menggunakan sedotan. Sepertinya ia menikmati menyesap minuman yang tersaji.

Minuman yang ia pesan bersanding dengan bola ubi atau minipao. Menu-menu dan harga yang minimalis pasti jadi favorit anak-anak SMA. Kalau lapar biasanya pesan nasi telur. Akhir-akhir ini ia senang mengudap salad sayur yang saya buat.

Ia sering menyendiri. Di tengah ramainya teman-teman yang sama-sama ngumpul di D’Pala. Ia memilih mojok dengan laptop dan headphonenya. Karena sudah di penghujung SMA. Ia pun belajar sendiri. Benar-benar ia duduk di ujung sambil memandang jalanan. Sering kali ia menutup kepalanya dengan hoodie hijau pastel yang ia pakai.


Anaknya soft spoken banget. Sopannya Masya Allah. Kalau mengucapkan terima kasih ia meletakkan salah satu tangannya ke dada. Saya kira semua orang tua yang berhadapan dengannya langsung merasa jatuh sayang. Apalagi kalau sudah ngobrol dengannya. Saya aja betah kok ngobrol sama anak ini.

Satu saat suasana Foodcourt sedang sepi. Tak biasanya ia duduk di meja bar, dekat dengan kasir. Awalnya ngobrol random aja. Lama-lama ia bicara tentang cita-citanya. Saat ia bercerita saya merasa anak ini butuh sesuatu.

Berawal dari cerita bahwa ia lebih menyukai gadis yang dewasa. Sebagai anak sulung yang dituntut apa-apa harus sendiri. membutuhkan seseorang yang bisa mengarahkannya. Akhirnya ia bercerita tentang keluarganya.

Ia sangat mencintai keluarganya. Bahkan terhadap Ayah yang sering berbicara dan melakukan kekerasan fisik padanya. Ia menahan diri tak pernah mengeluhkan apapun pada Ibunya. Karena ia tahu beban ibunya sangat berat. Ibunya tulang punggung dalam rumahnya. Makanya tak ingin sedikitpun ia menambah pikiran sang ibu karena ia berpikir ialah yang akan menjadi sandaran ibunya.

"Apapun yang pernah Ayah lakukan ke saya. Saya tetap sayang dan hormat sama Ayah. Kalau saya melakukan hal-hal buruk karena beliau. Saya yang nggak tega melihat sedihnya Ibu dan adik."
Begitu katanya saat ia bercerita tentang apa yang pernah sang ayah lakukan padanya. Saya yang menahan air mata mendengarnya.

Ia tak pernah bercerita pada sahabat-sahabatnya. Karena menurutnya ia dibutuhkan oleh teman-temannya untuk berpikir paling waras. Semua masalah sahabatnya ia tahu. Namun mereka tak boleh tahu apa yang bergejolak dalam dadanya.

"Sebenarnya itu nggak baik ya, Buk? Saya takut suatu saat bisa meledak karena nggak kuat menahan semuanya. Gimana ya Buk, saya bener-bener nggak bisa curhat sama teman, sedeket apapun. Ini aja ada temen ngajak ketemuan di sini karena pengen cerita."

"Sekarang kamu punya tempat bercerita, Nak. Ada Ibuk, ada Bapak. Bisa sama Kak Anya dan Mas Lilo juga."
Ia tersenyum, sambil menganggukkan kepala. Ekspresinya seperti terlihat lega, layaknya beban terangkat dari pundaknya.

Sering kali saat ia bercerita mata sayalah yang berkaca-kaca. Ia tersenyum dan berkata, “Saya nggak papa kok Buk. Beneran.”

Semakin ia berusaha meyakinkan saya jika baik-baik saja. Saya malah makin merasa anak ini tak bisa dibiarkan sendiri. Saya tahu rasanya jadi anak sulung. Menjadi tumpuan keluarga. Menjadi orang yang paling diandalkan.

Satu persatu cerita tentang keluarganya mengalir. Meski tak seutuhnya. Sedih rasanya melihat senyum getirnya. Tapi saya lega. Setidaknya sekarang ia punya tempat untuk bercerita.
“Ibu, saya pengen berterima kasih pada Ibu. Sebelumnya saya tak pernah berani menatap orang jika bercerita. Tapi sama Ibu saya belajar banyak.”
Ia berkata begitu sambil meletakkan kedua tangannya di dada dan sedikit membungkukkan badannya. Manusia setengah baya ini kan langsung meleyot ya?

Saat ia mengalami kegagalan.

28 Mei 2025 pengumuman SNBT dibuka. Pas saya nggak ke foodcourt. Malam hari saat Paksu pulang ia bercerita jika Isa tak lolos SNBT.
“Salam dari anakmu,” goda Paksu.
Saya ingat obrolan terakhir tentang ketakutannya jika tak lolos SNBT. Ia berpikir jika harus UM maka ibunya harus menyediakan biaya lebih untuk membayar UKT maupun IPI. Tiba-tiba saja rasa khawatir saya menyeruak. Tanpa mikir lagi saya DM Isa. Dan anak ini emang fast response. Ia langsung membalas DM saya.


Setelah hari itu saya lihat ia kembali belajar di foodcourt. Di temani oleh cemilan favorit ia kembali lagi sibuk dengan soal-soal. Terkadang sampai jam tutup ia masih berada di foodcourt. Bahkan pernah hanya dirinya sendiri pengunjung yang belum pulang.

Biasanya saya strict banget sama aturan. Orang tahunya kalau saya yang jaga jam 22.00 tepat semua harus sudah pulang. Isa mengubah kebiasaan saya. Karena saya punya harapan. Perjuangannya belum selesai.

Isa, hidup itu isinya perjuangan. Semoga Allah mudahkan perjalananmu. Tak ada yang sia-sia atas apa yang kamu lakukan selama ini.

Minggu, 18 Mei 2025

Move on dari Obesitas Menuju Sehat
Obesitas


Obesitas tidak terjadi secara tiba-tiba. Itu yang terjadi di diri saya bertahun-tahun lalu. Peningkatan berat badan terjadi karena pola makan saya yang buruk. Setiap kali mengalami stress coping mechanism yang terjadi adalah makan dengan jumlah yang banyak dan tentu saja bukan makanan sehat. Berbagai jenis junk food hampir tiap hari masuk ke tubuh saya.

Sampai pada suatu saat makan dengan jumlah kalori yang tinggi tak lagi sebagai coping mechanism. Akan tetapi menjadi sebuah kebiasaan. Apalagi memang saya suka sekali dengan makanan dan minuman manis. Tentu saja hal ini makin menambah racun di tubuh saya.

Saya nggak peduli apa kata orang dengan bentuk tubuh saya. Suami pun nggak protes dengan tubuh saya yang makin menebal. Tubuh sebenarnya juga sudah mengirim sinyal bahwa di dalam sana ada yang tak baik-baik saja. Akan tetapi saya denial. Asal nggak ada keluhan berat artinya saya nggak sakit.

Tahun 2018 berat badan saya hampir mencapai 80 kg. dengan tinggi badan yang hanya 1,5 meter tentu saja nggak ideal sama sekali. Berusaha diet tanpa memiliki pengetahuan yang memadai. Dan tentunya pemahaman yang salah tentang diet itu sendiri.

Memang sih, mengurangi porsi makan. Akan tetapi saya tetap sulit untuk tidak mengonsumsi minuman manis. Bahkan saya bisa sekali duduk konsumsi es teler sampai dua mangkok. Hampir enam bulan berusaha melakukan diet yang salah. Tentu saja kegagalan penurunan berat badanlah yang terjadi. Saya pun menyerah. Lagi-lagi nggak kontrol dengan apapun yang saya konsumsi. Lantas memanen rasa sakit dan tak nyaman di tubuh lebih banyak.


Memulai diet

Obesitas


Awal tahun 2019 saya mengalami sakit kepala dan sakit di tumit kaki. Saya pun ke laboratorium untuk ngecek kolesterol, kadar gula, asam urat serta trigliserida. Anehnya semuanya normal. Tapi tubuh saya kok rasanya sakit semua.

Hampir tiga minggu saya nggak bisa bangun karena sakit kepala yang hebat. Qodarullah di masa itu berturut-turut orang yang saya kenal meninggal secara tiba-tiba. Hal yang membuat saya takut karena mereka memiliki riwayat obesitas.

Saya pun menghitung waktu. Ibu saya obesitas dan mengalami stroke di usia lima puluh tahun. Saat itu usia lima puluh tahun bagi saya ya sekitar tujuh tahun lagi. Saya tak ingin mengalami hal yang sama dengan ibu saya. Dalam pikiran saya itu terbersit bahwa saya harus hidup lebih sehat.

Kondisi ini memicu semangat saya untuk move on dari kegagalan diet yang pernah saya alami. Menguatkan niat untuk hidup lebih sehat supaya bisa menua tanpa memberatkan anak cucu. Dalam kondisi tak sehat di tempat tidur. Mulailah saya membaca dan mencari tahu tentang diet yang sehat. Saya kesampingkan konten-konten diet yang menjanjikan penurunan berat badan secara cepat.

Saya pun mencari konten dengan orang yang memiliki profesi sebagai dokter sebagai rujukan. Saya berhati-hati mencari channel youtube tentang pola hidup sehat. Sebagai pemula saya pun memilih konsep diet yang paling mudah untuk dijalani. Saya harus berterima kasih pada channel Yulia Baltschun dan Dion Haryadi yang telah mengenalkan saya apa dan bagaimana defisit kalori itu. Pelan-pelan saya berusaha menjalankan apa yang mereka ajarkan.

Sebelum melakukan diet saya menghitung BMR (Basal Metabolic Rate) dengan kalkulator TDEE (Total Daily Energy Expenditure). Hal ini dilakukan untuk mengukur seberapa banyak energi yang saya perlukan dan menentukan kalori yang saya butuhkan untuk mencapai tujuan berat badan tertentu. Jika saya ingin menurunkan berat badan, maka jumlah kalori yang saya butuhkan harus berada di bawah BMR saya. Setidaknya saya harus memotong minimal 20% dari kebutuhan kalori tubuh saya dalam kondisi menjaga berat badan.

Melakukan diet secara konsisten


obesitas


Ternyata diet bukan hanya sekedar mengurangi porsi makan. Akan tetapi mengubah pola makan dan pola pengolahan bahan makanan. Saya memulai dengan mengubah apa yang saya minum. Karena saya masih harus minum yang berasa akhirnya sata stok berbagai macam jenis jeruk untuk menambah rasa pada air putih. Sebelumnya saya merasa eneg jika minum air putih.

Setelah bisa minum air putih saya sama sekali tak mengolah makanan dengan menggunakan santan. Saya juga stop beli kudapan yang berbahan tepung tepungan. Saya juga stop gorengan, kudapan yang sangat saya suka. Lama-lama saya pun tak menggunakan minytak untuk memasak sehari-hari.

Saya jadi rajin browsing mengolah lauk dan sayur tanpa minyak. Mencoba berkreasi supaya anak-anak pun tetap bisa makan tanpa saya harus memasak dua kali. Alhamdulillah keluarga tidak ada komplain sama sekali. Hanya saja memang suami belum bisa lepas dari gorengan. Akhirnya saya tetap sediakan dengan jumlah yang terbatas.

Pelan-pelan berat badan pun mulai turun. Bulan pertama turun 3 kg membuat saya sungguh girang. Saya pun mulai berusaha tertib dengan pola makan yang saya lakukan. Dan menepati jadwal makan.

Mengatur Pola Makan

obesitas


Pagi hari saya memulai sarapan di jam 07.00. Biasanya yang saya konsumsi adalah buah-buahan atau oat. Untuk buah-buahan saya memilih pepaya, melon, atau semangka. Selain terhitung murah dengan kuantitas yang banyak jumlah kalorinya tetap rendah.

Sekitar jam 09.00 sampai jam 10.00 saya mengudap buah lagi. Biasanya jam-jam itu rawan lapar. Sebelum melakukan diet jam-jam segitu saya sudah nge-brunch ngajak temen sambil ngobrol sampai siang. Namun setelah melakukan diet saya mencoba untuk menertibkan jam makan.

Jam 12.00 adalah waktu saya untuk makan siang. Makan siang yang saya konsumsi makan lengkap dengan komposisi nasi, sayur dan lauk. Karena melakukan defisit kalori maka saya mengurangi karbohidrat dan menambah sayur atau lauknya.

Jam 15.00 saya mengudap buah lagi. Jika nggak lapar saya bakal skip kudapan dan menunggu makan sore. Bukan makan malam ya, karena saya menutup jam makan saya jam 17.30 – 18.00 dengan sayur dan lauk saja. Setelah itu saya hanya konsumsi air putih atau minuman tanpa gula.

Lima bulan melakukan diet defisit kalori berat badan saya turun 14 kg. Dalam kurun waktu lima bulan itu saya juga melakukan cheating meal setiap seminggu sekali. Bukan cheating day. Tapi memilih makanan yang sangat saya suka untuk nge-crack supaya saya tak kalap jika sudah sangat ingin makan sesuatu yang saya suka, misalnya ice cream atau berbagai jenis cake yang saya suka.

Cheating meal saya lakukan setelah sebulan melakukan diet. Sudah mulai turun berat badan. Bukan baru seminggu lantas melakukan cheating. Tentunya tubuh harus dibiasakan dulu dengan pola makan yang saya lakukan.

Hanya lima bulan saya melakukan defisit kalori. Setelah itu saya nggak lagi Untuk menjaga berat badan supaya tak berpindah angka saya melakukan olah raga secara rutin. Meski saya tetap menjaga pola memasak untuk keluarga.

Enam tahun setelahnya. Saya sempat naik berat badan sampai 6kg karena tak berolahraga maupun ngawur dengan pola makan saya. Tahun ini saya terbantu saat melakukan defisit kalori dan olahraga rutin di bulan puasa. Berat badan saya turun 5kg. Alhamdulillah sampai saya mengabadikan cerita saya ini timbangan tidak bergeser meskipun sudah tidak puasa.

Yang saya lakukan adalah mengganti nasi dengan karbohidrat kompleks seperti umbi-umbian atau oat. Jika satu hari saya makan kue atau kudapan yang mengandung tepung atau minum minuman manis, maka hari itu juga saya sama sekali tak makan karbohidrat.

Diet mengajarkan disiplin dan konsisten


Saya menyadari untuk memulai sesuatu selain niat yang kuat adalah disiplin dan konsisten. Waktu makan yang teratur dengan pola makan dan pola mengolah makanan yang minim minyak memberikan hasil yang maksimal.

Berbagai keluhan yang ada pada akhirnya menghilang perlahan. Saat check ke laboratorium pun hasilnya pun baik. Kolesterol yang saya khawatirkan masih dalam kondisi normal, begitu juga dengan trigliserida.

Meski berat badan masih dalam kategori overweight setidaknya saya cukup nyaman saat melakukan takhiyat akhir waktu shalat. Hal itu dikarenakan lemak yang menumpuk di pinggang dan panggul banyak berkurang.

Sepertinya saya pengen ngelakuin defisit kalori lagi. Pengennya sih bisa turun tujuh kilo lagi mendekati berat badan ideal. Namun saya perlu niat yang kuat. Apalagi hampir dua tahun ini bersama suami mengelola tempat makan yang menyediakan berbagai kudapan atau makanan berat yang menggoda selera.

Semoga ini bukan hanya wacana ya?

Rabu, 14 Mei 2025

Jangan Terjebak dalam Mentalitas Korban
jadi perempuan berdaya


Assalamualaikum temans,

Setiap orang berpotensi mengalami ketidakadilan, pelecehan, kejahatan, dan berbagai ketidaknyamanan dalam kehidupan. Pasti akn mengalami trauma saat menjadi korban di berbagai titik di dalamnya. Namun beberapa individu mengembangkan mentalitas menjadi seorang korban. Alih-alih mencari solusi atau pemecahan masalah. Individu ini lebih ‘senang’ untuk menceritakan penderitaannya dibanding mengusahakan langkah yang bisa membuatnya beranjak dari rasa sakit yang dideritanya.

Kondisi pikiran yang seperti inilah yang akan mempersakit batinnya. Tentu saja akan menghalangi individu untuk mencapai kedamaian dan kepuasan. Semuanya berpusat pada diri sendiri. Tak memikirkan orang lain yang menjadi pendampingnya.

Ada tinjauan studi yang dilakukan oleh Kaufman (2020) tentang mentalitas korban. Empat karakteristik utama dari individu yang memiliki mentalitas korban adalah :
  • Terus menerus mencari pengakuan atas status korbannya. Individu dengan mentalitas korban akan mencari validasi dari orang lain atas status korbannya. Ia akan terus-menerus mengeluh menganggap perubahan dalam keadaan sebagai sesuatu yang tidak adil.
  • Elitisme moral atau keyakinan atau sikap bahwa sekelompok orang tertentu, memiliki moralitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain dan merasa berhak atas anggapan bahwa moralitas mereka lebih penting atau valid. Elitisme moral seringkali digunakan untuk mengendalikan orang lain dengan menuduh orang lain tidak bermoral, tidak adil, atau egois
  • Kurangnya empati atas rasa sakit yang diderita oleh orang lain. Individu ini tidak mampu membayangkan sudut pandang lain dan terjebak dalam mentalitas korban yang memiliki kecenderungan mementingkan diri sendiri. Ia tak mempedulian seberapa besar perasaan tak nyaman orang lain, bagaimana orang lain pun memiliki penderitaan meski dengan kadar yang berbeda. Orang lain harus tidak terus-menerus memberikan validasi atas apa yang mereka rasakan sebagai korban.
  • Fokus dengan viktimisasi di masa lalu. Pikiran yang berulang tentang pengalaman yang buruk di masa lalu menyebabkan ia memiliki perasaan yang selalu negatif. Ia akan selalu merasa sedih yang berkepanjangan, rasa malu yang tak berujung, bisa jadi membuat dirinya stres dan depresi.

Tanda-tanda pola pikir individu yang memiliki mentalitas korban

Individu yang terus menerus menganggap diri mereka sebagai korban sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan mereka melalui “keuntungan” yang diperoleh dari menghindari tanggung jawab atas masalah. Biasanya mereka melakukan hal-hal berikut ini.
  • Menyalahkan orang lain atas masalah dan kesulitan mereka
  • Membebankan tanggung jawab atas perasaan dan kesalahannya pada orang lain bukan diri sendiri.
  • Ketidakberdayaan karena merasa bergantung pada orang lain yang berada di luar kendali mereka
  • Fokus merasakan kemalangan yang dirasakan dan mengasihani diri sendiri
  • Tidak mau atau berusaha mengambil langkah aktif untuk memperbaiki situasi yang dialami.
  • Memiliki perpektif negatif dan cenderung menggantungkan harapan dan kebahagiaan pada orang lain

Memperbaiki mentalitas korban supaya lebih berdaya

perempuan berdaya


Sebenarnya satu hal yang wajar saat peristiwa yang menyakitkan itu akan membuat manusia sedih, terluka, marah, kecewa dan perasaan negatif yang bercampur menjadi satu.

Tak mengapa untuk beberapa saat manusia yang menjadi korban ini memvalidasi perasaan negatifnya. Itu hal yang sangat manusiawi. Namun pada akhirnya si korban juga harus pulih dan dari rasa sedih dan trauma supaya memiliki kehidupan yang lebih baik.

Pengembangan akan kesadaran diri, kemauan untuk melakukan perubahan dan memiliki komitmen dan bertanggung jawab dari berbagai pilihan dan tindakan. Jangan sampai pilihan dan tindakan yang dilakukan malah menjadikannya memiliki penyesalan yang berkepanjangan.

Jika merasa kesulitan untuk keluar dari akar masalah yang dihadapi boleh kok meminta pertolongan orang lain bahkan akan jauh lebih baik jika meminta bantuan dari profesional. Tentunya dengan pendampingan dari profesional tentunya proses yang dijalani akan lebih terarah dan bisa jadi akan lebih cepat pulih.

Namun jika ingin melakukan sendiri, coba saja lakukan langkah-langkah ini untuk menjadikan diri sebagai individu yang lebih berdaya.

  • Meningkatkan kesadaran diri sendiri bahwa tak selamanya berpikir sebagai korban terus menerus.
  • Membangun kekuatan diri sendiri untuk lebih kuat atau memperbaiki diri sendiri dari segi manapun. Fokus pada kekuatan yang dimiliki dibanding hal-hal yang tak dipunyai.
  • Menentukan tujuan atau prioritas tujuan yang realistis. Pilih langkah-langkah yang lebih mudah dan bisa dilakukan tanpa bantuan orang lain. Keberhasilan kecil akan menaikkan kepercayaan diri sehingga akan mengurangi perasaan tak berdaya.
  • Fokus untuk mencari solusi dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.
  • Reframing atas semua yang terjadi itu alamiah dan belajar dari pengalaman yang dimiliki.
  • Menguatkan diri dan belajar menghadapi tantangan, ketidaknyamanan, belajar beradaptasi dengan situasi yang baru, mempelajari jika suatu saat timbul masalah yang baru, dan mengembangkan sisi psikologis menjadi pribadi yang lebih fleksibel.
  • Berlatih menetapkan batasan yang sehat termasuk pada orang-orang terdekat untuk mencegah manipulasi dan eksploitasi. Belajar berkata tidak dan memiliki prioritas pada kebahagiaan sendiri. Sadari bahwa sudah bukan saatnya lagi menggantungkan harapan dan kebahagiaan pada orang lain.
  • Mendorong rasa syukur dan belajar menghargai hal-hal sekecil apapun dalam hidup.
  • Maafkan diri sendiri bahwa kesalahan bisa terjadi pada siapa saja. Cintai diri sendiri untuk memenuhi tangki cinta sebelum mencintai pihak lain. Sadari bahwa diri sendiri lebih berharga.

Individu yang berada dalam jebakan mentalitas korban akan menjadi semakin frustrasi dan melelahkan. Perasaan putus asa akan memangkas upaya individu untuk semakin berdaya. Tak ada perbaikan yang instan. Namun dengan berlatih tak ada yang tak mungkin.

Kesehatan mental menjadi tanggung jawab diri sendiri. Bukan orang lain.