Tragedi Andes 1972: Semangat Penyintas Menembus Batas Logika Manusia - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Minggu, 12 Oktober 2025

Tragedi Andes 1972: Semangat Penyintas Menembus Batas Logika Manusia

Kecelakaan Pesawat 1972
cr : rarehistoricalphotos.com


Assalamualaikum temans,
Setiap manusia memiliki perjuangan masing-masing dalam hidup. Entah mereka harus struggle dalam perekonomian, rumah tangga, kesehatan. Atau juga ujian hidup yang mempengaruhi segala aspek kehidupannya. Bahkan ada yang mengalami kondisi bertahan dalam situasi yang sangat ekstrim. Tentunya bagi mereka yang mengalami hal itu memiliki trauma yang cukup dalam. Namun saat mereka telah melewati hal itu. Dan mereka tetap bisa melalui kehidupan. Tentunya akan memberikan inspirasi yang luar biasa bagi orang lain.

Dalam minggu ini rencananya saya mau nonton film Tukar Takdir yang dibintangi oleh Nicolas Saputra. Film ini berkisah tentang tokoh-tokoh yang saling berkaitan dengan kecelakaan sebuah pesawat terbang. Salah satunya adalah karakter Rawa yang merupakan satu-satunya korban yang selamat.

Rasanya film ini relate dengan sebuah kisah epic tentang kecelakaan pesawat di Pegunungan Andes di Amerika Selatan. Sebuah kecelakaan yang terjadi pada tahun 1972. Masa dimana teknologi belum secanggih sekarang. akan tetapi korban yang selamat mengusahakan tetap hidup dengan berbagai cara yang tak masuk akal.

Tragedi Kecelakaan Pesawat di Pegunungan Andes 1972

Tepat 53 tahun yang lalu. 13 Oktober 1972 Penerbangan angkatan udara Uruguay 571 mengangkut tim rugby Old Christians Club bersama keluarga dan para pendukung. Pesawat ini berangkat dari Montevideo menuju Santiago. Sebelum sampai ke Santiago pesawat ini singgah di Mendoza.Mereka mengalami kecelakaan di Pegunungan Andes. Sebuah wilayah pegunungan terpencil di Argentina. Tepatnya di dekat perbatasan dengan Chile. Pesawat Fairchild FH-227D tersebut jatuh pada ketinggian sekitar 3.660 meter (12.020 kaki).

Sebuah kesalahan navigasi dari seorang co pilot yang kurang berpengalaman membuat kecelakaan itu terjadi. Co pilot salah mengira telah melewati puncak gunung dan mulai menurunkan pesawat terlalu dini. Hal itu membuat pesawat pun menabrak lereng gunung dengan kekuatan tinggi.

Bagian ekor pesawat menabrak gunung hingga bagian belakang terlepas dan sejumlah penumpang terpental keluar dari pesawat. Sebagian lagi tewas seketika. Sayap kiri dan kanan juga terpotong akibat dari benturan pesawat dengan puncak gunung berikutnya. Badan utama pesawat kemudian meluncur menuruni lereng curam dengan kecepatan sekitar 350 km/jam (220 mph). Sampai akhirnya berhenti di atas gletser yang tertutup salju.

Tiga awak pesawat dan sembilan penumpang tewas di tempat. Beberapa lainnya mengalami luka berat. Dari jumlah 45 penumpang dan awak yang berada dalam pesawat. Ada 33 orang yang selamat.

Kecelakaan pesawat 1972
cr : tempo.co

Tak terbayang di benak korban-korban selamat ini menghadapi suhu di bawah nol derajat, kekurangan logistik karena persediaan makanan hanya terdiri dari sedikit permen dan anggur yang habis dalam seminggu. Belum lagi paparan salju dan udara dingin menusuk tulang.

Pencarian pun dilakukan oleh petugas. Berhari-hari mereka menyisir pegunungan Andes untuk mencari korban. Badan peswat pun belum ditemukan. Sayangnya cuaca yang ekstrem mengganggu operasi pencarian tersebut. Setelah delapan hari pencarian dihentikan oleh pihak yang berwenang. Petugas agaknya tak mengetahui jika ada korban yang selamat dan menunggu pertolongan lebih lanjut.

Sebuah keputusan yang tidak diketahui oleh para penyintas. Ancaman lain bagi mereka sudah ada di depan mata. Logistik yang akhirnya tak lagi mereka temukan, hipotermia, infeksi luka, dan kelaparan mengancam semua yang masih hidup.

Sebuah Keputusan Bertahan Hidup Yang Tak Diinginkan

Dari 33 orang yang tadinya selamat. Satu persatu pun tak kuasa menghadapi kondisi ekstrem. Para penyintas menyaksikan sendiri teman mereka satu persatu mengembuskan napas terakhir karena infeksi luka, hipotermia ataupun kelaparan. Para penyintas yang masih bertahan pun bersepakat untuk bisa bertahan hidup dengan lebih lama.

Mereka menyadari. Satu-satunya harapan sumber makanan yang tersisa adalah jasad rekan-rekannya sendiri. ini bukan keputusan yang mudah. Mereka yang masih bertahan adalah para Pemuda Katolik yang taat. Perdebatan sengit pun muncul ketika Roberto Carnessa, seorang mahasiswa kedokteran hendak mengambil keputusan untuk mengonsumsi daging dari jasad yang sudah meninggal.

Setelah melalui berbagai perdebatan. Akhirnya mereka melakukan Pacto de Sangre. Ini adalah perjanjian darah yang dilakukan antar penyintas. Jika salah satu dari mereka meninggal. Rekannya yang masih hidup boleh menggunakan mereka sebagai bahan makanan untuk bertahan hidup. Ini bukan lagi tentang naluri memangsa orang lain. Akan tetapi bagaimana bertahan hidup tanpa adanya harapan yang pasti.

Ternyata yang mengancam kehidupan mereka bukan hanya tentang kelaparan. Akan tetapi bencana alam dan keputusasaan membuat mereka harus berjuang lebih dari sebelumnya. 29 Oktober 1972 tragedi kembali terjadi.

Saat para penyintas tidur di dini hari. Sebuah longsoran salju yang besar menimpa reruntuhan pesawat dimana mereka tertidur. Delapan orang tewas di dalam kabin yang dipenuhi oleh salju.

Mereka yang masih selamat. Terjebak dalam kegelapan dan udara yang makin menipis. Selama tiga hari mereka berjuang untuk keluar dari situasi yang mencekam. Harapan semakin tipis. Kehidupan seakan makin menjauh. Dan keputusasaan semakin membesar dan melebar.

Kejadian ini membuat mereka yang masih selamat mencoba menata ulang peran dan strategi untuk penyelamatan. Mereka menyadari jika tak ada yang bisa diandalkan kecuali diri sendiri. kekuatan fisik dan mental harus teruji.


Duduk menunggu bagi mereka hanyalah menunggu mati. Seseorang harus keluar untuk mencari pertolongan. Setelah 61 hari pesawat jatuh. Nando Parrado, Roberto Carnessa dan Antonio Vizintin melakukan pendakian. Mereka membuat pakaian dari kain terpal dan jok kursi pesawat. Persediaan makanan pun menggunakan daging manusia yang sudah dikeringkan. Mereka berusaha menggapai puncak gunung di daerah barat.

Setelah beberapa hari mendaki mereka menyadari jika Vizintin tak sanggup meneruskan perjalanan. Akhirnya mereka meminta Vizintin untuk kembali ke bangkai pesawat. Sementara itu dengan kondisi dua pendaki membuat bahan makanan pun akan bisa digunakan lebih lama.

Parrado dan Canessa melanjutkan perjalanan mereka selama 10 hari. Menuruni lereng yang curam, menyusuri sungai yang beku, dan berjalan tanpa henti. Kekuatan dan tekad Parrado didorong oleh janji kepada ayahnya. Bahwa ia akan kembali untuk menyelamatkan adiknya untuk menjadi penggerak utama.

Akhirnya, pada tanggal 20 Desember 1972. Mereka melihat pria berkuda di seberang sungai. Seorang petani Chilli, Sergio Catalán menjadi harapan bagi mereka. Dengan tenaga yang tersisa, Parrado melemparkan batu dengan tulisan yang telah disiapkan

Catalán pun segera memberikan informasi kepada yang berwenang. Harapan pun kembali menyemai. Operasi penyelamatan pun dimulai.


16 Jiwa yang Diselamatkan



Akhirnya harapan pun terwujudkan. 22 dan 23 Desember 1972 helikopter Angkatan Udara Chili berhasil menjangkau 14 penyintas yang bertahan di bangkai pesawat. Dari 45 penumpang, 16 orang yang akhirnya selamat. 72 hari mereka bertahan dan melawan kondisi alam untuk mengusahakan kehidupan.

Dunia memberikan penghargaan bagi mereka. Rasa kagum, simpati, dan terperangah dengan pengakuan tentang apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan hidup. Setelah mendengar penjelasan mereka, secara resmi Gereja Katolik menyatakan bahwa tindakan mereka bukanlah dosa dalam konteks "keadaan darurat yang ekstrem."

Para penyintas pada akhirnya menjalani kehidupan yang normal. Meski dengan berbagai trauma. Namun berbagai pihak mengusahakan mereka dengan kesehatan baik fisik dan mental mereka untuk bisa menjalani hidup dengan lebih baik.

Sebuah Pelajaran tentang Kemanusiaan

Saya pribadi tak bisa membayangkan jika berada dalam situasi seperti para penyintas kecelakaan pesawat di Pegunungan Andes ini. Namun yang saya yakini dunia mencatat berbagai pelajaran hidup yang bisa memberikan pencerahan dalam kehidupan.

Kekuatan Jiwa
Kisah ini memberikan bukti nyata tentang ketangguhan, harapan, dan kerja sama manusia dalam menghadapi situasi yang jauh dari kata normal. Para penyintas ini membangun masyarakat kecil dengan aturan, tugas, dan dukungan moral yang kuat antar mereka.

Etika Kelangsungan Hidup:
Tragedi ini memicu debat tentang etika dan batas-batas moral dalam situasi hidup dan mati. Bahwa dalam kondisi yang tak biasa batasan etika bisa saja dikesampingkan untuk menusia bisa bertahan dan memiliki kesempatan untuk hidup lebih lama.

Persahabatan yang kuat
Ikatan batin yang terbentuk di antara para penyintas tetap kuat. Sampai mencapai angka puluhan tahun kemudian. Mereka memahami bahwa adalah orang yang benar-benar memahami apa yang mereka alami adalah sesama penyintas. Tak ada yang bisa memahami lebih baik dari itu.

Inspirasi:
Kisah mereka abadi dalam buku-buku laris dan film. Tercatat karya Piers Paul Read yaitu Alive: The Story of the Andes Survivors, film Alive (1993) serta Society of the Snow (2023).

Tragedi Andes bukan lagi sekadar kisah kecelakaan pesawat atau cerita kanibalisme. Sekelompok orang biasa menghadapi kondisi yang paling tak manusiawi. Mereka memiliki alasan terkuat untuk tetap menjadi manusia dengan segala persoalan kompleks yang dihadapi. Kekuaran dan tekad untuk tetap hidup menjadi alasan paling logis ketika mereka melakukan apa yang tak bisa dilakukan oleh manusia lainnya.

Mereka menjadi icon. Sebuah simbol abadi tentang kebangkitan, kekuatan dan bertahan tetap hidup dalam ketidaknyamanan.

Tidak ada komentar:

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih