"Jangan sekali-kali kamu meremehkan kebaikan sedikitpun, meskipun (hanya) kamu bertemu dengan saudaramu dalam keadaan tersenyum."
(HR Muslim)
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim ini memberikan pesan bahwa setiap perbuatan baik, meski sekadar tersenyum memiliki nilai pahala dan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Padahal sebagai manusia sering kali kita abai terhadap kebaikan-kebaikan kecil tersebut.
Sering kali kebaikan-kebaikan kecil yang kita lakukan ternyata memberikan dampak besar di kehidupan orang lain. Saat kita sudah melupakan. Ternyata hal itu masih saja diingat oleh orang yang menerima kebaikan kita. Dan kebaikan itu tak berhenti. Akan tetapi rantai kebaikan akan selalu tersambung dan terus terhubung. Tentu saja memiliki manfaat bagi penerimanya.
Kebaikan yang pernah saya terima
Bagi saya salah satu kebaikan yang terus saya terima melalui persahabatan dan persaudaraan. Sering kali persahabatan yang kami lalui tak selalu mulus karena kami bukanlah nabi yang selalu bersabar atau malaikat yang tak memiliki emosi. Tak selalu mengatakan bahwa pertemanan kami begitu sehat. Akan tetapi saya selalu mengatakan bahwa pertemanan kami memperpanjang rantai kebaikan.
Hati yang saling terkait.
Ada di hampir satu dekade lalu keluarga kami mengalami kesulitan finansial. Paksu saat itu tetap berada di luar kota, menjaga kedua orang tua. Sementara saya dan anak-anak berada di rumah.
Seseorang mengetuk pintu rumah saya. Salah satu orang tua teman Kakak datang ke rumah. Beliau kehabisan bensin, sementara itu ia tak membawa dompet maupun ponsel. Padahal ia harus mengantar anak yang lain ke sekolah yang lebih jauh. Karena rumah kami dekat dengan sekolah kakak dan anaknya. Satu-satunya yang beliau ingat hanyalah kami. Saya hanya memegang uang sepuluh ribu saat itu. Karena tak tega akhirnya saya serahkan satu-satunya uang yang ada di dompet.
Lantas saya tak memegang uang sedikitpun. Beras di rumah pun tak ada. Sore itu anak-anak sudah merasa lapar. Saya yang kebingungan membawa anak-anak bersilaturahmi ke salah satu sahabat yang sudah saya anggap sebagai saudara.
Rasanya lega saat sahabat saya ini menawari anak-anak makan. Setidaknya anak-anak tak merasa lapar malam itu. Saya sudah nggak bisa mikir esok hari mau seperti apa.
Saat ngobrol sesuatu yang seru. Tiba-tiba ia menghentikan obrolan. Lantas sahabat saya ini bertanya.
“Nduk, kamu punya beras nggak di rumah?”
Saya tersenyum. Tapi mata saya tak berhenti mengeluarkan air mata. Melihat ekspresi saya sahabat saya ini kemudian menyiapkan satu bungkus beras yang saya rasa cukup untuk satu minggu. Lantas menyelipkan uang berkali-kali lipat yang saya serahkan ke teman wali murid di pagi hari.
Kebaikan yang saya terima dari sahabat tak hanya berhenti di situ saja. Mungkin di berbagai kesempatan saya memberikan tempat duduk saat berada di angkutan umum, memberikan antrian pada orang yang lebih tua, atau sekadar tersenyum pada orang lain. Hal-hal yang sering kali tak diingat. Akan tetapi ketika saya mendapatkan ujian besar yang terkait dengan anak. Seorang teman yang berprofesi sebagai psikolog menjadi jalan bagi terpecahkan masalah yang terjadi antara saya dengan anak.
Kebaikan dari keluarga sendiri.
Dalam keluarga sering kali melakukan suatu kebaikan berdasarkan bakti atau kewajiban sebagai anggota keluarga. Akan tetapi jika kita tak seimbang dalam melakukan kebaikan satu sama lain tentunya kita takkan mendapatkannya secara seimbang.
Sering kali dalam keluarga kita hanya melihat keburukan-keburukan pasangan atau anak-anak kita. Hal itu membuat kita begitu sulit memindai kebaikan yang sejatinya lebih banyak daripada keburukan yang kita hitung.
Ternyata dari hal-hal yang tak saya sukai dari pasangan. Saya menyadari bahwa dia bukan laki-laki patriarki yang tak peduli urusan rumah. Dia selalu membantu saya dalam urusan rumah. Tak keberatan untuk bergantian menjaga anak saat mereka masih kecil. Tak pernah bertanya kemana saja uang hasil kerjanya saya belanjakan.
Dia pun tak pernah melarang saya untuk mengembangkan diri. Selalu support dengan apapun yang menurut saya memang layak untuk dilakukan. tidak insecure, bahkan mensyukuri keberadaan saya. Tak semua laki-laki bisa melakukan itu.
Di luar saya ngomelin anak-anak tentang ini dan itu. Sejujurnya mereka sering kali tak ingin melihat saya mengkhawatirkan mereka. Anak perempuan yang tak mengeluh mengurus saya ketika sakit. Bahkan bisa multitasking melakukan tiga pekerjaan sekaligus. Caregiver, mengurus rumah, dan bersekolah saat pandemi. Begitu juga dengan anak lelaki saya. Dia pun selalu membantu pekerjaan rumah. Mau urusan cuci piring atau cuci baju. Ia akan lakukan sebaik mungkin.
Rantai kebaikan di dalam rumah
Rantai kebaikan dalam keluarga tidak terjadi begitu saja. Tentu saja harus ada pengajaran yang tak hanya sekadar kata-kata saja. Namun selalu ada keteladanan yang diberikan oleh orang tua sebagai pendidik dalam keluarga. Alih-alih bilang,”Kalau lewat depan rumah tetangga tuh kulonuwun, minimal senyum.”
Lebih baik kita contohkan pada anak-anak kita untuk lebih ramah terhadap tetangga kita.
Tidak menyerobot antrian orang, membukakan pintu pada orang yang lebih tua, jika ada barang terjatuh jangan sungkan untuk mengambilkan, atau yang lebih simpel mengajarkan anak mengucapkan terima kasih saat menerima kebaikan atau sesuatu. Mengatakan maaf saat melakukan kesalahan, dan mengatakan tolong jika menginginkan sesuatu atau meminta pertolongan. Hal-hal basic namun sering kali terlupa saat memberikan pendidikan pada anak-anak di dalam rumah.
Rantai kebaikan di dunia digital
Punya media sosial untuk apa sih?
Kalau dulu saya punya media sosial karena mau ngikutin anak. Pengen tahu aja apa yang mereka posting, akun apa saja yang mereka ikuti, tren apa saja yang mereka ketahui sehingga kalau ngobrol bisa nyambung. Saya merasa beruntung bahwa berbagai pekerjaan yang saya lakukan pun terkait dengan media sosial. Dalam perjalanannya rasanya sayang kalau media sosial hanya digunakan untuk hal-hal seputar pekerjaan atau kehidupan sehari-hari.
Makin berumur saya merasa bahwa setiap kali melakukan sesuatu harus memiliki value. Begitu juga saat bermedia sosial. Meski tak melulu harus memiliki muatan taushiyah. Akan tetapi hal-hal yang ringan saja bisa jadi memiliki nilai besar bagi orang lain.
Self reminder, note to my self. Sesuatu yang sebenarnya kita tujukan untuk diri sendiri ternyata mengena untuk orang lain. Menggugah kesadaran dalam kehidupan. Bahwa kebaikan tak pernah berjalan sendiri.

.jpg)



Tidak ada komentar:
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih