Oktober 2025 - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Kamis, 30 Oktober 2025

Empty Nest Syndrome: Fenomena Psikologis yang Terjadi pada Orang Tua Saat Anak Beranjak Dewasa
Orang tua posesif



Empty Nest Syndrome (ENS) adalah sebuah fenomena psikologis sering kali dialami oleh para orang tua yang anak-anaknya sudah dewasa. Mereka mulai meninggalkan rumah untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, bekerja di luar kota, atau bahkan menikah. Hal ini ditandai dengan perasaan kesepian, kehilangan, dan kekosongan emosional dalam diri para orang tua. ​

Mereka yang berusia antara 40 – 50 tahun merasakan fenomena ini. Meskipun tak bisa dikatakan sebagai kondisi klinis secara resmi. Namun begitu banyak yang mengalami sehingga perlu menjadi perhatian bagi para ibu dan ayah yang memiliki usia sekitar itu.

Ada beberapa tahapan orang proses yang dialami oleh para orang tua ini. Hal ini menjadi reaksi terhadap anak-anak yang lebih sering berada di luar rumah.

Penolakan
Biasanya orang tua merasa bahwa anaknya masih bayi, atau seperti stuck di usia remaja. Rasanya tak mau anak-anak memiliki kesibukan sendiri meskipun itu terkait dengan kegiatan sekolah. terkadang ada orang tua yang melarang anaknya pergi baik dengan temannya atau kegiatan di luar rumah.

Perasaan kehilangan atau perilaku pasif
Saking memiliki perasaan kehilangan yang amat kuat. Hal ini menimbulkan kesedihan yang mendalam. Bahkan ada orang tua yang menganggap anaknya tak lagi perhatian karena terlalu sibuk dengan kegiatannya. Terkadang ada orang tua sampai malas melakukan aktivitas karena merasa rindu anaknya pulang ke rumah.

Perilaku impulsif
Anak kadang kesel banget kalau orang tua sudah mulai melakukan hal-hal yang impulsif. Tak bertanya terlebih dahulu. Misalnya menelpon saat anak sedang sibuk berkegiatan. Atau bahkan ada yang anaknya dirantau tiba-tiba orang tua nyusulin gegara tak bisa menahan rindu.

Penyesuaian
Untuk berada dalam tahapan menyadari bahwa anaknya bukanlah anak kecil yang harusnya masih merengek dan ngelendot. Orang tua mulai menyadari bahwa memang sudah semestinya bertumbuh. Mereka pun mulai beradaptasi dengan berbagai perubahan dalam kehidupan orang tua.

Legowo
Saat sudah menyadari bahwa anak bertumbuh. orang tua pun akan mulai menerima situasi saat anak tak harus selalu di sisi karena mereka harus berjuang dan memiliki kehidupan yang lebih berwarna. Orang tua pun akan menemukan keseimbangan emosional kembali. Sudah memahami ritme anak-anak dan bagaimana menyikapi rasa rindu tanpa harus ngerecokin.

Proses ini bisa saja berlangsung cukup lama. Mulai anak pergi hingga dua tahun ke depan barulah orang tua bisa legowo dan terbiasa dengan segala perubahan.

Gejala dan Dampak Psikologis yang biasanya terjadi

Orang tua yang mengalami Empty Nest Syndrome mungkin menunjukkan gejala fisik dan emosional misalnya
  • Kesepian, sedih, dan perasaan hampa yang cukup dalam
  • Kecemasan, mudah marah, dan gangguan tidur
  • Kehilangan tujuan hidup atau bahkan harga diri.
  • Rasa gelisah berlebihan akan keselamatan dan kesejahteraan anak
  • Penurunan interaksi sosial dan isolasi
  • Dalam kasus berat, dapat menyebabkan depresi klinis bahkan pikiran bunuh diri.​
Sindrom ini sering kali terjadi pada kaum ibu karena kuatnya keterikatan emosional dengan sang anak. Hal ini biasanya disebabkan karena para ibu sering kali memiliki peran yang lebih besar dalam kepengasuhan anak. Empty Nest Syndrome tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga memiliki berpotensi mempengaruhi hubungan dalam keluarga seperti meningkatnya risiko konflik atau perubahan dinamika pernikahan, terutama jika orang tua sebelumnya sangat tergantung secara emosional pada anak-anak sebagai pusat kehidupan sosial dan emosionalnya.​

Bagaimana Cara Mengatasi Empty Nest Syndrome?

Ada beberapa cara setidaknya mengurangi efek dari Empty Nest Syndrome ini.
  • Memahami bahwa sindrom ini adalah bagian yang manusiawi dari kehidupan keluarga
  • Berusaha memiliki identitas diri diluar peran sebagai orang tua salah satunya dengan kegiatan aktif di luar rumah.
  • Mengisi waktu dengan aktivitas baru, seperti hobi, pekerjaan sosial, atau olahraga
  • Mempertahankan komunikasi yang sehat dengan anak, meskipun jarak jauh
  • Memperluas jejaring sosial di luar keluarga
  • Mencari dukungan psikologis profesional jika gejala depresi atau kecemasan berat muncul.​
Banyak orang mengalami Empty Nest Syndrome. Hal ini sangat wajar saat menghadapi masa transisi anak menuju kedewasaan. Anak bukanlah milik kita. Ia milik zamannya. Sebagai orang tua kita hanya perlu mengalah sedikit supaya anak memiliki space dan bersiap untuk memiliki pengalaman hidup yang jauh lebih kompleks.

Minggu, 12 Oktober 2025

Arianto Setiadi: Membangun Ruang Aman Bagi ODGJ

Apresiasi Pewarta Astra 2025


Kesadaran gen Z terhadap kesehatan mental di media sosial membuat generasi sebelumnya pun mendapatkan dampak positif. Apalagi di masa pandemi mulai tahun 2020 efeknya luar biasa. Masyarakat yang tak bisa bebas keluar rumah harus berjuang lebih kuat lagi baik dari sisi ekonomi maupun kesehatan fisik dan mental.

Meski kesadaran tentang kesehatan mental sudah terbangun. Akan tetapi hal itu ternyata belum cukup memberikan kesadaran yang lebih dalam terhadap orang dengan gangguan jiwa. Begitu banyak stigma yang melekat bagi mereka yang memiliki gangguan jiwa. Bahkan sekadar datang ke psikolog saja sudah mendapatkan stigma negatif.

Stigma orang dengan gangguan jiwa dalam masyarakat masih menjadi persoalan sendiri. Pandangan negatif, labeling dan perlakuan diskriminatif acap kali didapatkan oleh orang yang dianggap gila atau tak waras. Padahal sebagian besar orang dengan gangguan jiwa dapat pulih dan berfungsi dengan normal saat mendapatkan pengobatan yang tepat. Mereka layak untuk bekerja, berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan bahkan menikah.

Hal ini terpikirkan oleh seorang perawat di RSUD Kebumen. Seorang laki-laki yang sangat paham bahwa ODGJ perlu mendapatkan pendampingan supaya bisa hidup lebih berdaya. Memberikan literasi dan edukasi. Dan yang terpenting memberikan wadah bagi mereka untuk berkarya. Dialah Arianto Setiadi.

Arianto Setiadi dan Kopigawa

ODGJ


Keresahan dan keprihatinan Arianto Setiadi terhadap stigma yang masih berkembang di masyarakat terhadap ODGJ membuatnya bergerak. Dengan beberapa rekan-rekannya ia mendirikan Komunitas Peduli Gangguan Jiwa atau lebih dikenal sebagai KOPIGAWA. Sebuah komunitas yang didirikan di RSUD Prembun Kebumen pada 6 April 2021.

Komunitas ini didirikan atas bentuk kepedulian terhadap orang dengan gangguan jiwa. Tujuan didirikannya komunitas ini adalah memberdayakan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) melalui kegiatan produktif dan pendekatan humanis.

Latar belakang dibentuknya KOPIGAWA adalah tingginya angka kasus ODGJ di Kebumen yang mencapai sekitar 8.000 kasus. Kebumen pun menjadi daerah dengan kasus pasung terbanyak di Indonesia. Selain itu, stigma negatif, ketakutan, dan persepsi keliru masyarakat terhadap gangguan jiwa menjadi fokus utama komunitas ini dalam memberikan literasi dan edukasi.

Arianto Setiadi bersama KOPIGAWA berkomitmen untuk memulihkan martabat ODGJ melalui pemberdayaan, rehabilitasi, edukasi masyarakat, serta pendampingan agar ODGJ dapat kembali hidup mandiri.

Program Kerja dan Pemberdayaan ODGJ

ODGJ


Arianto dan tim relawan di Kopigawa ini tak hanya sekadar memberikan literasi dan edukasi. Namun mereka juga memiliki program kerja dalam pemberdayaan ODGJ. Program-program ini meliputi :

1. Pendampingan Pasca Rawat Inap di Rumah Sakit
Program ini fokus pada pendampingan dan rehabilitasi ODGJ. Setelah mereka menyelesaikan masa perawatan di rumah sakit mereka didampingi untuk kembali beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Langkah-langkah yang dilakukan adalah :
  • Menyusun rencana aksi pendampingan dan integrasi sosial bagi ODGJ.
  • Membentuk tim pendamping yang terlatih dan mempunyai jadwal kunjungan teratur ke rumah ODGJ.
  • Melakukan monitoring dan evaluasi kondisi kesehatan dan sosial ODGJ secara berkala.
  • Mengadakan pertemuan rutin antara pendamping, keluarga, dan tenaga kesehatan untuk koordinasi.
2. Penyesuaian Keahlian ODGJ
Tak hanya melakukan pendampungan untuk bersosialisasi di masyarakat. Arianto dan Kopigawa membekali ODGJ dengan keterampilan tangan dan keahlian lain agar mereka mampu untuk produktif. Arianto dan Tim Kopigawa akan membantu memasarkan baik dari online maupun offline. Hasil penjualan yang didapatkan akan dikembalikan kepada ODGJ sebagai penghasilan mandiri.
Implementasi dari program ini adalah :
  • Mengidentifikasi potensi dan minat keterampilan ODGJ melalui asesmen awal.
  • Menyediakan pelatihan dan pembekalan keterampilan praktis sesuai potensi tersebut.
  • Memfasilitasi sarana produksi kegiatan usaha mandiri (kerajinan, pertanian, dan kegiatan lainnya.
  • Membuka akses pemasaran hasil karya dan hasil yang didapatkan akan kembali kepada ODGJ.
3. Pendampingan berkelanjutan dari KOPIGAWA
Dengan dukungan komunitas dari Kopigawa ini ODGJ akan mendapatkan pendampingan berkelanjutan. Hal ini diberikan untuk mendukung ODGJ supaya tetap kooperatif dan mampu hidup mandiri. Selain itu diharapkan mereka menjalani kehidupan sosial yang jauh lebih baik. Upaya yang dilakukan untuk program tersebut adalah :
  • Membagi tugas dan membentuk kelompok pendamping yang fokus pada aspek psikososial dan produktivitas.
  • Membangun komunikasi aktif dan dukungan psikologis untuk ODGJ.
  • Menyelenggarakan workshop dan edukasi bagi pendamping dan keluarga ODGJ.
  • Membuat data dan dokumentasi perkembangan individu ODGJ sebagai bahan evaluasi.
4. Kemandirian di Masyarakat
KOPIGAWA mendorong pemberdayaan ODGJ melalui berbagai kegiatan kreatif dan kewirausahaan. Hal ini menjadikan mereka mampu hidup mandiri dan menghilangkan stigma negatif di masyarakat. Edukasi pada masyarakat terus dilakukan. Hal ini dikarenakan supaya masyarakat mengerti pentingnya perawatan manusiawi dan untuk mengurangi angka pasung.
Strategi pelaksanaan dari program ini adalah :
  • Menyusun program kewirausahaan yang melibatkan ODGJ dalam kegiatan ekonomi produktif.
  • Mengadakan sosialiasi edukasi untuk masyarakat dalam menghilangkan stigma dan pasung.
  • Membangun jejaring kemitraan dengan lembaga sosial dan pasar lokal.
5. Penyediaan layanan antar jemput ODGJ secara gratis

Untuk penyediaan layanan ini Arianto dan tim Kopigawa telah mengusahakannya dalam bentuk :
  • Menyediakan kendaraan khusus untuk antar jemput ODGJ ke fasilitas layanan kesehatan atau kegiatan rehabilitasi secara gratis kepada pengguna.
  • Membuat jadwal antar jemput secara berkala dan disesuaikan dengan kebutuhan ODGJ. Hal ini dilakukan supaya akses ke layanan kesehatan dan kegiatan pemberdayaan tidak terkendala karena faktor transportasi.
  • Relawan atau anggota komunitas bertindak sebagai pengemudi dan pendamping dalam proses antar jemput dan memastikan keamanan serta kenyamanan ODGJ selama perjalanan.
  • Memberikan edukasi pada keluarga dan masyarakat tentang layanan antar jemput ini. Dukungan maksimal saat mengikuti program pemulihan dan kemandirian akan membuat ODGJ semakin baik kondisinya.

Sumber dana untuk biaya operasional dan kegiatan

Meski ini sebuah kegiatan nirlaba, tak bisa dipungkiri kegiatan ini memerlukan biaya yang tak sedikit. Untuk itu Arianto dan tim relawan pun mengusahakan untuk mendapatkan biaya operasional, pelaksanaan program, layanan pendampingan serta pembelian bahan baku untuk produksi dari pihak lain supaya tak membebani pasien dan keluarga. Beberapa sumber dana yang digunakan untuk kegiatan ini berasal dari donasi dermawan, yayasan atau lembaga sosial lain yang concern terhadap pemulihan ODGJ. Bantuan dari pemerintah setempat dalam bentuk hibah atau program pendanaan khusus sangat membantu kegitan. Tak lupa juga hasil dari penjualan produk dan kerajinan tangan juga memiliki kontribusi dalam program pemberdayaan ini.

Apresiasi dan inspirasi

Kerja keras tak kenal lelah membuahkan hasil yang manis. Apa yang dilakukan membawa Arianto Setiadi sebagai finalis Apresiasi SATU Indonesia Awards 2024 di bidang kesehatan. Penghargaan ini membuktikan kontribusi dan dedikasi Arianto terhadap layanan dan perbaikan kondisi mental para ODGJ. Hal ini tentu saja memberikan dampak yang positif. Pemberdayaan dan kemandirian yang diwujudkan dalam berbagai program pendampingan diharapkan menjadi sebuah program yang berkelanjutan. Ini bisa menjadi percontohan bagi tempat lain untuk literasi, edukasi, pendampingan dan pemberdayaan demi kemandirian orang dengan gangguan jiwa.

Pendekatan yang humanis menjadikan Arianto dan Kopigawa mudah diterima oleh keluarga maupun ODGJ sendiri. Arianto Setiadi merupakan contoh relawan kesehatan jiwa yang berjuang keras mengubah paradigma masyarakat tentang gangguan jiwa. Ia memberikan ruang aman bagi penyintas untuk hidup mandiri dan bermartabat. 
Apa yang ia lakukan tentunya menjadi inspirasi bagi banyak orang. Untuk tak memandang sebelah mata bagi mereka yang memiliki gangguan kejiwaan. Bagaimanapun juga mereka manusia. Yang ingin memiliki tempat di hati manusia lain dan masyarakat. #SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia

 

Tragedi Andes 1972: Semangat Penyintas Menembus Batas Logika Manusia
Kecelakaan Pesawat 1972
cr : rarehistoricalphotos.com


Assalamualaikum temans,
Setiap manusia memiliki perjuangan masing-masing dalam hidup. Entah mereka harus struggle dalam perekonomian, rumah tangga, kesehatan. Atau juga ujian hidup yang mempengaruhi segala aspek kehidupannya. Bahkan ada yang mengalami kondisi bertahan dalam situasi yang sangat ekstrim. Tentunya bagi mereka yang mengalami hal itu memiliki trauma yang cukup dalam. Namun saat mereka telah melewati hal itu. Dan mereka tetap bisa melalui kehidupan. Tentunya akan memberikan inspirasi yang luar biasa bagi orang lain.

Dalam minggu ini rencananya saya mau nonton film Tukar Takdir yang dibintangi oleh Nicolas Saputra. Film ini berkisah tentang tokoh-tokoh yang saling berkaitan dengan kecelakaan sebuah pesawat terbang. Salah satunya adalah karakter Rawa yang merupakan satu-satunya korban yang selamat.

Rasanya film ini relate dengan sebuah kisah epic tentang kecelakaan pesawat di Pegunungan Andes di Amerika Selatan. Sebuah kecelakaan yang terjadi pada tahun 1972. Masa dimana teknologi belum secanggih sekarang. akan tetapi korban yang selamat mengusahakan tetap hidup dengan berbagai cara yang tak masuk akal.

Tragedi Kecelakaan Pesawat di Pegunungan Andes 1972

Tepat 53 tahun yang lalu. 13 Oktober 1972 Penerbangan angkatan udara Uruguay 571 mengangkut tim rugby Old Christians Club bersama keluarga dan para pendukung. Pesawat ini berangkat dari Montevideo menuju Santiago. Sebelum sampai ke Santiago pesawat ini singgah di Mendoza.Mereka mengalami kecelakaan di Pegunungan Andes. Sebuah wilayah pegunungan terpencil di Argentina. Tepatnya di dekat perbatasan dengan Chile. Pesawat Fairchild FH-227D tersebut jatuh pada ketinggian sekitar 3.660 meter (12.020 kaki).

Sebuah kesalahan navigasi dari seorang co pilot yang kurang berpengalaman membuat kecelakaan itu terjadi. Co pilot salah mengira telah melewati puncak gunung dan mulai menurunkan pesawat terlalu dini. Hal itu membuat pesawat pun menabrak lereng gunung dengan kekuatan tinggi.

Bagian ekor pesawat menabrak gunung hingga bagian belakang terlepas dan sejumlah penumpang terpental keluar dari pesawat. Sebagian lagi tewas seketika. Sayap kiri dan kanan juga terpotong akibat dari benturan pesawat dengan puncak gunung berikutnya. Badan utama pesawat kemudian meluncur menuruni lereng curam dengan kecepatan sekitar 350 km/jam (220 mph). Sampai akhirnya berhenti di atas gletser yang tertutup salju.

Tiga awak pesawat dan sembilan penumpang tewas di tempat. Beberapa lainnya mengalami luka berat. Dari jumlah 45 penumpang dan awak yang berada dalam pesawat. Ada 33 orang yang selamat.

Kecelakaan pesawat 1972
cr : tempo.co

Tak terbayang di benak korban-korban selamat ini menghadapi suhu di bawah nol derajat, kekurangan logistik karena persediaan makanan hanya terdiri dari sedikit permen dan anggur yang habis dalam seminggu. Belum lagi paparan salju dan udara dingin menusuk tulang.

Pencarian pun dilakukan oleh petugas. Berhari-hari mereka menyisir pegunungan Andes untuk mencari korban. Badan peswat pun belum ditemukan. Sayangnya cuaca yang ekstrem mengganggu operasi pencarian tersebut. Setelah delapan hari pencarian dihentikan oleh pihak yang berwenang. Petugas agaknya tak mengetahui jika ada korban yang selamat dan menunggu pertolongan lebih lanjut.

Sebuah keputusan yang tidak diketahui oleh para penyintas. Ancaman lain bagi mereka sudah ada di depan mata. Logistik yang akhirnya tak lagi mereka temukan, hipotermia, infeksi luka, dan kelaparan mengancam semua yang masih hidup.

Sebuah Keputusan Bertahan Hidup Yang Tak Diinginkan

Dari 33 orang yang tadinya selamat. Satu persatu pun tak kuasa menghadapi kondisi ekstrem. Para penyintas menyaksikan sendiri teman mereka satu persatu mengembuskan napas terakhir karena infeksi luka, hipotermia ataupun kelaparan. Para penyintas yang masih bertahan pun bersepakat untuk bisa bertahan hidup dengan lebih lama.

Mereka menyadari. Satu-satunya harapan sumber makanan yang tersisa adalah jasad rekan-rekannya sendiri. ini bukan keputusan yang mudah. Mereka yang masih bertahan adalah para Pemuda Katolik yang taat. Perdebatan sengit pun muncul ketika Roberto Carnessa, seorang mahasiswa kedokteran hendak mengambil keputusan untuk mengonsumsi daging dari jasad yang sudah meninggal.

Setelah melalui berbagai perdebatan. Akhirnya mereka melakukan Pacto de Sangre. Ini adalah perjanjian darah yang dilakukan antar penyintas. Jika salah satu dari mereka meninggal. Rekannya yang masih hidup boleh menggunakan mereka sebagai bahan makanan untuk bertahan hidup. Ini bukan lagi tentang naluri memangsa orang lain. Akan tetapi bagaimana bertahan hidup tanpa adanya harapan yang pasti.

Ternyata yang mengancam kehidupan mereka bukan hanya tentang kelaparan. Akan tetapi bencana alam dan keputusasaan membuat mereka harus berjuang lebih dari sebelumnya. 29 Oktober 1972 tragedi kembali terjadi.

Saat para penyintas tidur di dini hari. Sebuah longsoran salju yang besar menimpa reruntuhan pesawat dimana mereka tertidur. Delapan orang tewas di dalam kabin yang dipenuhi oleh salju.

Mereka yang masih selamat. Terjebak dalam kegelapan dan udara yang makin menipis. Selama tiga hari mereka berjuang untuk keluar dari situasi yang mencekam. Harapan semakin tipis. Kehidupan seakan makin menjauh. Dan keputusasaan semakin membesar dan melebar.

Kejadian ini membuat mereka yang masih selamat mencoba menata ulang peran dan strategi untuk penyelamatan. Mereka menyadari jika tak ada yang bisa diandalkan kecuali diri sendiri. kekuatan fisik dan mental harus teruji.


Duduk menunggu bagi mereka hanyalah menunggu mati. Seseorang harus keluar untuk mencari pertolongan. Setelah 61 hari pesawat jatuh. Nando Parrado, Roberto Carnessa dan Antonio Vizintin melakukan pendakian. Mereka membuat pakaian dari kain terpal dan jok kursi pesawat. Persediaan makanan pun menggunakan daging manusia yang sudah dikeringkan. Mereka berusaha menggapai puncak gunung di daerah barat.

Setelah beberapa hari mendaki mereka menyadari jika Vizintin tak sanggup meneruskan perjalanan. Akhirnya mereka meminta Vizintin untuk kembali ke bangkai pesawat. Sementara itu dengan kondisi dua pendaki membuat bahan makanan pun akan bisa digunakan lebih lama.

Parrado dan Canessa melanjutkan perjalanan mereka selama 10 hari. Menuruni lereng yang curam, menyusuri sungai yang beku, dan berjalan tanpa henti. Kekuatan dan tekad Parrado didorong oleh janji kepada ayahnya. Bahwa ia akan kembali untuk menyelamatkan adiknya untuk menjadi penggerak utama.

Akhirnya, pada tanggal 20 Desember 1972. Mereka melihat pria berkuda di seberang sungai. Seorang petani Chilli, Sergio Catalán menjadi harapan bagi mereka. Dengan tenaga yang tersisa, Parrado melemparkan batu dengan tulisan yang telah disiapkan

Catalán pun segera memberikan informasi kepada yang berwenang. Harapan pun kembali menyemai. Operasi penyelamatan pun dimulai.


16 Jiwa yang Diselamatkan



Akhirnya harapan pun terwujudkan. 22 dan 23 Desember 1972 helikopter Angkatan Udara Chili berhasil menjangkau 14 penyintas yang bertahan di bangkai pesawat. Dari 45 penumpang, 16 orang yang akhirnya selamat. 72 hari mereka bertahan dan melawan kondisi alam untuk mengusahakan kehidupan.

Dunia memberikan penghargaan bagi mereka. Rasa kagum, simpati, dan terperangah dengan pengakuan tentang apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan hidup. Setelah mendengar penjelasan mereka, secara resmi Gereja Katolik menyatakan bahwa tindakan mereka bukanlah dosa dalam konteks "keadaan darurat yang ekstrem."

Para penyintas pada akhirnya menjalani kehidupan yang normal. Meski dengan berbagai trauma. Namun berbagai pihak mengusahakan mereka dengan kesehatan baik fisik dan mental mereka untuk bisa menjalani hidup dengan lebih baik.

Sebuah Pelajaran tentang Kemanusiaan

Saya pribadi tak bisa membayangkan jika berada dalam situasi seperti para penyintas kecelakaan pesawat di Pegunungan Andes ini. Namun yang saya yakini dunia mencatat berbagai pelajaran hidup yang bisa memberikan pencerahan dalam kehidupan.

Kekuatan Jiwa
Kisah ini memberikan bukti nyata tentang ketangguhan, harapan, dan kerja sama manusia dalam menghadapi situasi yang jauh dari kata normal. Para penyintas ini membangun masyarakat kecil dengan aturan, tugas, dan dukungan moral yang kuat antar mereka.

Etika Kelangsungan Hidup:
Tragedi ini memicu debat tentang etika dan batas-batas moral dalam situasi hidup dan mati. Bahwa dalam kondisi yang tak biasa batasan etika bisa saja dikesampingkan untuk menusia bisa bertahan dan memiliki kesempatan untuk hidup lebih lama.

Persahabatan yang kuat
Ikatan batin yang terbentuk di antara para penyintas tetap kuat. Sampai mencapai angka puluhan tahun kemudian. Mereka memahami bahwa adalah orang yang benar-benar memahami apa yang mereka alami adalah sesama penyintas. Tak ada yang bisa memahami lebih baik dari itu.

Inspirasi:
Kisah mereka abadi dalam buku-buku laris dan film. Tercatat karya Piers Paul Read yaitu Alive: The Story of the Andes Survivors, film Alive (1993) serta Society of the Snow (2023).

Tragedi Andes bukan lagi sekadar kisah kecelakaan pesawat atau cerita kanibalisme. Sekelompok orang biasa menghadapi kondisi yang paling tak manusiawi. Mereka memiliki alasan terkuat untuk tetap menjadi manusia dengan segala persoalan kompleks yang dihadapi. Kekuaran dan tekad untuk tetap hidup menjadi alasan paling logis ketika mereka melakukan apa yang tak bisa dilakukan oleh manusia lainnya.

Mereka menjadi icon. Sebuah simbol abadi tentang kebangkitan, kekuatan dan bertahan tetap hidup dalam ketidaknyamanan.