Juni 2025 - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Minggu, 08 Juni 2025

Pernikahan adalah Seni Tentang Berkorban
pernikahan


Apa yang kalian bayangkan tentang arti sebuah pernikahan? Kalau dalam hukum Islam doa yang paling sering dipanjatkan adalah menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Atau yang lebih umum adalah happily ever after. Apakah pernikahan itu memang bahagia selamanya?

Tentu saja tidak. Dalam agama yang saya anut pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Kalau membayangkan bahagianya bersama dengan orang yang dicintai dan dikagumi sepenuh hati. Tentunya semua orang ya pengen berada dalam ikatan pernikahan.

Sayangnya menikah itu tidaklah semudah itu. Kebahagiaan itu tak datang dengan sendirinya. Kebahagiaan dalam pernikahan adalah ikhtiar dari kedua belah pihak untuk mewujudkannya. Perjuangan yang tidak mudah untuk selalu bersama. Berada dalam satu rumah dengan seseorang yang tak memiliki hubungan darah dengan kita. Akan tetapi kita harus berkompromi dan bekerjasama jika kita menginginkan pernikahan yang dimiliki bisa berjalan lama, bahkan selamanya.

Menikah bukan hanya dengan pasangan. Akan tetapi dengan lingkungan yang dimiliki oleh pasangan. Keluarga, teman, pekerjaan sering kali menjadi batu sandungan jika kedua belah pihak tak memiliki kesepakatan untuk menurunkan ego masing-masing. Untuk itu pasangan harus saling berkorban demi sebagai wujud cinta orang dewasa.

Apa saja sih bentuk nyata dari pengorbanan pasangan dalam melanggengkan ikatan suci yang disaksikan oleh Sang Pencipta dan para mahluk langit? Sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan oleh pasangan. dan beberapa contohnya ada di bawah ini  

Saling meredam emosi negatif saat ada masalah.
Emosi memang perlu divalidasi. Perlu adanya pengungkapan emosi apalagi emosi negatif. Akan tetapi yang perlu diingat adalah emosi negatif itu dibicarakan bukan dilampiaskan. Itu dua hal yang berbeda. Berbicara dengan nada tinggi, berkata-kata kasar, menendang pintu, itu adalah contoh melampiaskan emosi negatif. Melampiaskan emosi negatif di satu sisi akan melegakan. Tapi sisi yang lain akan menyakitkan pasangan. Antara manfaat dan madharatnya lebih besar yang mana?

Akan tetapi saat kita membicarakan ketidaksukaan kita pada apa yang dilakukan pasangan dengan nada yang biasa saja atau rendah, itulah yang dinamakan validasi emosi.

Biasanya antar pasangan akan lebih menghargai jika keduanya berbicara dengan nada yang rendah.

Setiap konflik dibicarakan dengan kepala yang dingin. Saat hati dan kepala panas, ada baiknya menjauh barang sejenak, daripada saling menyakiti satu sama lain. Namun jangan sampai terlalu lama saling menjauh. Diusahakan sebelum naik ke tempat tidur masalah telah dibicarakan sampai selesai.

Memberi waktu dan perhatian.
Tak memungkiri jika kedua belah pihak sama-sama lelah setelah seharian beraktivitas. Ada urusan kantor, ada pula yang lelah dengan urusan anak dan rumah. Bagi perempuan waktu yang diinginkan bisa jadi sekadar didengarkan keluh kesahnya. Tak harus memberikan solusi. Laki-laki hanya siap mendengarnya bercerita apa yang terjadi hari itu.

Bagi laki-laki waktu yang dibutuhkan bisa jadi istirahat dengan tenang tanpa direcokin oleh anak. Makanya sang istri perlu memberikan jeda bagi laki-laki untuk sekadar tenang ketika masuk ke dalam rumah. Mandi sore, scroll HP, atau sekedar main dengan peliharaan. Jika penatnya telah lewat bolehlah istri bercerita apa yang menjadi ganjalan hatinya hari itu.

Mengutamakan kebutuhan pasangan atau keluarga.
Untuk yang satu ini saya mengalaminya sendiri. Paksu begitu jarang membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. saat gajian yang dipikirkan adalah anak dan istrinya. Apa kira-kira kebutuhan saya atau anak yang paling urgent, itu akan menjadi prioritasnya. Bahkan saya sering menemui sepatunya yang jebol, baju yang koyak, celana yang sobek tetap ia pakai sehingga sayalah yang mikirin apapun kebutuhannya.

Bisa jadi itu adalah wujud dari tanggung jawabnya sebagai laki-laki. Meski banyak juga laki-laki yang sulit untuk memiliki perasaan yang serupa.

Adaptasi dengan berbagai perubahan
Perubahan bisa jadi berpindah tempat tinggal, mengubah karir atau mengalami masa sulit finansial. Itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk diterima. Saya pun pernah mengalaminya saat beberapa kali suami mengalami kehilangan pekerjaan.

Kejadian yang sangat membekas dalam ingatan saya adalah akhir tahun 2016 sampai pertengahan tahun 2017. Delapan bulan suami mengalami jobless. Pendapatan saya sebagai frelancer tentu saja tak mampu menutup kebutuhan sehari-hari. Tabungan pun terkuras habis. Untuk berhutang kok rasanya kelu.
Sering kali saya mengalami tak memegang uang sepeserpun.
Panik? Tentu saja. Akan tetapi semuanya saya pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Buat saya yang terpenting adalah tak memberatkan suami dengan hal-hal yang saya alami. Saat itu kami menjalani Long Distance Marriage.

Berbagai pertolongan Allah saya dapatkan lewat orang-orang terdekat. Tanpa harus bercerita berbagai rezeki datang lewat mereka. Kuasa Allah terlihat begitu nyata bagi saya.

Memaafkan, meskipun terluka.
Saya pernah ngobrol dengan salah satu teman yang sering kali saya ajak tukar pikiran. Baginya ketika pasangan masih melakukan hubungan baik dengan tuhannya. Masih bertanggung jawab pada keluarga. Tidak mendua. Dan tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Baginya pernikahan tersebut masih layak dipertahankan.

Bagi saya, pernikahan yang saya jalani tidak mulus-mulus saja. Ada masa 20 tahun pernikahan saya mengalami berbagai ujian. Dan ini adalah bagian pengorbanan saya yang paling besar menurut saya. Luka dalam pernikahan pernah saya alami. Bahkan saya pernah merasa ingin menyerah karena merasa tak mampu bertahan.

Sepuluh tahun pertama saya memilih bertahan karena ingat anak-anak. Sepuluh tahun kedua pada akhirnya saya bertahan karena suami mengalami gangguan kepribadian. Ia perlu ditolong. Saya yang tadinya mikir bahwa saya adalah victim. Berusaha untuk mengubah sudut pandang.

Menjadi helper. Meski terkadang begitu lelah. Akan tetapi saya tetap berusaha untuk mendampingi. Karena apa yang pernah ia lakukan sebenarnya juga tak ia kehendaki.

Kami datang ke profesional. Bersyukurnya saya, suami menerima kondisinya. Banyak laki-laki yang tak mau ego dan harga dirinya turun karena kelemahannya. Setelah mendapatkan assesment. Alhamdulilah perubahan suami begitu kentara.

Dua tahun sudah hal itu pernah terjadi. Sejauh ini masih aman terkendali. Saya dan suami sama-sama berusaha untuk mengendalikan diri. Sama-sama mengorbankan ego masing-masing. Untuk memberikan rasa aman dan damai. Tak hanya buat kami. Yang terpenting adalah untuk anak-anak.

Pernikahan tak ada yang ideal. Seperti sebuah kehidupan. Tak ada yang sempurna. Semua melalui kompromi di antara kedua belah pihak. Untuk sama-sama berjuang. Tak sayang untuk berkorban. Apalagi jika layak untuk dilakukan.

Pengorbanan dalam pernikahan adalah memilih untuk tetap bersama. Bukan karena mudah. Akan tetapi karena itu berharga.

Senin, 02 Juni 2025

Cinta di D’Pala Foodcourt


Sebut saja namanya Isa. Ia pengunjung D’Pala Foodcourt, sebuah pujasera yang dipercayakan oleh sepupu saya untuk dikelola bersama keluarga. Sudah setahun ini ia menjadi pengunjung tetap.

Pesanannya bisalah tertebak. Es teh, es cappuccino sachet, atau saat dingin menusuk tulang ia bakal pesan jahe anget. Saat pesan es ia request tak menggunakan sedotan. Sepertinya ia menikmati menyesap minuman yang tersaji.

Minuman yang ia pesan bersanding dengan bola ubi atau minipao. Menu-menu dan harga yang minimalis pasti jadi favorit anak-anak SMA. Kalau lapar biasanya pesan nasi telur. Akhir-akhir ini ia senang mengudap salad sayur yang saya buat.

Ia sering menyendiri. Di tengah ramainya teman-teman yang sama-sama ngumpul di D’Pala. Ia memilih mojok dengan laptop dan headphonenya. Karena sudah di penghujung SMA. Ia pun belajar sendiri. Benar-benar ia duduk di ujung sambil memandang jalanan. Sering kali ia menutup kepalanya dengan hoodie hijau pastel yang ia pakai.


Anaknya soft spoken banget. Sopannya Masya Allah. Kalau mengucapkan terima kasih ia meletakkan salah satu tangannya ke dada. Saya kira semua orang tua yang berhadapan dengannya langsung merasa jatuh sayang. Apalagi kalau sudah ngobrol dengannya. Saya aja betah kok ngobrol sama anak ini.

Satu saat suasana Foodcourt sedang sepi. Tak biasanya ia duduk di meja bar, dekat dengan kasir. Awalnya ngobrol random aja. Lama-lama ia bicara tentang cita-citanya. Saat ia bercerita saya merasa anak ini butuh sesuatu.

Berawal dari cerita bahwa ia lebih menyukai gadis yang dewasa. Sebagai anak sulung yang dituntut apa-apa harus sendiri. membutuhkan seseorang yang bisa mengarahkannya. Akhirnya ia bercerita tentang keluarganya.

Ia sangat mencintai keluarganya. Bahkan terhadap Ayah yang sering berbicara dan melakukan kekerasan fisik padanya. Ia menahan diri tak pernah mengeluhkan apapun pada Ibunya. Karena ia tahu beban ibunya sangat berat. Ibunya tulang punggung dalam rumahnya. Makanya tak ingin sedikitpun ia menambah pikiran sang ibu karena ia berpikir ialah yang akan menjadi sandaran ibunya.

"Apapun yang pernah Ayah lakukan ke saya. Saya tetap sayang dan hormat sama Ayah. Kalau saya melakukan hal-hal buruk karena beliau. Saya yang nggak tega melihat sedihnya Ibu dan adik."
Begitu katanya saat ia bercerita tentang apa yang pernah sang ayah lakukan padanya. Saya yang menahan air mata mendengarnya.

Ia tak pernah bercerita pada sahabat-sahabatnya. Karena menurutnya ia dibutuhkan oleh teman-temannya untuk berpikir paling waras. Semua masalah sahabatnya ia tahu. Namun mereka tak boleh tahu apa yang bergejolak dalam dadanya.

"Sebenarnya itu nggak baik ya, Buk? Saya takut suatu saat bisa meledak karena nggak kuat menahan semuanya. Gimana ya Buk, saya bener-bener nggak bisa curhat sama teman, sedeket apapun. Ini aja ada temen ngajak ketemuan di sini karena pengen cerita."

"Sekarang kamu punya tempat bercerita, Nak. Ada Ibuk, ada Bapak. Bisa sama Kak Anya dan Mas Lilo juga."
Ia tersenyum, sambil menganggukkan kepala. Ekspresinya seperti terlihat lega, layaknya beban terangkat dari pundaknya.

Sering kali saat ia bercerita mata sayalah yang berkaca-kaca. Ia tersenyum dan berkata, “Saya nggak papa kok Buk. Beneran.”

Semakin ia berusaha meyakinkan saya jika baik-baik saja. Saya malah makin merasa anak ini tak bisa dibiarkan sendiri. Saya tahu rasanya jadi anak sulung. Menjadi tumpuan keluarga. Menjadi orang yang paling diandalkan.

Satu persatu cerita tentang keluarganya mengalir. Meski tak seutuhnya. Sedih rasanya melihat senyum getirnya. Tapi saya lega. Setidaknya sekarang ia punya tempat untuk bercerita.
“Ibu, saya pengen berterima kasih pada Ibu. Sebelumnya saya tak pernah berani menatap orang jika bercerita. Tapi sama Ibu saya belajar banyak.”
Ia berkata begitu sambil meletakkan kedua tangannya di dada dan sedikit membungkukkan badannya. Manusia setengah baya ini kan langsung meleyot ya?

Saat ia mengalami kegagalan.

28 Mei 2025 pengumuman SNBT dibuka. Pas saya nggak ke foodcourt. Malam hari saat Paksu pulang ia bercerita jika Isa tak lolos SNBT.
“Salam dari anakmu,” goda Paksu.
Saya ingat obrolan terakhir tentang ketakutannya jika tak lolos SNBT. Ia berpikir jika harus UM maka ibunya harus menyediakan biaya lebih untuk membayar UKT maupun IPI. Tiba-tiba saja rasa khawatir saya menyeruak. Tanpa mikir lagi saya DM Isa. Dan anak ini emang fast response. Ia langsung membalas DM saya.


Setelah hari itu saya lihat ia kembali belajar di foodcourt. Di temani oleh cemilan favorit ia kembali lagi sibuk dengan soal-soal. Terkadang sampai jam tutup ia masih berada di foodcourt. Bahkan pernah hanya dirinya sendiri pengunjung yang belum pulang.

Biasanya saya strict banget sama aturan. Orang tahunya kalau saya yang jaga jam 22.00 tepat semua harus sudah pulang. Isa mengubah kebiasaan saya. Karena saya punya harapan. Perjuangannya belum selesai.

Isa, hidup itu isinya perjuangan. Semoga Allah mudahkan perjalananmu. Tak ada yang sia-sia atas apa yang kamu lakukan selama ini.