New Normal Life : Apa yang Perlu Kita Siapkan untuk Anak-anak? - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Kamis, 18 Juni 2020

New Normal Life : Apa yang Perlu Kita Siapkan untuk Anak-anak?


Assalamualaikum temans,

Adanya Covid 19 telah mengubah segala tatanan dalam berkehidupan manusia di seluruh dunia. Di Indonesia, pasien terkonfirmasi positif belum menunjukkan penurunan. Bahkan di beberapa tempat kasus positif makin menanjak. Seperti di Kabupaten Magelang, tempat saya tinggal. Beberapa waktu lalu masih banyak kecamatan yang steril pasien Covid. Namun semakin lama, di beberapa kecamatan mulai ada kasus-kasus baru.

Di kecamatan saya setelah tiga bulan steril mulai ada satu pasien positif di sebuah desa di perbatasan. Satu perempuan dengan riwayat bekerja di Jogjakarta. Satu kasus lagi yang membuat saya degdegan juga ada di kecamatan Dukun, utara kecamatan Muntilan. Seorang pasien positif covid seusia Kakak, meninggal dengan Demam Berdarah sebagai penyerta. Si anak ini tertular dari abangnya yang bekerja di Semarang. Si abang pasien ini sering pulang Sabtu dan Ahad. Sementara si abangnya sendiri adalah orang tanpa gejala, satu keluarga pun saat ini menjalani isolasi di rumah sakit.

Gimana saya nggak deg-degan. Suami saya pun pulang ke rumah Sabtu dan Ahad. Kantor si abang pasien covid yang meninggal itu pun tak jauh dari kantor suami. Sementara suami saya bekerja di perusahaan public service yang harus ketemu banyak orang. Mau nggak mau kudu cerewet setiap saat mengingatkan untuk selalu mematuhi protap kesehatan.

Khawatir itu pasti. Namun harus dihadapi. Ketakutan hanya akan menimbulkan kecemasan yang berlebihan. Mau tak mau kita harus menghadapi. Adanya pandemi ini merupakan ujian bagi kita sebagai manusia. Pemerintah sudah mempersiapkan untuk sebuah tatanan baru dalam berkehidupan. It calls New normal life.

Banyak orang yang merasa mengalami stress yang berlarut saat pandemi ini berlangsung. Saya pun sempat mengalami psikosomatis di awal terjadinya kasus covid-19 ini. Banjir informasi via media sosial dan WAG ternyata mempengaruhi kejiwaan saya sehingga mengalami kecemasan yang berlebihan. Saya mengalami batuk dan sesak napas. Beberapa hari rasanya tersiksa di malam hari mengalami sesak napas meski tak berlangsung lama. Coba tebak, apa yang membuat saya sembuh dari psikosomatis?

Menonton channel youtube masak memasak. Dari tayangan memasak yang paling gampang sampai masakan yang saya sendiri nggak tahu saya lihat. Benar-benar menghibur diri supaya tak fokus pada pergerakan statistik pasien covid saat itu.

Kita tak pernah tahu kapan si covid akan berlalu. Bisa sebulan, lima bulan, setahun atau dua tahun lagi. Bagaimanapun juga kita harus menghadapi. Peperangan dengan si covid masih belum selesai. Kita harus menyiapkan amunisi untuk menghadapi. Salah satu yang kita persiapkan adalah psikologis anak-anak.

Apa sajakah yang perlu kita persiapkan pada anak-anak kita menghadapi tatanan kehidupan yang baru?


1. Menanamkan benih resiliensi.


Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit (Reivich dan Shatté,2002). Resiliensi sendiri dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda. Tak ada satupun individu yang memiliki kemampuan tersebut secara keseluruhan dengan baik.

Tujuh kemampuan itu adalah :

Regulasi emosi
Regulasi emosi merupakan kemampuan tetap tenang dalam kondisi yang penuh tekanan. Seseorang yang memiliki kemampuan ini pasti bisa mengendalikan diri saat kesal, cemas, sedih marah atau emosi negatif lainnya. Ia juga mampu mengekspresikan emosi positif maupun negatif dengan tepat dan sehat.

Pengendalian impuls
Ini adalah kemampuan mengendalikan dorongan, keinginan, kesukaan, dan tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Seseorang yang memiliki pengendalian impuls rendah mengalami perubahan emosi dengan cepat dan mengendalikan perilaku dan pikiran. Ia akan mudah kehilangan kesabaran, marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi yang tidak terlalu penting. Hal ini sering kali membuat orang-orang di sekitarnya merasa kurang nyaman.

Optimisme
Pribadi yang resilien adalah seseorang yang optimis. Ia punya harapan di masa depan dan percaya bahwa dirinya mampu mengontrol arah hidupnya. Individu yang optimis lebih sehat secara fisik, tidak mengalami depresi, berprestasi lebih baik dan produktif.



Empati
Seseorang yang memiliki empati menandakan bahwa ia mampu membaca emosi dan tanda psikologis dari orang lain.

Analisis penyebab masalah
Seseorang yang memiliki kemampuan mengidentifikasi penyebab-penyebab dari permasalahan seseorang adalah orang yang memiliki kepekaan dalam menganalisis penyebab masalah. Seseorang yang tak memiliki kemampuan itu maka dirinya akan sering melakukan kesalahan yang sama terus menerus.

Efikasi diri
Efikasi adalah keyakinan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan masalah secara efektif. Seseorang yang memiliki kemampuan ini juga meyakini dirinya mampu berhasil dan sukses. Ia adalah pribadi yang tak mudah menyerah, memiliki komitmen tinggi dan selalu menemukan strategi jika ia tak berhasil. Jika terpuruk, ia akan mampu bangkit dan berusaha memperbaiki dirinya.

Peningkatan aspek positif
Resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Ia akan mampu membedakan resiko yang realistis maupun tidak. Ia juga memiliki tujuan hidup dan mampu melihat gambaran besar dari kehidupan.


Bagaimana menanamkan benih resiliensi ini?

Anak harus dibiasakan menghadapi ketidaknyamanan dan menghadapi tekanan. Namun untuk menghadapi hal-hal yang tak diinginkan itu selalu mendapatkan pendampingan, support dan cinta kasih yang optimal. Anak yang tak dimudahkan, dilatih kemandiriannya sejak dini, dan berani menghadapi hal-hal yang tak menyenangkan dalam hidupnya akan menjadi pribadi yang pantang menyerah.

Resiliensi terkait dengan pola asuh. Jika orang tua menerapkan pola asuh yang salah maka benih resiliensi itu akan sulit tumbuh. Anak belajar dari pola pengasuhan dari orang tua.

Sering kali orang tua sendirilah yang yang menghambat tumbuhnya benih resiliensi pada anak. Contoh kecil dari hambatan kemandirian dari orang tua adalah ketika anak ingin makan sendiri, orang tua melarang karena akan berantakan, lama, dan kotor. Contoh lain ketika anak ingin melakukan kegiatan fisik dilarang karena orang tua khawatir anak akan kecapekan dan sakit. Jika orang tua melakukan hal itu, maka anak belajar tergantung pada orang lain karena ia tak dibiasakan melakukan sesuatu sampai mahir.

Jika kita melakukan hal itu, sama saja melatih anak untuk tidak berdaya. Padahal sebagai orang tua kita nggak bakal selamanya bisa membantu anak-anak kita.


2.Melatih anak berpikir fleksibel. 


Bagaimanapun juga orang tua menjadi teladan bagi anak-anak. Jika seseorang tak memiliki kemampuan berpikir yang lentur, maka ia akan menjadi pribadi yang kaku, yang tak memiliki alternatif saat bertemu dengan permasalahan, baik besar maupun kecil. Jika seseorang memiliki kelenturan dalam berpikir, dengan sangat mudah ia akan menemukan alternatif A, B, C sampai Z untuk menjadikan solusi dari problematikanya.

Ini terkait dengan kemampuan seseorang menjadi pribadi yang resilien. Seseorang yang memiliki resiliensi tinggi ia akan selalu menemukan pintu-pintu lain dalam menemukan jalan keluar.

Dalam pandemi ini, kita harus berlatih untuk berpikir lentur dalam menemukan peluang. Jika tak terlatih berpikir fleksibel maka kita menjadi pribadi yang rentan, pencemas, mudah mengalami stress karena yang kita pikirkan tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi.

Untuk melatih anak berpikir lentur adalah memulai memberikan stimulasi sejak dini. Stimulasi tersebut berkaitan dengan kreativitas. Kita bisa memberikan peluang bagi anak-anak kita untuk berpikir kreatif.



Sebuah contoh kecil di rumah saya. Dua anak saya sudah remaja. Anak milenial biasanya tergantung dengan gadget. Bagi mereka pandemi kesempatan lebih 'rajin' berdekatan dengan gadget. Pastinya kebosanan akan dialami. Bagi anak laki-laki saya, game tak lagi satu hal yang paling menarik. Ada buku yang bisa dibaca. Setelah maraton nonton anime, ia pun mencari tontonan lain. Akhirnya ia pun tak lagi alergi. Separuh dari drama korea dengan tema action dan komedi di laptop Kakak ia tonton. Main bola sendirian, main badminton lawan tembok, dan lompat tali ia lakukan. Masih merasa bosan? Ia akan membantu saya atau kakaknya di dapur. Atau berkreasi sendiri dengan bahan-bahan yang sudah ada. Bahkan yang paling gaje menawari memijit badan saya meski hanya memainkan lemak di badan yang mirip jelly katanya.

Lain lagi dengan si Kakak. Ia sedang senang memotong kaos-kaos yang tak lagi terpakai. Ada yang dijadikan tas belanja, atau tanktop.

Beberapa bulan belakangan ia senang sekali ngedance diiringi lagu-lagu kesukaannya. Sekalian senam katanya.

Ia pun memotong beberapa kaos dijadikan baju senam. Dijahit tangan, atau sekadar dipotong doang. Ada lagi kaos lengan panjang saya yang sudah sangat kebesaran dijadikan hotpant, dipakai saat ia memakai rok di rumah. Semuanya dijahit tangan.

Sayangnya saya tak boleh memotret hasil karyanya.

Sering kali orang tua menghambat anak berpikir lentur. Misalnya, orang tua berpikir bahwa sapu hanya untuk menyapu. Padahal anak-anak bisa berimajinasi bisa terbang atau main gitar. Dengan alasan kotor anak-anak pun tak lagi bisa berimajinasi.

Yang perlu kita lakukan adalah memberikan kesempatan pada anak-anak untuk bereksplorasi. Pastinya dengan pengawasan dari orang tua. Lebih asyik lagi jika kita sebagai orang tua terlibat aktif dengan anak-anak saat mengeksplorasi kemampuannya berpikir.

Hidup ini memang tak semulus wajah Dokter Reisa Broto Asmoro. Namun kita sanggup menghadapinya bukan?










12 komentar:

  1. Sebenarnya bukan cuma untuk anak-anak sih ya Mbak. Bahkan untuk orang dewasa juga. Kayak Yuni. Biar nggak parnoan. Secara Yuni juga masih kerja di kantor. Sejak awal pandemi nggak pernah merasakan tu yang namanya WFH.

    Tapi bener. Kita harus mampu beradaptasi. Apa namanya tadi. Resiliensi ya.

    Semangat...

    BalasHapus
  2. Mmg benar y mb kita kudu mengajari anak2 u mandiri sdr kecil spy mrk pantang menyerah.aku bru tahu nih mb istilahnya resilien..noted bgt nih..

    BalasHapus
  3. Hahaha kalimat penutupnya bisa aja nih. Aku juga berharap pandemi ini lekas usai Mak aamiin

    BalasHapus
  4. Aku pun lagi ketar ketir menunggu kabar kapan skolah mulai. Anakku kan insyaallah masuk pondok thn ni liat perkrmbangan beberapa pondok udah nekas buka padahal situasi masih kek gini. Semarang kasus + masih tinggi daerah lain sama aja. Cuma bisa berdoa yg terbaik aja

    BalasHapus
  5. Punya anak remaja yang autis itu wow banget. Bosan di rumah tapi belum berani ngajak keluar. Terapinya juga sudah 4 bulan stop dulu. Harus punya banyak energi untuk mendampingi.

    BalasHapus
  6. Waa..aku penasaran nih dengan hasil kreasi Kakk..hehe.. Mudah2an bisa dibujuk utk memperbolehkan di foto. Dan...kalimat penutupnya, juarak!!

    BalasHapus
  7. Setuju sekali bahwa anak harus kreatif dan bisa beradaptasi menghadapi pandemi yang semakin berlarut-larut ini mbak.

    Saya kadang merasa bersalah dalam kondisi seperti ini tidak maksimal mendampungi anak saya karena sibuk kerja. Namun tetap berusaha sebisa mungkin ngobrol dengannya pada malam hari. Berusaha menenangkan supaya tidak panik.

    Semoga kondisi akan segera normal kembali yaa aamiin.

    BalasHapus
  8. Keren ih si kakak. Suka upcycle baju gitu ya mbak? Coba follow di IG @dianarikasari deh doi fashion blogger yg suka upcycle lucuk2 bangett. Siapa tau bisa jadi inspirasi kakak

    BalasHapus
  9. Ini kejadian dengan aku waktu SMA, pengen jahit baju sendiri sama ibuku nggak diijinkan. Ibu semua yang jahit bajuku, jadi sampai sekarang aku malah gak bisa jahit baju seperti gamis yang modelnya rumit gitu.

    Makanya aku biarkan anak eksplore semua yang mereka inginkan, biar ketemu dengan kreativitas masing-masing. Eh Lilo lucu banget sih, mainin 'jelly' hahahaa

    BalasHapus
  10. Iya mbak, anak-anak harus pandai cari kegiatan yang menghibur mereka dan bikin mereka nggak bosan di rumah, aku kehabisan ide nih dan mulai stres huhu...sekarang Alde suka bikin video stop motion dan Nai bikim cerpen fan fiction hihi

    BalasHapus
  11. Waah kakak kreatif banget ya...aku punya mesin jahit di rumah tapi baru beberapa kali tok makai feelnya belum dapet....kalah sama kemageran

    BalasHapus
  12. Setuju banget. Ketika tingkat resilien dalam diri rendah, yang ada malah justru menyalah-nyalahkan orang lain dalam kondisi pandemi ini. Pokoknya harus ada yang disalahkan alih-alih mencari solusi bagi dirinya.

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih