Mendampingi Taaruf (Chapter #2) - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Jumat, 29 Juni 2018

Mendampingi Taaruf (Chapter #2)


Assalamualaikum Temans,

Sudah baca tulisan saya tentang mendampingi taaruf chapter 1? Nah tulisan ini adalah kelanjutan nih. Untuk chapter 1 nya bisa dibaca DISINI.
Saya memang sengaja memotong jadi beberapa bagian. Bukan karena yang baca biar penasaran. Namun saya khawatir tulisan yang terlalu panjang akan terasa membosankan. Jadi, siap ngikutin kelanjutannya kan?

Pak guru introvert mengirimkan 11 lembar tulisan tentang biodatanya setelah saya kritik biodatanya mirip orang ngelamar pekerjaan. Saya katakan padanya bahwa yang bekerja untuk menuliskan biodata ini bukan otak, namun hati. Eh ... beneran. Pak guru introvert ini membuat sebuah tulisan yang menyentuh. Bahkan ia sukses membuat saya meneteskan air mata.

Dimulai dari tulisan ini. Kalau pembaca menganggap tulisan ini hasil editan saya, itu salah besar. saya sama sekali tak mengedit tulisannya. Ia menulis dengan hati.

Pendidikan                  :Bapak dan Ibu saya adalah sarjana. Sementara saya sempat berkuliah selama beberapa tahun  di UNY tapi tidak sampai selesai. Walaupun bapak menginginkan anak-anaknya menjadi sarjana, namun yang paling ditekankan oleh bapak adalah apapun pekerjaan anak-anaknya harus bisa memberi manfaat bagi masyarakat sekitar dan memiliki nilai/makna.            Bagi saya pengalaman pernah kuliah selama 4 tahun memberikan banyak pelajaran berharga bagi saya. Salah satunya adalah bagaimana pelajaran-pelajaran agama dan teori-teori yang saya dapatkan di kelas ternyata tidak cukup membuat saya menjadi orang yang bisa berislam secara kaffah. Selama enam tahun saya menjalani kehidupan pesantren dengan nilai-nilai relijius yang tinggi. Tapi begitu lulus dari pondok dan memasuki bangku perkuliahan, saya mengalami gagap budaya.            Di pesantren saya terbiasa dengan peraturan-peraturan yang mengikat untuk santri, sehingga ibadah dan kebiasaan relijius saya bisa terjaga dengan baik. Tapi kemudian saya menemukan sesuatu yang berkebalikan ketika memasuki dunia luar. Di luar tidak ada lagi peraturan-peraturan ketat yang mengontrol, saya merasa bebas bisa melakukan ini-itu yang tidak bisa saya lakukan di pondok. Saya mulai masuk kedalam pergaulan yang negatif. Apalagi mayoritas teman kuliah saya tidak memiliki dasar pendidikan agama yang kuat. Sebenarnya saya bisa memilih teman pergaulan lain yang lebih baik, tapi rasa jenuh dengan kehidupan di pondok membuat saya enggan untuk mendekati mereka yang suka berkumpul dalam forum-forum keagamaan.
            Empat tahun dalam masa perkuliahan saya mengalami masa-masa yang menurut saya paling kelam dalam hidup saya. Walaupun secara akademik kuliah saya tetap berjalan dengan baik, tapi nilai-nilai Islam yang ada dalam diri saya mulai luntur. Saya mulai sering meninggalkan shalat dan lebih suka nongkrong di warung kopi, main kartu dan sebagainya. Saya mulai dekat dengan hal-hal yang dilarang dalam agama Islam. Bergaul dengan peminum, bergaul dengan pemakai narkoba, bergaul dengan segala yang buruk dan dilarang dalam agama Islam. Tapi Alhamdulillah walaupun teman pergaulan saya seperti itu saya tidak pernah mencicipi sedikitpun barang-barang yang diharamkan oleh agama Islam.            Pada tahun keempat kuliah saya mulai mengalami titik jenuh dalam kehidupan saya yang seperti itu. Waktu itu adalah proses awal saya mengerjakan tugas akhir. Tapi saya merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidup saya. Saya merasa hampa. Saya merasa apa yang saya lakukan empat tahun di bangku kuliah tidak memiliki manfaat apapun kecuali pengetahuan-pengetahuan yang bertambah tapi tidak bisa saya aplikasikan dalam kehidupan saya. Tidak ada sesuatu yang bermanfaat yang bisa saya bagi untuk orang lain.
            Pada satu momen, ingatan-ingatan masa kecil saya kemudian muncul dan terbayang di depan saya dengan jelas. Ingatan ketika bapak menggandeng tangan saya ke masjid. Ingatan ketika bapak mengajari saya mengeja huruf arab di papan tulis. Ingatan ketika bapak mengantar saya pertama kali masuk ke pondok. Ingatan ketika bapak memberi saya uang yang hanya cukup untuk naik bis kembali ke pondok karena waktu itu bapak memang tidak memiliki uang lagi. Semua memori-memori dari masa kecil saya dengan bapak membuat saya sadar kalau saya selama ini hanya melakukan hal-hal bodoh dan sia-sia.
            Akhirnya saya memutuskan untuk istirahat dari bangku perkuliahan dan mencari kegiatan-kegiatan lain di rumah. Mencoba menata kembali diri saya. Enam tahun di pondok ditambah empat tahun di bangku perkuliahan membuat saya merasa asing dengan lingkungan sekitar ketika saya kembali ke rumah. Saya mulai beradaptasi lagi dengan lingkungan tempat tinggal saya. Butuh beberapa bulan untuk saya mulai terbiasa dengan lingkungan tempat tinggal saya. Saya mulai mencoba kembali untuk ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan masjid, mengikuti kajian-kajian yang diselenggarakan oleh masjid.            Tidak berselang lama, Alhamdulillah saya ditawari untuk membantu di SD Muhammadiyah Gunungpring. Awalnya hanya untuk membantu mengajar anak-anak mengaji di jam pagi, tapi kemudian diminta juga untuk membantu mengajar di jam siang setelah shalat dhuhur. Keigatan-kegiatan tersebut kemudian menjadi rutinitas harian saya sampai kemudian saya mulai lupa dengan tugas akhir saya. Sempat bapak bertanya dan meminta saya untuk menyelesaikan tugas akhir saya. Saya juga sempat mencoba kembali memulai untuk menyelesaikan tugas akhir saya.            Tapi saya mulai mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas akhir saya. Selain karena saya sudah mulai jarang ke kampus, saya juga membatasi berkomunikasi dengan teman-teman saya di kampus. Saya mulai kehilangan ritme dalam menyelesaikan tugas akhir. Dalam jangka waktu yang cukup lama saya tidak bersinggungan dengan tugas-tugas akademik kampus. Saya juga tidak mempunyai teman untuk diajak bertukar pikiran. Saya mulai menikmati dan terbiasa dengan kegiatan harian saya dirumah yang bagi saya membuat saya lebih bahagia.

Tulisan itu membuat saya berkaca-kaca. Buat saya, ini istimewa. Ia merelakan kehilangan sesuatu yang bisa membanggakan untuk agama. Ia meninggalkan lingkungan yang baginya telah menjauhkan dari rasa syukur buat seorang anak muda bukanlah sesuatu yang mudah. Namun ia bisa melakukan itu.

Jangan khawatir, ia sudah berencana untuk kembali ke bangku kuliah. Ia akan kembali ke bangku kuliah yang berkaitan dengan keilmuan Islam yang menurutnya akan lebih banyak bermanfaat untuk murid, keluarga dan masyarakat.

Satu lagi tulisannya yang sukses membuat saya meneteskan air mata. Tulisan ini di bagian akhir dari biodatanya.

Catatan :

Saya pernah ditanya mau punya istri yang seperti apa. Saya yang saat itu memang belum memiliki rencana untuk menikah hanya memberi jawaban yang umum, istri yang bagus agamanya dan cantik. Sudah itu saja. Tapi waktu demi waktu saya mulai memikirkan kembali sosok istri yang saya inginkan.

Kemudian ingatan-ingatan tentang ibu ketika mendampingi bapak dalam fase-fase yang berat di keluarga kami muncul kembali. Ibu saya bukan tipe ibu yang kalem. Kadang-kadang menjengkelkan kami. Tapi saat itu saya kemudian ingat bagaimana kesetiaan ibu terhadap bapak. Bagaimana ibu terus mencoba kuat dan tegar didepan anak-anaknya. Semua yang menjengkelkan luruh sudah.

Ketika saya kelas 5 SD, Bapak sakit parah. Itu tahun kedua bapak sakit dan kondisi bapak terus menurun dari waktu ke waktu. Saat itu bulan Ramadhan, dan bapak menghabiskan bulan itu di Rumah Sakit. Malam hari sebelum bapak masuk RS, saya sempat melihat ibu saya menangis di kamar dan mencoba ditenangkan oleh orang-orang. Saya baru tahu kalau waktu itu secara medis bapak sudah tidak memiliki harapan untuk sembuh. Badan bapak sudah sangat kurus, bahkan terlihat jelas tulang-tulang di badan bapak. Penyakit yang diderita bapak juga tidak kunjung ketahuan. Tidak ada lagi makanan yang bisa masuk ke perut bapak. Tapi ibu masih mencoba yang terbaik untuk kesembuhan bapak. Akhirnya bapak dirawat di RS lagi. Selama beberapa minggu di RS kondisi bapak semakin menurun. Ibu masih tetap setia menemani bapak pada fase itu.
Saya ingat suatu hari ibu pulang ke rumah. Ibu kemudian mengajak saya dan adik ke pasar untuk beli sandal dan baju baru. Saat itu ibu tidak menampakkan rasa cemas di wajahnya. Karena tidak punya kendaraan, kami naik andong ke pasar. Sorenya, ibu kembali lagi ke RS menemani bapak. Setelah itu bapak mulai mengalami masa-masa kritis. Sampai kemudian tim dokter mengambil keputusan untuk mengoperasi bapak. Waktu itu tengah malam. Dan operasi dilakukan secara mendadak. Dokter memberi tahu kalau operasi bapak kemungkinannya kecil untuk berhasil dan ibu diminta untuk siap-siap dengan kemungkinan terburuk. Saya tidak tahu bagaimana perasaan ibu saat mengambil keputusan waktu itu. Tapi akhirnya bapak dioperasi. Saya baru tahu kalau bapak dioperasi keesokan paginya. Dan Alhamdulillah operasi bapak berhasil. Saya juga tidak tahu bagaimana bahagianya ibu ketika itu. Yang pasti saat itu ibu adalah orang yang paling bahagia dan bersyukur dengan kesembuhan bapak.
Saya tidak tahu seberat apa kesulitan-kesulitan yang akan saya alami dalam kehidupan keluarga saya nanti. Saya hanya berharap dan berdo’a kalau istri saya nanti adalah orang yang kuat, tegar, dan setia seperti ibu. Rela jatuh-bangun bersama, yang bersedia menemani saya melewati cobaan-cobaan, yang bisa menguatkan ketika saya goyah.

Ia mencintai ibunya. Sangat. Setiap laki-laki yang mencintai ibunya saya yakin akan memuliakan istrinya. Ia takkan egois menjadikan seorang istri sebagai konco wingking saja. Namun pastinya ia akan menjadi support system istri yang paling bisa diandalkan.

Membaca tulisan Pak guru introvert membuat saya yakin. Ia akan mulus melalui tahapan taaruf ini. Ini baru dua bagian tulisannya. Sementara yang membuat hati saya meleleh tak cuma itu. Jika orang tua dedek barbie membaca, bener deh, pasti ikut kebaperan seperti saya.
Lantas biodata itu saya kirimkan ke ustadzah Anne. Ust Anne mengatakan bahwa biodata itu akan dikirimkan ke dedek barbie malam hari saja setelah tarawih. Saya tanyakan ke pak guru introvert kapan mau dikirim. Katanya begini.


Namun saya nggak sabar. Saat kultum tarawih malam itu saya kirimkan biodata dedek barbie ke pak guru introvert. Saya kaget juga. Kok WA saya langsung centang biru. Saya pun tertawa sendiri. Kami sebenarnya tak biasa membawa ponsel ke masjid. Kayaknya force majeur nih, nggak sabaran semua untuk mengirim dan menerima gambaran masa depan (#eaaaaaa)

Malem itu saya WA Ust Anne. Keesokan harinya  Ustadzah Anne bales WA saya.





Beberapa hari kemudian saya ketemu Pak guru introvert di parkiran masjid. Meski ia tak banyak bicara, namun saya melihat kilatan bahagia di matanya. Ia bertanya kelanjutan dari taaruf ini. Saya pun menjelaskan bahwa biasanya yang namanya taaruf itu nggak lama kemudian khitbah kemudian akad.  Prosesnya sekitar tiga bulanan.
“Sudah sejauh ini, sudah saatnya disampaikan ke Bapak dan Ibu yo?” kata saya.
“Nggih, Mbak. Paling do kaget yo, ngerti-ngerti saya prosesnya sampai seperti ini.”
“Mature alon-alon. Biar nggak ngageti banget. Kamu siap ketemuan tanggal  1 kan?”
“Insya Allah, Mbak.”

Saya pun berkoordinasi dengan Ust Anne untuk pertemuan itu. Sehari kemudian saya mengabari pak guru introvert.

“Kamu siap ketemu tanggal 1 kan? Pihak beliau Insya Allah siap.”

Tak ada jawaban dari pak guru introvert. Hanya centang satu. Bukber di masjid pun pak guru introvert nggak kelihatan. Ada perasaan nggak enak di hati saya. Tapi saya nggak mau mikir macem-macem.
Selepas maghrib Pak guru introvert membalas WA saya.

“Mbak, saya bingung. Ini kok sulit ...”

Duh ... apalagi ini?
Saya WA lagi pak guru introvert berkali-kali namun WA saya hanya centang satu. Saya khawatir. Apakah orang tua pak guru introvert keberatan dengan sosok dedek barbie? Saya nggak yakin. Saya mengenal orang tua pak guru introvert. Keluarga mereka bukanlah keluarga yang pilih-pilih dalam bergaul. Mereka memandang orang selalu dari sisi positifnya. Lalu apa yang sulit?

Malam itu saya kepikiran banget. Apa yang salah ya dengan proses ini? Sepertinya Allah begitu memudahkan jalan mereka untuk bertaaruf. Ada apa ini?

Tengah malam itu saya menggelar sajadah. Saya hanya ingin berdoa. Bahkan saya tak tahu apakah saya shalat tahajud ataupun shalat hajat. Saya melangitkan doa untuk pak guru introvert dan si dedek barbie. Tak terasa pipi saya pun basah.

Well ... saya ada acara nih. Nyambung chapter 3 yak?

9 komentar:

  1. Di bagian yg nyeritain betapa setianya sang ibu, aku mewek mbak sambil ngelonj anakku. Semoga suami dan anakku adalah sosok yang demikian memuliakan ibu dan istrinya. Hiks hiks.

    Iku piye kelanjutane, pak guru ki jangan aneh2 yo. Atau jangan2...

    BalasHapus
  2. Wah seperti suami ku yg menuliskan perjalanan awal taaruf, khitbah, akad hingga malam pertama. Kalo ndak salah judulna sampe part 16. Semangat mba..

    BalasHapus
  3. Ya Allah aku kok ikut deg2an.. nunggu lanjutannya..kalau boleh, aku minta form biodata utk taarufnya dong mbak. Lagi mo dampingi adik sepupu taaruf juga... :)

    BalasHapus
  4. nah.. hmpir saya mau bilang 'bunda'.. :D
    biasanya nulis beginian sambil deg deg serrr..

    saya jadi mengingat2 kegiatan saya waktu lamaran dulu..

    BalasHapus
  5. Iih mbak irfalagi seru di cut bikin baper ih...

    BalasHapus
  6. Huaaa.. Nangis bombay yg bagian ibu kadang menjengkelkan.
    Semoga anak2 bisa menghapus rasa jengkelnya padaku jg seperti mas guru.
    Ditunggu kelanjutannya ��

    BalasHapus
  7. Waah....saya sdg baca bag 1 terus yg ini dan makin penasaran ytk kelanjutannya..semoga happy ending y mba..

    BalasHapus
  8. Uwaaah, kok aku jd kuatir ini baca terakhirnyaaa :(. Semogamasih bagus endingnya mba. Jd kebawa cerita aku hahah

    BalasHapus
  9. duh, ini tulisannya bikin penasaran. Ayo mbak ditunggu lanjutannya.

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih