Ramadhan yang Paling Berkesan Sepanjang Hidup - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Kamis, 21 Maret 2024

Ramadhan yang Paling Berkesan Sepanjang Hidup

Ramadhan terbaik



Di umur saya yang hampir setengah abad kurang beberapa tahun. Saya selalu mengalami Ramadhan yang memiliki kesan yang berbeda-beda. Ada yang menyambutnya dengan sangat antusias. Ada juga mengalami rasa sedih yang luar biasa. Masing-masing memiliki nilai dalam kehidupan saya. Akan tetapi dari seluruh kehidupan ini ada beberapa Ramadhan yang membuat saya merasa berbeda dari Ramadhan-Ramadhan yang saya lalui lewat gelombang emosi yang saya alami bersama keluarga.


Ramadhan tahun 1420H

Ramadhan 1420 H, jatuh di bulan Desember 1999. Itu Ramadhan pertama saya, Ibuk dan adik-adik tanpa Bapak. Enam bulan sebelumnya Bapak telah dipeluk bumi. Di luar kesulitan finansial yang saat itu dialami karena Ibuk tidak bekerja dan pensiunan Bapak belum bisa turun karena saat itu pengurusan memakan waktu hampir sembilan bulan. Kami kehilangan sosok panutan.
Bapak dipanggil Allah setelah melewati setahun keluar masuk rumah sakit karena Sirosis yang diderita. Penyakit yang Allah turunkan hanya dua bulan setelah Bapak pulang haji. Bapak yang tak pernah sakit. Namun setahun itu menjadi penggugur dosa setelah mengalami ujian dalam hidup Bapak.

Ramadhan tahun itu untuk pertama kali kami buka puasa tanpa kolak dan jemunak, makanan khas di kampung yang adanya hanya di bulan Ramadhan. Dua takjil itu kesukaan Bapak banget. tapi tidak untuk saya dan adik-adik. Begitu Bapak tiada, Ibuk pun tidak menyediakan takjil itu di meja makan. Khawatir aja kalau nggak termakan. Kalau tersisa banyak kan sayang banget. Ibuk memilih untuk membeli kolak dan jemunak saat kepingin aja.


Ramadhan tahun 1429H dan tahun 1432H

Sepanjang umur pernikahan saya dan suami selalu LDR. Saat belum ada anak, saya kerja di Semarang, suami kerja di Jogja. Sementara saat saya hamil besar dan hampir melahirkan saya memilih tinggal dengan Ibuk di Muntilan sementara suami bekerja di Semarang. Setelah si Kakak lahir saya full tinggal di Muntilan sampai sekarang karena saat itu Ibuk mengalami gejala stroke. Mau nggak saya yang momong Ibuk karena dua adik saya satu kuliah di luar kota yang satu bekerja di luar pulau. Otomatis saya puasa dengan suami ya hanya weekend saja.

Ramadhan 1428H di bulan September – Oktober 2007 adalah saat di mana Kakak mulai belajar puasa. Umurnya saat itu 4 tahun 10 bulan. Ia termasuk anak yang semangat menyambut bulan Ramadhan. Saat berpuasa pun nggak banyak drama. Minggu pertama ia menjalani puasa sampai Dhuhur. Minggu kedua ia menjalani puasa sampai Ashar. Dan dua minggu terakhir ia menjalani puasa full sampai Maghrib. Udah gitu baterenya full charge terus. Main nggak pakai capek. Nggak ada rewel karena lapar. Dan setelah itu, Kakak selalu puasa full sampai Maghrib saat Ramadhan.
Berbeda dengan Kakak. Si Adek memulai puasa di tahun 1431 H dengan belajar puasa sampai dhuhur selama sebulan. Tahun berikutnya 1432 H, di usia 5 tahun lebih 3 bulan ia menyambut puasa pertama dengan semangat.

“Aku mau puasa sampai Maghrib kayak Kakak,” katanya waktu itu.
Sebagai orang tua tentu saja saya tak memaksakan anak-anak untuk puasa sampai Maghrib. Namun melihat kami serumah yang menjalankan puasa sampai Maghrib ia pun tergerak untuk melakukan yang sama. Saat itu sampai Ashar ia masih tetap tenang, belum ada keluhan apapun. Hanya saja memang jadi tak banyak bicara. Saat ditawari untuk buka puasa lebih awal ia tak mau. Ia masih keukeuh untuk buka puasa di masjid bareng temen-temennya.
Kami pun ke masjid 30 menit sebelum waktu berbuka. Ada kegiatan untuk anak-anak di masjid sampai 10 menit menjelang buka puasa. Ternyata detik-detik terakhir itulah terjadi drama. Adek menangis minta berbuka.

“Laper banget...” katanya lirih sambil meneteskan air mata. Ia duduk di pangkuan Ibuk.
“Sebentar lagi ya, Dek. Bentar banget mau buka,” Ibuk membujuk si Adek untuk bertahan. Tangis lirihnya pun mengeras.
“Enggak kuaaaatttt ... mau makaaaannn... Laper bangeeetttt.”

Antara geli dan kasihan. Teman-temannya jadi ngumpul ngelihatin dia nangis. Dia juga sudah mulai sulit mengendalikan tangisnya. Lantas dari pangkuan Ibuk pindah ke pangkuan saya yang tepat berada di depannya.

“Adek mau buka sekarang?”tanya saya pelan
“Iyaaaa.”
“Boleh buka, tapi berhenti dulu nangisnya. Kalau minum sambil nangis nanti takut tersedak,” kata saya waktu itu.

Ia pun berusaha menghentikan tangis. Masih terdengar sedu sedannya. Lantas mulai bisa mengatur napas. Ketika ia sudah tenang, saya ulurkan segelas air mineral untuknya. Ketika gelas itu sampai tangannya, Adzan Maghrib pun berkumandang.
“Wah ... ternyata Adek bisa puasa sampai Maghrib. Hebat!” kata saya sambil mengacungkan dua jempol. Ia tersipu-sipu kemudian ngelendot.

Sampai di rumah kami pun ngumpul di meja makan. Karena saat itu masjid hanya menyediakan takjil saja. Buka puasa ronde kedua pun kami lakukan di rumah.
Kata Adek,” Aku besok mau puasa sampai Maghrib.”
“Bener?”
“Iya, beneran.”
“Nggak ada nangis lagi di masjid ya?”
“Enggak wis.”
“Janji?”
“Iya, janji.”

Dan ia pun menepati janjinya.

Cerita awal puasa anak-anak selalu mengesankan bagi orang tuanya. Bahkan sampai mereka dewasa. Kenangan-kenangan itu selalu melekat di benak orang tua.


Ramadhan 1435H

Ramadhan di bulan Juni 2014. Itu adalah Ramadhan terakhir bersama Ibuk. Ramadhan yang indah. Ibuk meninggalkan berbagai kenangan yang sampai saat ini tak bisa saya lupa. Saat itu Ramadhan berbarengan dengan liburan anak-anak sekolah. Saat itu jatah keluarga kami berlebaran di Semarang. Anak-anak pun berangkat ke Semarang duluan. Saya bakal nyusul pas adik-adik saya sudah mudik. Setidaknya Ibuk tidak sendirian di rumah.

Seminggu penuh. Kami berdua di rumah. tanpa direcokin dramanya anak-anak. Mulai bangun tidur, sahur bareng hanya nyeplok telur. Berangkat ke masjid berboncengan pelan-pelan. Setelah itu kami jalan pagi. Sambil bergandengan tangan bercerita tentang hal-hal remeh yang sering kali menerbitkan tawa. Berjalan pelan, bukan jogging. Benar-benar menikmati udara pagi dan persawahan yang masih hijau menghampar. Menghirup udara yang belum tercemar oleh karbon monoksida.

Sore hari sambil menunggu adzan Maghrib Ibuk selalu mengajak bepergian. Bukan ngabuburit akan tetapi silaturahmi ke bulik-bulik dan juga besan ibuk. Apabila di tengah jalan terdengar adzan Maghrib maka kami akan berhenti di sebuah rumah makan. Ibuk yang traktir.

Ramadhan terakhir, mungkin yang paling menyenangkan buat Ibuk. Lebih banyak tertawa daripada hari-hari biasa. Tatapan yang biasanya tajam menusuk pun berganti dengan tatapan yang penuh gemintang. Tanpa berpikir panjang Ibuk berbelanja untuk semua cucu-cucunya. Apalagi saat memaksa ingin membelikan Kakak yang sudah beranjak remaja. Sepasang baju bermerk yang tentu saja bunyi harganya. Beliau yang memilih baju buat Kakak. Sepasang baju yang juga sangat saya suka. Pilihan Ibuk saat itu benar-benar sehati dengan saya.

Ah ... mengingat hari itu ternyata masih membuat saya berkaca-kaca. Rindu saya untuk Ibuk memang tak pernah padam.


Ramadhan 1441H

Ramadhan di tahun 2020 ketika seluruh dunia mengalami wabah. Ya ... Covid yang melululantakkan dunia. Saat wabah belum ditemukan obatnya. Semua orang terpenjara dalam rumahnya sendiri.

Selalu ada hikmah dalam setiap musibah. Masjid-masjid tak mengadakan buka bersama. tak ada jamaah tarawih yang datang ke masjid. Semuanya di lakukan di rumah masing-masing. Bagi kami ini menjadi latihan buat Adek. Saat itu usianya masih 14 tahun untuk menjadi imam dalam keluarga kami. Karena ayahnya tak selalu ada di rumah. Ia pun harus memimpin seluruh shalat-shalat kami.

Ia harus mengaplikasikan hapalan surat di juz 28 atau 29 dalam shalatnya. Meski terkadang ada ayat yang terselip buat saya tak mengapa. Setidaknya sampai hari ini masih tersisa hapalan-hapalannya setelah bertahun-tahun lulus dari sekolahnya.


Ramadhan 1445H

Ramadhan yang saat ini kami jalani. Untuk pertama kali dalam 22 tahun pernikahan saya. Saya menjalani sahur bersama suami. Setelah 22 tahun sepanjang pernikahan kami LDR. Nvember 2023 suami memutuskan untuk menetap di Muntilan. Kakak sepupu menawari suami untuk mengelola foodcourt yang ia bangun. Memang masih tertatih. Namun kami berusaha untuk selalu memperbaiki.

Ada yang berbeda. Kami harus kembali beradaptasi. Seperti memulai awal rumah tangga. Kami menebus waktu-waktu yang berjalan cepat. Ujian akan selalu ada di setiap fase kehidupan. selesai satu masalah akan timbul masalah baru. Begitu terus. Karena kehidupan sendiri adalah tempat ujian bagi kita manusia. Tinggal cara manusia menyikapi setiap ujian yang datang bukan?

Kalau kalian gimana? Ramadhan mana yang paling berkesan dalam hidup?

Tidak ada komentar:

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih