Dibalik Cerita Bapak Naik Haji - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Senin, 29 Mei 2023

Dibalik Cerita Bapak Naik Haji

Naik haji bagi yang mampu


Tahun 1998. Saat naik haji tak perlu ada waktu tunggu. Karena merasa lebih sulit mendaftar lewat Kabupaten Magelang. Bapak pun naik haji via KBIH Multazam Jogja. Saat itu belum banyak bimbingan haji seperti sekarang. Keinginan Bapak saat itu berhaji dengan Ibuk. Ongkos Naik Haji beserta uang saku sudah disiapkan.

Sebelum Bapak Naik Haji

“Ir, kalau Bapak naik haji sama Ibuk gimana?”
“Ya nggak papa to wong Bapak jadi ada temennya, nggak cuma sama Bude aja.”

Begitu percakapan saya dan Bapak waktu itu. Pertanyaan itu dilempar ke Dik Nisa yang saat itu masih klas II SMA. Jawabannya pun kurang lebih sama. Dik Nisa pun tak berkeberatan. Apalagi ada saya yang sudah lulus DIII saat itu. Jadi bisa menemani dan mengurusi adik-adik di rumah. Satu langkah lagi, Ibuk akan mendaftar haji bersama Bapak.

Saya ingat betul waktu itu. Ibuk, saya dan Dik Rahma ada di meja makan. Si bungsu ini masih klas II SMP. Anak ragil yang masih mbok-mboken. Yang manjanya nggak ketulungan. Dikit-dikit ngerengek, bikin kesel.

Selesai makan siang, kami masih ngobrol di meja makan. Lalu pelan-pelan Ibuk bertanya pada Dik Rahma.

“Ma, kalau Ibuk tindak haji sama Bapak gimana?”
Senyum Dik Rahma spontan hilang. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Boleh nggak?”
Dik Rahma memeluk Ibuk. Tangis yang tadi tertahan ia lepaskan. Ibuk hanya tersenyum sambil menatap saya. Agak lama ia tersedu di pelukan ibuk. Saat sudah tenang saya ikut angkat bicara.
“Nggak papa to Dik? Wong Mbak Ifa ya di rumah kok.”
Dia yang sebenarnya sudah mulai tenang mewek lagi. Kepalanya menggeleng tanda tak setuju.
“Kenapa to, Ma?”
“Mbok naik hajinya satu-satu dulu. Jangan barengan.”
“Emangnya kalau barengan kenapa?”
Dia mewek lagi. Ngeselin.

“Lha kalau nanti ada kejadian di sana trus meninggal semua gimana?”
Saya dan Ibuk ketawa bareng. Memang beberapa tahun sebelumnya ada Tragedi Mina dimana banyak orang yang meninggal karena berdesakan dan terinjak di sana.
“Hidup dan mati itu yang punya Allah, Ma. Jangan mikir kejauhan.”
“Pokoknya aku nggak mau kalau Ibuk naik haji bareng Bapak. Tahun depan aja gantian.”

Karena Dik Rahma benar-benar nggak mau ditinggal. Akhirnya Bapak mendaftar haji hanya bareng dengan Bude Fathonah, kakak perempuan Bapak. Sementara itu ONH yang sudah disediakan dibelikan mobil dagangan. Saat itu Bapak memang lagi belajar jual beli mobil. Pemikiran Bapak saat itu, tahun depannya Ibuk yang naik haji. Biayanya ya mobil itu dijual lagi. Beberapa bulan setelah pendaftaran, Bapak pun berangkat haji.

Cerita Setelah Bapak Kondur Haji

Pulang haji, sekitar 15 hari di rumah. Mobil yang dibeli Bapak dengan uang yang rencananya dijadikan ONH Ibuk disewa orang. Yang melepaskan kunci adalah supir bapak. Nggak tahunya mobil itu dilarikan orang.

Bapak pun berusaha melacak mobil yang dilarikan orang. Wira wiri nggak kenal capek. Seminggu pencarian belum menampakkan hasil. Bahkan polisi yang dimintai tolong pun ngemplang Bapak, minta uang melulu hasilnya nggak ada.

Ujian keluarga kami belum selesai. Adik Ibuk yang ada di Tegal terkena stroke. Mau tak mau Bapak yang baru saja pulang dari Surabaya hanya beristirahat sejenak lalu berangkat lagi ke Tegal. Setelah itu kondisi Bapak tak fit sampai beberapa hari. Lantas ketika periksa, ternyata Bapak terkena hepatitis.

Mulai hari itu. Sampai setahun kemudian. Total Bapak keluar masuk rumah sakit sampai enam kali. Mulai Bulan Juni 1998 sampai Juni 1999. Sempat Bapak masuk kerja selama tiga minggu, namun tak lama kemudian masuk rumah sakit lagi.

21 Juni 1999 Bapak meninggal. Ditunggui oleh kami istri dan anak-anaknya. Aku menalqin di telinga kiri, Ibuk menalqin di telinga kanan. Saudara dan kerabat menunggu di luar ruangan. Bapak pergi dalam pelukan Ibuk.

Yang tak pernah terbayang sampai sekarang. Hal ini membekas di lubuk hati Dik Rahma. Penyesalan tanpa henti selalu keluar dari mulutnya.

“Kalau aku ngebolehin Ibuk naik haji, Bapak mungkin masih sehat.”

Selalu kata-kata itu diulang meskipun kami juga selalu mengatakan bahwa Bapak sedo karena memang takdir Allah menentukan umur Bapak hanya sampai batas 57 tahun. Begitu lama luka batinnya ia bawa.

Ibuk sendiri naik haji pada tahun 2008. Saat itu alhamdulillah pulang dalam keadaan sehat meskipun sebenarnya Ibuk masuk kategori pasien resiko tinggi karena pernah terkena stroke di tahun 2004. Dan Ibuk menyusul Bapak di tahun 2014.

Bapak pergi sudah 24 tahun. Lebaran lalu kami kembali bercerita tentang hal itu. Dik Rahma masih meneteskan air mata. Meskipun ia bilang bahwa ia sudah baik-baik saja. Sudah menerima takdir Allah jika ia mendapatkan kesempatan bersama Bapak hanya sampai usia 15 tahun.

Semoga Bapak dan Ibuk mendapatkan tempat yang paling indah di sisi Allah. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih