Ngefans di usia matang, yay or nay? - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Kamis, 28 Januari 2021

Ngefans di usia matang, yay or nay?



Assalamualaikum temans,

Pasca operasi tumor payudara, saya mengalami banyak hal yang saya sendiri masih kebingungan sendiri mencari jawaban. Saya kehilangan banyak hal di diri saya. Kehilangan terbesar yang saya rasakan adalah kehilangan kepercayaan diri dan semangat. Saya belum menemukan jawaban atas semua itu. 

Saya sudah merasa lelah dengan kondisi saat ini. Pandemi yang tak kunjung mereda. Situasi perekonomian yang tak makin membaik. Berbagai macam pikiran berkelindan di kepala. 

Menulis, satu hal yang sebelumnya sangat saya sukai pun saya tinggalkan. Bermula dari dua laptop yang dipakai anak-anak untuk sekolah online. Saat anak-anak sudah selesai melakukan pembelajaran, saya sudah merasa lelah dan malas untuk menyalakan laptop kembali. Benar-benar satu hal yang tak produktif. Pada akhirnya saya menghibur diri dengan bermain sosial media. 


Sebelumnya saya sering menertawakan mereka yang bermain sosial media tanpa batas. Hidup hanya untuk scrolling instagram, nonton youtube mulai dari yang sangat berfaedah sampai hal-hal terreceh, atau joget-joget tiktok nggak inget umur. 

Ternyata saya pun membuang waktu di tempat yang sama. Seperti emak-emak lain, saya bergembira ria menonton tayangan pasangan artis yang dijodohkan oleh netizen. Hampir setiap hari di berbagai sosial media saya mengikuti mereka. Dari pagi sampai malam. Ngeuwuin kelakuan mereka. Meski nggak sampai ikut menulis komentar. Hanya membaca dan menyimak saja. Saya sadar diri, sudah nggak masanya ikut serta dalam keriuhan tersebut. 

Anak-anak pun protes. Pasangan viral itu sering saya masukkan dalam obrolan dengan anak-anak. Iya sih, saya tuh biasanya kalau ngobrol dengan anak-anak ya sesuatu yang relate dengan mereka. Lha ini kok bisa berbeda banget. Meski begitu tetap tak mengubah saya.

Namun lambat laun ada sesuatu yang mengusik pikiran saya. Sering membaca postingan dan komentar dari fanbase pasangan tersebut kok membuat saya seperti pelan-pelan terbangun dari tidur. 

Mereka penggemar fanatik yang tak terima saat idolanya dikritik atau diberi saran. Menutupi kesalahan idola mereka dengan melempar kesalahan pada idola lain. Membandingkan. Dan bar bar. Bahkan ada semacam polisi yang mencari akun haters lalu mengajak anggota fanbase untuk mereport akun yang dianggap merugikan. 

Saya pun kepo, kemudian membuka beberapa akun anggota fanbase tersebut. Banyak juga yang seumuran saya berperilaku seperti bocah. Ikut menghujat orang lain yang tak sependapat. Membela idola sampai seperti pasukan berani mati. Ada apa ini? Mengapa emak-emak seumuran saya bisa berperilaku seperti itu? 

Bisa jadi, mereka mencari kebahagiaan. Banyak orang di usia saya adalah manusia-manusia yang kurang terpenuhi afeksinya. Sudah tak lagi mendapatkan pemujaan dari pasangan. Dalam kepalanya sudah penuh oleh tanggung jawab akan keluarga. Urusan suami, anak, rumah, urusan sosial, lingkungan, ataupun pekerjaan. Banyak di antara mereka kemudian lelah dan mencari kebahagiaan semu di sosial media. 

Pada akhirnya, mereka menggantungkan kebahagiaan kepada sang idola. Idola yang selalu tersorot kamera menjadi sosok sempurna yang bisa mewujudkan kebahagiaan. 

Nggak ada yang salah ketika seumuran saya memiliki idola. Saya yakin, semua orang memiliki idola di umur yang tak lagi remaja. Bahkan salah satu teman saya mbak Siti Maryamah pun viral saat Reza Rahardian membaca suratnya dengan mata yang berkaca-kaca. 

Hanya saja sebagai orang yang sudah berumur dan menjadi orang tua. Rasanya pantas sekali jika kita mampu menempatkan diri. Sewajarnya dalam bersikap ketika menjadi seorang fans. Jangan salah. Anak-anak, apalagi yang sudah menjelang dewasa pun memantau kita dalam bersosial media.


Tak ada salahnya bagi kita untuk lebih menahan dan menjaga diri dalam bersosial media.

2 komentar:

  1. Terima kasih tulisannya ... saya juga ngefans dengan beberapa figur setelah usia matang hehehe

    BalasHapus
  2. Benar kata orang yg mengingatkan, "Eling umur..." Karena umur ini berbatas sedangkan nafsu atau hasrat sebaliknya. Karena itu benar jika kita jadikan dasar pijakan dalam menentukan yg patut dan tidak patut.

    Salam kenal, ya, mbak. Maaf, kalau sudah tidak sopan. Asal komen padahal belum berkenalan.

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih