Menghindarkan anak menjadi korban atau pelaku pelecehan seksual - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Senin, 14 Desember 2020

Menghindarkan anak menjadi korban atau pelaku pelecehan seksual



Assalamualaikum temans,

Dulu, ketika saya membaca berita tentang pelecehan seksual hati saya begitu mendidih. Sering kali merasa geregetan mengapa si korban tak berani melaporkan tentang peristiwa buruk yang menimpanya. Namun saat saya sendiri mengalaminya, saya baru memahami. Betapa rasa sakit di hati itu tak terkatakan. Jangankan melapor, mengingat saja sudah cukup membuat tubuh bergetar karena marah dan sakit hati. Bahkan hal-hal traumatis seperti itu bisa sekali membuat mental terganggu.

Dua kali saya mendapatkan kejadian buruk. Verbal dan fisik. Meski kejadian itu menimpa saya berpuluh tahun yang lalu. Namun ada rasa sakit yang sampai sekarang belum pulih secara sempurna. Merasa lebih baik tak mengingat apalagi membincangkannya. Perlu waktu yang lama untuk berani berbagi cerita. Karena saya butuh menata hati. Supaya lebih siap dalam menerima dan berdamai dengan luka yang lama tersimpan.

Saat itu saya masih kuliah. Pulang dari kampus sekitar pukul 20.30 karena ada mata kuliah yang saya ambil waktu belajarnya setelah maghrib. Sebenarnya jarak dari kampus menuju rumah kakak saya tidak jauh. Bahkan termasuk jalur ramai. Namun ada titik tertentu merupakan area pemakaman terbesar di Semarang dengan penerangan yang kurang sehingga terlihat remang-remang.

Saya mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Sampai lepas lampu merah tiba-tiba ada tiga sepeda motor memepet saya. Satu di depan, satu di samping, satu lagi di belakang. Yang berada di samping berboncengan. Mereka memandangi saya dari atas ke bawah. Dengan pandangan yang menjijikkan. Alarm di hati berbunyi. Jantung saya tak karuan. Mau menggebah motor saya pun tak bisa. Khawatir jika saya nekad motor yang saya kendarai malah jatuh. Pasti hal yang lebih buruk akan terjadi. 

"Ayo, Mbak, ikut kami. Nanti enak-enak lho," kata pembonceng motor di sebelah saya. 

Saya berusah mencari celah untuk melepaskan diri. Namun mereka rupanya lebih tahu. Mereka lebih merapat lagi sehingga tak ada jalan untuk pergi. Yang saya usahakan saat itu bagaimana motor masib tetap stabil sambil berpikir apa yang harus saya lakukan. 

"Ayo to mbak, nggak usah jual mahal gitu." 

Saya tak merespon. Bertahan mengendarai motor dengan pelan supaya tak oleng butuh perjuangan. Mau berteriak takut kalau yang di belakang saya bertindak nekad. Mata saya berusaha memotret situasi di sekeliling sambil tetap berpikir jernih. 

"Mau berapa to Mbak? Nanti tak bayar kok."

Mendengar kalimat itu spontan saya menengok ke arah suara. Darah saya mendidih. Saya tak terima. Mereka masih cengar cengir memandangi saya dengan gestur yang memuakkan. 

Ini sudah mendekati perempatan. Jalan yang saya ambil lurus ke depan. Tiga motor ini masih saja sangat dekat dengan motor saya. Saya pun pura-pura menyalakan lampu sein motor ke kanan. Tiga motor itu melakukan hal yang sama. Ini adalah kesempatan dalam hitungan detik. Meski khawatir jika tindakan saya membahayakan bagi motor lain. 

Saya melihat celah. Ketika mereka lengah, saya pun mengubah lampu sein kemudian mengambil jalan lurus lalu masuk ke perumahan. Saya pun bernapas lega. Namun sakit hati dan marah masih tertanam di hati. Hanya bisa menangis saat itu. Saya ditawar orang di jalan. Padahal saya sudah memakai pakaian yang menutup aurat. Apakah ada yang salah dengan pakaian saya? Saat itu saya memakai celana jins, hem lengan panjang, jilbab yang menutup kepala dan tas ransel di punggung saya. Mengapa pakaian tertutup masih membuat orang lain berpikiran nakal tentang saya?

Hari-hari selanjutnya saya meminta suami yang statusnya saat itu masih seorang sahabat untuk mengawal saya pulang. Paling nggak berada di belakang saya sampai perempatan menuju perumahan. Rasa takut itu tak juga hilang. Meski sakit hati perlahan-lahan menipis. 


Setahun berikutnya.

Saat itu euforia politik sedang terjadi. Kebebasan berpolitik yang diinginkan oleh banyak pihak terbuka lebar. Sebuah partai yang dulunya ditekan oleh pemerintah mendapatkan simpatisan yang cukup besar. Apalagi di Semarang. 

Konvoi di jalan dengan memenuhi jalur. Tak menyisakan sedikit pun bagi orang-orang yang berlawanan arah. Pun di saat itu masyarakat tak pernah tahu akan ada arak-arakan dari arah mana karena belum ada media sosial sebagai sarana informasi. Tahu-tahu sudah terjebak saja di satu ruas jalanan.

Itu yang saya alami. Sepulang menemani sahabat saya yang baru saja di wisuda. Tahu-tahu sebuah partai telah memenuhi jalan. Saya yang bersimpangan arah pun minggir. Bahkan sampai naik ke trotoar. Takut aja kalau dimaki-maki karena tidak mau minggir.

Yang tak pernah saya duga. Beberapa laki-laki cepat sekali berlari ke arah saya. Lantas meremas salah satu bagian tubuh saya.

Saya menjerit. Tapi jeritan itu tak ada apa-apanya dibanding raungan motor dan teriakan mereka. Seketika itu air mata jatuh tanpa bisa saya tahan. Perjalanan pulang saya lalui dengan tubuh gemetar. Air mata terus berderai hari itu. 

Yang saya rasakan saat itu adalah perasaan terhina dan kotor. Belum pernah sekalipun ada laki-laki yang menyentuh kulit saya. Rasanya tak ada artinya lagi saya menutup seluruh aurat saya. 

Apa salah saya? Saya sudah menutup tubuh dengan pakaian longgar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Masih saja tak bisa menghalangi pikiran mesum mereka. 

Saat itu saya sempat membenci diri sendiri. Benci karena tak bisa melindungi diri sendiri. Kecewa karena tak bisa berkata apa-apa. Setiap kali teringat selalu saja gemetaran dan merasa nista karena sudah terjamah laki-laki. Sering tiba-tiba merasa sesak napas dan sulit menangis. 

Cukup lama saya merasakan ketakutan terhadap mereka yang berombongan di jalan. Sampai berpuluh tahun berlalu pun saya masih merasakan trauma.Lebih baik sama sekali tidak melihat, walaupun di media sekalipun. 

Yang saya rasakan itu hanya bagian yang sangat kecil dibandingkan dengan pelecehan seksual yang makin sering terjadi. Di kampung saya seorang anak TK mendapatkan pelecehan seksual dari seorang kakek yang belum beristri. Seorang teman di masa remajanya juga hampir mengalami perkosaan dari guru ekstrakurikulernya. Dan keponakan saya diajak melakukan hubungan kelamin sesama jenis oleh teman bermainnya. Untung saja dia menolak. Saya tak bisa membayangkan jika keponakan saya melakukan itu hanya karena takut kehilangan teman.

Siapapun bisa saja menjadi korban maupun pelaku pelecehan seksual. Tua, muda, atau bahkan anak-anak. Apapun jenis kelaminnya. 

Sebagai orang tua ya wajar kan kalau saya, anda, siapapun saat mendengat berita tentang pelecehan seksual yang saat ini marak terjadi?


Menghindarkan anak dari perilaku pelecehan


Tak memungkiri, pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja. Tak terkecuali institusi yang seharusnya merupakan tempat ternyaman untuk setiap manusia. Tak sedikit pelecehan seksual terjadi di sekolah bahkan di rumah. Pelaku dan korban saling mengenal, bahkan bisa jadi berhubungan darah. 

Ketakutan bahwa hal itu bisa menimpa anak kita membuat para orang tua harus semakin hati-hati. Apalagi pelecehan seksual itu bisa juga terjadi melalui dunia maya. Teknologi informasi yang mengguyur kita hari ini bisa menjadi tempat yang menyeramkan bagi sebagian anak-anak kita.

Sebagai orang tua kita hanya bisa membekali anak-anak kita. Bagaimana menghindarkan mereka dari menjadi korban ataupun pelaku pelecehan seksual. Apa saja yang bisa kita berikan pada anak-anak kita?

Hal paling dasar untuk bekal anak kita adalah teladan dari orang tua. Komunikasi yang nyaman antara anak dan orang tua adalah hal prinsip sebagai dasar keterbukaan dalam keluarga. Keteladanan timbul dari komunikasi yang baik dalam keluarga. 

Ada hal-hal sederhana namun penting bisa kita berikan pada anak-anak kita. Bagaimana hal sederhana ini bisa menghindarkan mereka menjadi korban dari pelecehan seksual.


Memberikan edukasi seksual pada anak sejak dini.

Sudah banyak sekali artikel pembahasan tentang memberikan edukasi seksual pada anak-anak. Ya ... Edukasi seksual bukan secara vulgar memberikan informasi tentang hubungan seksual. Namun memberikan pemahaman pada anak dalam mengenali tubuhnya sendiri. 

a. Ini tubuhku.
Kita berikan pemahaman pada anak bahwa tubuhnya tidak sembarangan disentuh. Jika orang lain hendak menyentuh, maka harus meminta izin pada si anak. Orang lain tidak boleh sembarangan menyentuh tubuh si anak meskipun orang terdekat sekalipun.
Beritahukan pada anak tentang fungsi tubuh yang ditutupi pakaian dalam. Ajarkanlah anak mengatakan tidak dan menolak apabila ada orang lain yang hendak menyentuhnya.

b. Merasakan sentuhan baik dan sentuhan buruk.
Anak-anak biasanya senang mendapatkan sentuhan fisik dari orang lain. Sentuhan baik adalah kontak fisik yang tak membahayakan. Sementara sentuhan buruk adalah sentuhan pada tempat yang tak semestinya, misalnya dada ataupun alat kelamin. Tempat-tempat itu terlarang untuk disentuh. 

c. Rahasia yang buruk
Terkadang anak suka sekali diajak main rahasia-rahasiaan. Namun beritahukan pada anak jika ada rahasia yang membuat sakit, sedih, atau marah itu adalah rahasia buruk yang harus segera diberitahukan pada orang tua.

d. Mencari perlindungan
Beritahukan anak bahwa orang tua atau guru bisa menjadi perlindungan untuk mereka dari hal-hal yang buruk. 

e. Bekali anak dengan pengetahuan seksual sesuai umurnya. 
Saat ini banyak anak yang sudah mulai mendapatkan menstruasi di usia 10 tahun. Saat usia di bawah itu anak sudah harus mendapatkan pengetahuan tentang reproduksi secara sederhana. 

f. Bekali anak dengan kemampuan beladiri. 
Kemampuan beladiri bukan berarti harus bisa melakukan gerakan karate ataupun pencak silat. Kemampuan beladiri secara verbal atau merasakan insting jika ada orang yang berniat buruk segera menjauhi. Keduanya bisa dilatih dan diajarkan pada anak.


Orang tua mendampingi anak dalam kegiatan sehari-hari

Memang tak bisa selama 24 jam anak-anak berada dalam pengawasan orang tua. Namun pendampingan tak hanya secara fisik. Ada quality time orang tua dan anak dalam membangun komunikasi. Pengawasan paling efektif dari orang tua terhadap anak adalah komunikasi yang intensif. Komunikasi dua arah yang memberikan ruang pada kedua belah pihak untuk melakukan bargaining position. Selalu ada win win solution untuk mengatasi segala permasalahan. 


O ya, jangan sampai kita berfokus pada menghindarkan anak sebagai korban saja. Anak kita pun punya potensi menjadi pelaku. 

Banyak terjadi mereka yang menjadi pelaku adalah korban sebelumnya. Untuk memutus mata rantainya ada beberapa hal yang harus kita berikan pada anak-anak kita.

a. Ajak anak untuk mengenali dan melatih emosi dalam diri mereka.
Anak diajak untuk merasakan rasa senang, sedih, kecewa, marah, ataupun malu. Ajak pula anak mengenali rasa bangga dan bersalah setiap kali ia melakukan sesuatu yang buruk. Meski begitu ajarkan pula mereka untuk memaafkan dan berusaha untuk tak mengulanginya kembali. 

b. Ajarkan berempati pada orang lain.
Pelaku pelecehan seksual biasanya tak memiliki empati pada orang lain. Yang ia pikirkan adalah dirinya sendiri. Melatih anak untuk berempati pada orang lain dimulai dari mencari bahan bacaan yang terkait dengan sikap terpuji dan mengajak berbicara dari hati ke hati.


c. Ajarkan pada anak laki-laki untuk selalu menghormati kaum perempuan
Salah satu cara mengajarkan perilaku ini adalah memberikan pandangan positif mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan adalah sama. Yang membedakan hanyalah ibadah dan akhlaknya. 


Keteladanan orang tua menjadi kunci. 

Sebaik apapun yang kita ajarkan pada anak, namun kita tak memberikan role model yang baik tetap saja itu hanya akan berlalu tanpa pernah menetap dalam pikiran dan hati anak-anak kita. Untuk itu orang tua harus selalu memberikan contoh pada anak meskipun tak mungkin bisa sempurna. 


Bekali anak-anak kita dengan agama.

Ilmu tanpa agama akan buta. Agama tanpa pengetahuan akan lumpuh. Keduanya saling bersinergi dalam membangun pondasi akhlak anak-anak supaya menjadi anak yang cerdas dan berkarakter. 

Pelecehan seksual bukan perkara baju terbuka atau nafsu yang tak bisa dicegah. Semuanya terkait dengan pembangunan jiwa anak-anak kita. Memang tak mudah di tengah gempuran teknologi informasi dimana semuanya terpampang nyata di depan mata. Mereka adalah kita di masa yang akan datang. Jangan sampai salah menerapkan pola asuh pada mereka, ara generasi milenial. 






14 komentar:

  1. Ngeri banget kalo liat kasus2 pelecehan seksual yang dialami anak-anak belakangan ini. Karena itulah, aku berusaha membekali anak2ku dengan pesan2 agar bisa menjaga diri. Mungkin nanti aku bekali juga dengan ilmu bela diri biar bisa membela diri ketika mengalami hal itu. Semoga Allah melindungi anak-anak kita ya mbaa

    BalasHapus
  2. Ternyata pasang sein ke kanan tapi belok kiri atau lurus itu bisa jadi strategi perempuan buat mengecoh dan menyelamatkan diri, ya. Semoga kita semua tetap dalam lindungan-Nya.

    BalasHapus
  3. Turut prihatin kak karena pernah juga mengalami pelecehan seksual, mungkin banyak juga korban lain tapi tidak bisa mengungkapkan pengalaman buruk itu dan akhirnya menjadi trauma,semoga tulisan kakak bisa membuat orang orang lebih aware tentang masalah ini dan kemudian berhati hatidan selalu waspada

    BalasHapus
  4. Ya Allah mba..aku membacanya saja rasanya tak karuan, apalagi mba yg mengalami langsung. Semoga anak2 kita terhindar dari menjadi korban ataupun pelaku pelecehan begini. Aamiin..

    BalasHapus
  5. Aku pernah ketemu pelaku kekerasan seksual Mbak seorang Exhibist serem juga soalnya pas di jalan spi di tengan hutan perjalanan pulang ke rumah ortu..langsung tancap gas motor sekenceng-kencengnya

    BalasHapus
  6. Ya Allah Mba Irfa. Turut prihatin dan gregetan dengan kejadian masa lalu yang pernah Mbak Irfa alami. Mendidik anak zaman sekarang memang tantangannya WOW banget ya Mbak. Semoga Allah selalu memberikan kita kekuatan untuk mampu mengemban amanah sbg ortu dg sebaik-baiknya. Semoga Allah selalu melindungi keluarga kita.

    BalasHapus
  7. Peluk jauh mbak Irfa.
    Sebagai sesama penyintas sex abuse, aku membaca bagian-bagian teratas sambil menahan nafas dan gelisah.
    Happy that you already move on, and even share something positive about the sex education for kids.

    BalasHapus
  8. Duh aku baca ini kok jadi ikutan marah ya. Mungkin karena pas baca juga suasana hati lagi kurang baik.
    Tapi mbak Irfa sendiri sudah berhasil mengatasi masalah pelecehan seksual ini kan ya? Semoga pengalaman mbak berhenti di mbak dan nggak ada korban dan pelaku lain ya.
    Terima kasih sudah berbagi.

    BalasHapus
  9. Dulu aku di ikuti hampir 1 minggu mbak ama orang gak di kenal, kayak orang Papua. Itu aku udah takut banget. Apa lagi ini dipepet 3 orang pasti ngeri banget rasanya

    BalasHapus
  10. Jadi korban pelecehan seksual itu memang bikin trauma dan pastinya nggak mudah buat speak up. Salut sama orang2 yang berani buat speak up ketika mengalami pelecehan seksual.

    BalasHapus
  11. Mbak, ini cerita temanku KKN, dulu juga hampir sama dapat perlakuan seperti Mbak Irfa. Kasihan. Dan itu yang melakukan adalah pemuda desa yang kami tempati. Untungnya, Pak Cariknya baik hati langsung deh diusut.

    Terus, pas aku mau pulang ke rumah, slelau dianter tuh sama temen2 KKN yang cowok. Dipastikan sampai rumah dengan selamat. Semua yang perempuan dianter.

    BalasHapus
  12. geram aku mba Irfa, sekaan ingat diri sendiri dulu jaman SD pernah dipegang sama anak laki-laki yang di atasku bencinya sampai sekarang. jijik gitu lho. Semoga anak-anak kita terhindar dari perilaku buruk itu ya mba.

    BalasHapus
  13. Trauma akibat pelecehan seksual ini gak bisa dibatasi waktu, sekalipun sudah puluhan tahun tetap bisa teringat. Semoga tidak ada lagi korban, dan semoga kita bisa melindungi orang-orang yang kita sayangi dari berbagai keburukan

    BalasHapus
  14. Ngeri ya mBak. Saya merasa beruntung selama ini nggak pernah menemukan hal yang aneh. Dan semoga nggak pernah bertemu sama sekali.

    Pelecehan memang harus diusahakan untuk nggak menimpa anak-anak.

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih