Perpisahan yang Indah Antara Ibu dan Anak - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Minggu, 20 Oktober 2019

Perpisahan yang Indah Antara Ibu dan Anak


Assalamualaikum temans,

Berulang kali saya menyaksikan perempuan adalah mahluk terkuat di bumi. Tak hanya kekuatan fisik yang dimiliki, namun juga kekuatan hati. Betapa tubuh yang sepertinya terlihat ringkih, lemah dan halus, memiliki tenaga yang berlipat saat dihadapkan pada satu situasi. Dari hati yang sering merapuh tersimpan ketangguhan emosi saat menghadapi berbagai persoalan.

Sepuluh hari yang lalu.
Saya menyaksikan seorang ibu dengan hati bajanya mendampingi sang putri. Mendampingi putrinya melakukan sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan yang satu hari nanti akan dialami oleh orang lain. Menuju ke haribaan-Nya. 

Sang putri setahun ini dianugerahi Allah. Sebuah penyakit, Insya Allah menggugurkan segala dosa-dosanya. Kanker kelenjar getah bening. Segala macam pengobatan sudah dilakukan. Terakhir kali, dua minggu sebelumnya radiasi pun tak memberikan efek apapun setelah kemoterapi tak membuat sel kankernya menurun. Dokter sudah menyatakan bahwa pengobatan sudah terminal. Selesai. Keluarga pun boleh membawa pulang sang putri.

Yaya, nama gadis itu. Ia adalah teman masa kecil si Kakak. Dari TK dan SD mereka bermain bersama. Gadis cantik, mungil dan cerdas. Gadis yang memiliki kemauan belajar yang tinggi. Ia pun sering mewakili sekolah untuk bidang di luar akademik. Ia anak yang berbakat. Sejak klas 10, ia terdiagnosa mengidap kanker kelenjar getah bening. Banyak rumor yang bertebaran mengenai stadium kankernya hingga batas umur perkiraan dokter. Saya tak mau mempercayai. Sampai Mbak Iin, ibu Yaya mengabari saya. 

Begitu tahu kondisi Yaya, si Kakak langsung ingin menjenguk. Namun Mbak Iin meminta saya untuk mendoakan dari rumah. Setiap kali ada yang menjenguk, kondisinya lantas drop. Yaya tak menginginkan dikasihani. Ia tak mau mendapatkan rasa simpati yang terlalu besar. Ia ingin dianggap seperti anak-anak yang lain. Saya pun melakukan apa yang Mbak Iin katakan. Saya tak ingin membebani hati anak usia 16 tahun dengan keinginan saya menunjukkan rasa empati.

Saya sudah sering memberi informasi kepada siapapun yang ingin menjenguk. Sayangnya, tak semuanya menyepakati saya. Ada yang memaksa datang menjenguk. Sangat disayangkan memang. Namun saya tak bisa melakukan apa-apa. Saya sudah berusaha.

Informasi tentang Yaya saya selalu saya dapatkan dari Mbak Iin ibunya. Bagaimana proses kemoterapi yang seharusnya 16 kali ternyata hanya dilakukan sebanyak 8 kali karena kondisi tubuh Yaya yang semakin tak memungkinkan untuk menerima pengobatan tersebut. Lantas radiasi tetap tak mampu membuat sel kankernya berubah jumlahnya. Bahkan kondisinya diperburuk oleh jantung yang membengkak.

Sampai di kondisi itu, Kakak selalu memaksa ingin menjenguk. Namun saya tetap tak mengijinkan. Yaya tak menginginkan ditengok apalagi dengan kondisi bengkak di tubuhnya. Saya bisa memahami. Remaja, dalam kondisi apapun pasti menginginkan terlihat dalam kondisi terbaiknya. 

Menghormati keputusan menjadi ketetapan hati saya. Mendoakan di penghujung shalat menjadi doa terbaik. Selalu mengajak Kakak untuk mendoakan. Berempati dalam diam. Itu adalah sikap terbaik yang saya lakukan. Informasi terakhir yang saya dapatkan dari mbak Iin adalah kondisi Yaya tak bisa berkomunikasi dengan baik. Doa-doa pun terlantun. Menata hati untuk segala kemungkinan. 

Sabtu 12 Oktober 2019. Hari itu berbagai berita sedih datang silih berganti. Di mulai dari teman SMA saya yang berpulang karena gagal ginjal. Lantas salah satu sahabat semasa SMP dan SMA saya terkena kanker, dan sudah metastase ke ginjal dan liver. Air mata tertumpah saat mendapatkan foto terakhir sahabat saya tersebut. Namun saya tetap optimis. Hanya Allah yang menyembuhkan. Allah yang menyediakan obatnya. 

Sore itu, saat saya berada dalam rapat organisasi keagamaan. Saya dikabari Yaya dalam kondisi kritis. Tanpa pertimbangan apapun, saya langsung pergi ke rumah Yaya bersama Kakak. Tangan Yaya sudah disedekapkan di dada. Lantunan kalimat tauhid sudah disuarakan di telinga Yaya. 

Mbak Iin, ibunda Yaya begitu kuat mendampingi. Meski dengan pipi yang sekali-kali membasah. Tatap matanya terpaku di wajah Yaya. Begitu juga Yaya. Mata mereka saling menatap. Memberi kesempatan untuk mengukir wajah. Memahat ingatan. Sebuah proses perpisahan yang indah namun membirukan hati.

Tatapan yang tak lepas. Namun jika bukan ibunya, tatap mata Yaya akan lurus ke depan. Jika ia mendengar suara ibunya, matanya akan mencari. Saat menemukan wajah ibunya. matanya seakan terpatri. 

Wajah Kakak sudah basah oleh air mata. Saya pun memintanya untuk mengaji. Mengaji surah apapun, bukan ayat-ayat tertentu. Bukan untuk mempercepat proses sakaratul mautnya karena semua detik adalah ketentuan Allah. Saya memintanya mengaji karena di kondisi seperti itu siapapun butuh ketenangan. 

Napas mulai melemah. Lantunan ayat Allah dan kalimat syahadat tak terputus. Adzan maghrib berkumandang sehingga beberapa kerabat yang menunggu pun ijin untuk bersujud senja itu. Kakak saya minta segera shalat kemudian kembali ke kamar untuk mengaji. Mbak Iin pun turun dari tempat tidur untuk bersujud. Tinggal saya, budenya Yaya dan Anya di kamar itu. 

Budenya melantunkan kalimat syahadat di telinga kanan. Saya membisikkan di telinga kiri. Sayup-sayup suara Kakak mengaji diselingi isaknya. Air mata meleleh di pipi Yaya. Lantas sekali ia menarik napas, kemudian suara itu tak terdengar lagi. 
Yaya sudah pulang. Pada sang pencipta. 

Mbak Iin yang baru mengambil air wudhu pun masuk ke kamar dengan wajah bingung. Air mata tak tertahan lagi. Saya memeluk untuk menguatkan. Lantas tubuhnya limbung dalam pelukan saya. Sejenak tak sadarkan diri. Saya membisikkan istighfar di telinganya. Saya tahu rasanya kehilangan. Sesiap apapun. Tulang-tulang rasanya tak mampu menopang tubuh.

Mungkin hanya lima atau sepuluh menit mbak Iin tak mampu mengangkat tubuh. Ia membuka mata, kemudian bangkit. Menatap Yaya penuh kasih. Mengusap dan mencium pipi Yaya sebentar. Kemudian ia keluar kamar, melakukan shalat Maghrib. Tak berapa lama, ia pun turut memandikan putri tercintanya. Tanpa air mata. Menerima tamu dengan wajah ikhlas. 

Yaya diantar dengan segenap cinta dari keluarga dan sahabat-sahabatnya. Sehari kemudian, hampir semua teman SD, SMP dan SMA datang ke rumah maupun makamnya. Ia dicintai banyak orang. Sampai akhir hayatnya.

Menuliskan kisah ini, mau tak mau hati saya pun sesak oleh rasa haru. Hanya doa dalam hati yang mampu saya ucapkan. Bahkan saat Sabtu kemarin Mbak Iin berkunjung ke rumah, sayalah yang mrebes mili. Bagaimana tidak? Yaya sudah berpamitan. Ia sudah meminta sang ibu untuk mengikhlaskan. Ia siap seandainya sewaktu-waktu Allah menghendaki. Masya Allah ... Begitu mengagumkan.

Kekuatan itu bukan berasal dari tubuh kekar. Namun berasal dari seseorang yang memiliki ketegaran. Ia yang selalu disebut ibu. 










13 komentar:

  1. Mbak... aku gasanggup baca hingga akhir huhuhu... butuh kekuatan juga untuk membaca hal2 yg kadang dekat banget di sekitar kita ya mbak. Inspiratif banget. Marai meleleh mbak irfa...

    BalasHapus
  2. MasyaAllah, nggak sanggup nyelesein mbaca tulisan mbak Irfa.
    Al Fatihah sebanyak yang diijabah Allah SWT, untuk Yaya dan mamanya.

    Aamiin ya Rabb.

    BalasHapus
  3. Innalillahi wa inna ilayhi raajiun. Semoga khusnul khatimah dan keluarganya dilimpahi kesabaran.
    Keputusan yang tepat untuk menghormati keinginan yang sakit untuk tak dijenguk.

    BalasHapus
  4. Innalillahi wa Inna ilaihi Raji'un, nangis bacanya, ya Allah semoga Yaya mendapat tempat terbaik dan mamanya mendapat kekuatan aamiin, peluuk..

    BalasHapus
  5. Innaa lillahi wa innaa ilaihi roojiuun. Smoga husnul khotimah. Semoga diberi ketabahan dan kesabaran

    BalasHapus
  6. Innalillahi wa inna ilaihirojiun. sedih bacanya, mak, semoga amak ibadah Yaya diterima Allah SWT. aamiin, dan memang seorang ibu punya kekuatan yang tidak terlihat ya mak

    BalasHapus
  7. Aku bacanya sambil nangis mbak... Aku pikir kehilangan suami adalah yang paling berat. Tapi lebih berat ketika ibu kehilangan buah hatinya. Semoga mereka kelak berkumpul lagi di Surga. Aamiin

    BalasHapus
  8. Ya Allah..semoga Yaya husnul khotimah dan ibunya kuat dan ikhlas. Mba, aku baca sambil nangis, ingat kehilangan kami -khususnya bagi ibu kami- ketika almh kakak pergi 3 th lalu..

    BalasHapus
  9. Innalilahi wa inna ilaihirajiun. Sempga Yaya khusnul khatimah ya mbak dan krluarga yg ditinggalkan ikhlas. Masyaallah ibunya kuat banget. Sejak papa didiagnosa kanker aja hati ini rasanya entahlah, semua pemgobatan udah dicoba semoga Allah kasih yg terbaik

    BalasHapus
  10. Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun, ikut nyesek bacanya mbak. Pantas lah tanggal 12 oktober itu mba Irfa gak muncul di grup WA. Rupanya sedang gundah hatimu, mbak. Yang paling berat adalah mengantarkan ananda ke haribaanNYA, sungguh tegar temanmu mbak.

    Urusan bezuk orang sakit, aku dapat saran dari dokter. Katanya kalo pasien dan keluarganya meminta untuk didoakan saja, kita wajib menghormati. Jadi sikap mba Irfa udah bener. Kayak suamiku dulu, sempat down lagi begitu pulang dari rumah sakit abis perawatan pertama setelah serangan jantung. Gpp sih nengok, tapi jangan ngajakin ngobrol pasien. ajak ngobrol aja keluarganya. Sejak itu, aku memilih sikap sama bila ada keluarga atau tetangga dekat yang meminta untuk tidak ditengok bila sedang sakit parah

    BalasHapus
  11. MasyaAllah mba.. aku kalau baca tulisanmu suka ikutan mbrebes juga.. asa gak sanggup buat nerusin.. dari hati banget dan sangat menyentuh. hiks hiks

    BalasHapus
  12. Mba, aku ikut mbrebes mili saat membaca artikel ini. Kembali teringat momen 22 tahun lalu ketika sendirian mengantarkan bapak pulang ke haribaanNya. Kehilangan orang terkasih memang berat rasanya, entah itu posisinya sebagai ibu, anak, suami, dan sebagainya. Semoga Yaya mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah.

    BalasHapus
  13. Subhanallah... Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un... Yaya nggak sakit lagi di sana, ya Dek... ����

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih