Mendampingi Taaruf (#1) - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Kamis, 28 Juni 2018

Mendampingi Taaruf (#1)




Assalamualaikum Temans,
Sebelumnya pengen ngucapin Taqobbalallaahu minna waminkum. Semoga puasa, ibadah dan seluruh amalan kita di Bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT dan diberikan bertemu kembali dengan Ramadhan tahun depan.

Ramadhan tahun ini buat saya sungguh spesial. Saya tak pernah menyangka saya akan menjadi bagian dari satu hal yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Menjadi perantara taaruf. Ini spesial buat saya, karena saya pribadi tak melakukan taaruf ketika berkenalan dengan suami sampai menikah. Masih jaman jahiliyah lah 20 tahun yang lalu (kosa kata yang saya pilih jika saya dan anak-anak membahas tentang larangan berpacaran).

And this is the story goes ..
Mulai Februari 2018 saya dilibatkan oleh pengurus organisasi sosial keagamaan dimana biasa beraktivitas untuk menjadi panitia pendirian SMA boarding school yang sedang dirintis oleh yayasan. Sekolah ini direncanakan sebagai kelanjutan dari sekolah yang sudah ada yaitu SD dan SMP. Dua sekolah yang sarat prestasi ini mempunyai ‘adik baru’ dimana semua stakeholder dilibatkan.

Dari sedikit orang yang terlibat itu saya lebih sering bertugas bersama salah seorang pak guru SD. Kami sudah akrab sebelumnya. Selain karena berada dalam jamaah masjid yang sama serta tetanggaan, ia juga pecinta buku. Ia pembaca buku-buku saya. Bahkan setelah membaca Cherish You, novel kedua saya ia mengatakan jadi pengen sesegera mungkin menyempurnakan separuh dari agamanya.

Obrolan kami pun selalu nyambung karena kesamaan minat. Pak guru ini aslinya seseorang yang introvert. Ia jarang sekali bisa ngobrol seru dengan orang lain. Jarak umur dengan saya pun jauh. Saya masuk SMA dianya baru lahir. Dia pun lebih suka memanggil saya ‘mbak’ ketimbang ‘bu’.

Di sela-sela tugas inilah kami sering mengobrol. Beberapa kali ia bicara tentang keinginannya untuk menikah. Bahkan saat seleksi guru dan karyawan SMA boarding school ini kami sempat ‘menyeleksi’ siapa saja yang cocok dengan kriterianya. Ada satu orang yang ‘lolos’ sesuai kriteria, hanya saja ia tak lolos di seleksi lanjutan menjadi pengajar di SMA tersebut.

Ketika seleksi selesai, tugas kami tak berhenti sampai di situ. Kegiatan pra jabatan selama sebulan penuh menanti. Orang-orang yang terlibat pun semakin banyak. Sebagian kecil guru SD dan SMP pun terlibat aktif. Rata-rata saya sudah mengenal baik karena mereka guru Kakak dan Adek juga. Bahkan beberapa sudah akrab sehingga kegiatan pra jabatan pun makin seru.

Saya dan Ustadzah Anne, salah satu guru SMP tandem di administrasi. Karena Ustadzah Anne juga aktif mengajar dan jadi panitia PPDB di SMP, membuat saya lebih sering stand by di sekretariat. Ustadzah Anne wira wiri juga. Kalau pas nggak ngajar ke sekretariat.

Seminggu kegiatan berlangsung, ternyata ada beberapa guru yang harus stand by di SD dan SMP karena tugas terkait dengan ujian nasional yang akan berlangsung dalam waktu dekat. Lantas beberapa guru pun bertukar tugas. Termasuk salah satu bu guru baru di SMP.

Pertama melihatnya, saya merasa sudah familiar. Kalau melihat performance nya sih kayaknya belum pantes jadi guru (maafkeun ^_^ ) Pembawaannya ceria dan rame. Sosoknya yang imut dengan wajah yang menarik dipandang pun membuat suasana sekretariat bertambah segar.

Saya mulai membaca kecenderungan pada si pak guru yang saya ceritakan sebelumnya. Sering kali saat si bu guru ceria itu datang dan mengobrol dengan saya, ia akan mendekat. Meski sering tak memandang si bu guru, tapi saya membaca gesture nya bahwa ada ketertarikan. Si pak guru introvert ini sering memasang telinga. Selalu ada senyum tipis mengembang saat mendengar bu guru ceria bercerita.

Ternyata yang membaca ketertarikan pak guru introvert bukan hanya saya. Dua teman kantor si pak guru yang notabene sudah ibu-ibu pun notice akan sikap pak guru itu. Kalau di sekretariat hanya kami berempat, ramelah kami menggoda si pak guru yang terlihat semakin malu ketahuan isi hatinya. 
Sampai-sampai kami punya julukan tersendiri untuk bu guru ceria tersebut. Dedek barbie. Sesuai dengan tubuhnya yang imut dan wajah yang cantik tipikal boneka barbie.Namun jika ada orang lain kami sadar diri. Apalagi jika bu guru ceria datang. Pak guru introvert pun aman dari gangguan kami.

Satu malam, saat Adek hari pertama opname di rumah sakit. Saya nggak bisa tidur meski Adek sudah mulai terlelap. Ketika membuka salah satu media sosial, saya yang biasanya cuek tiba-tiba kepoin story nya pak guru introvert. Begitu melihat saya langsung ketawa.


Pak guru introvert ini mengambil foto dari sebuah sofa yang berada di ruang itu. Sementara di sudut itu saya dan Ustadzah Anne biasanya duduk mengerjakan administrasi, sementara si Dedek barbie duduk di kursi yang berderet atau depan komputer. Ustadzah Anne dalam waktu dekat mau menikah. Siapa lagi coba yang dimaksud si pak guru introvert? Lantas saya pun reply story nya


Seminggu mendampingi Adek di rumah sakit saya tak mengikuti perkembangan pak guru introvert dan Dedek barbie. Meski beberapa panitia yang tukang nongkrong di sekretariat cerita jika mereka terlihat lebih akrab dari sebelumnya. Saya fokus pada penyembuhan Adek. Gimana nggak fokus, Adek sendiri harus UN di RS. Kondisi panas badan sampai 39,5C dan harus ngerjain UN itu buat saya perjuangan yang luar biasa.
Setelah Adek keluar dari RS dan masuk sekolah, barulah saya kembali beraktivitas di kegiatan pra jabatan guru dan karyawan SMA boarding school tersebut. Beberapa hari kemudian barulah saya ada kesempatan ngobrol dengan si pak guru introvert.
“Gimana, mau beneran sama dia?” tanya saya.
“Ya iyalah, mbak. Tapi saya minder je. Dia cantik gitu. Pasti banyak yang ndeketin. Apalah saya ini mbak,” katanya sambil tersenyum.
“Ah ... kamu nih, mbok ya diperjuangkan gitu lho.”
“Tapi kalau sudah punya saya balik badan ya?”
“Sudah punya dalam artian apa? Nek sudah dikhitbah yo memang sudah nggak boleh digangguin. Lha nek mung pacaran yo masih ada kesempatan,” goda saya.
Si Pak guru tertawa.

“Bagaimanapun juga saya nggak mau jadi pengganggu, mbak.”
“Kalau misalnya masih single mau berusaha to?”
“Enggih, mbak.”
“Tak bantuin, tapi aku nggak mau kalau model pacaran gitu. Taaruf mau nggak?”
Pak guru itu terdiam beberapa lama.

“Saya belum pernah taarufan ki mbak.”
“Ya sekarang harus ubah mindset. Aku juga punya anak perempuan. Kalau ada yang ndeketin nggak serius aku yo nggak boleh. Piye?”
“Saya pasrah mbak Irfa saja gimana baiknya.”

Saya pun lantas kasak kusuk nyari informasi. Yang jelas saya nanyain Ustadzah Anne lah. Wong saya lihat Dedek barbie kemana-mana berdua sama Ustadzah Anne. Untungnya Ustadzah Anne orangnya kooperatif, mau diajakin kerjasama nyariin infomasi. Meski awalnya pas nanya-nanya ke saya juga cuma saya senyumin.

Ternyata Dedek barbie masih single. Sebelumnya pernah dekat dengan seseorang, namun kurang disetujui oleh orang tuanya. Lantas dilepaslah meski berat awalnya. Pandangan positif saya langsung terbentuk mendengar ia patuh pada kata-kata orang tuanya.

“Kalau misalnya ada yang pengen serius taaruf, beliau kerso nggak ya?” tanya saya pada Ustadzah Anne. Mata Ustadzah Anne membola.

“Dari lingkungan SMA ya Bu?”
“Adalah, Ust. Tanyain aja dulu,” senyum saya.
“Saya penasaran, Bu. Nanti saya tanyakan. Saya kalau ditanya siapa yang ngajak taaruf njawabnya apa, Bu?” dengan muka polos Ustadzah Anne bertanya. (Ketahuan tidak biasa bermain drama ^_^)
“Apa ya, Ust? Temen gitu aja po?”
“Lha kalau saya nggak kenal masa saya bilang temen saya? Jangan-jangan saya juga kenal ya Bu?”
Saya ketawa. Gantian Ust Anne yang kepo.

Dua hari kemudian Ustadzah Anne memberikan informasi.
“Kata beliau mau tanya orang tua dulu, Bu. Manut orang tua baiknya gimana.”
“Setidaknya beliau nggak nolak,” kata saya.
“Iya, Bu. Tapi saya kepo banget. Siapa Bu, yang ngajak taarufan?”
“Nanti juga tahu.”

Saat itu saya juga ikutan gelisah. Kayak sayanya yang mau taaruf aja. Beberapa hari kemudian jawaban pun datang. Sebuah jawaban yang membuat saya bisa menarik napas lega.
“Bu, beliau mau taaruf. Nanya ke saya lagi siapa orangnya. Ya saya tetep ngomong temen saya, meski saya sendiri juga nggak tahu siapa orangnya.”
Kami tertawa.

“Terus gimana, Bu, kalau sudah ada kesanggupan untuk taaruf?”
“Biasanya sih tukar biodata. Kalau sudah baca biodatanya terserah nanti mau melanjutkan atau enggak.”
“Biodatanya kayak apa ya, Bu?”

Sejujurnya, saya juga bingung. Lha saya sendiri juga belum pernah melakukan itu. Gimana mau ngasih pandangan biodata seperti apa yang mau ditukar?
“Nanti coba saya carikan ya ust?”
“Iya Bu. Tapi ngomong-ngomong, saya belum boleh tahu juga nih Bu, yang mana orangnya?”
Saya terbahak. Ustadzah Anne belum hilang keponya. Saat saya menyebut nama si pak guru introvert lagi-lagi matanya membola.
“Semoga berjodoh ya, Bu. Saya kok cocok kalau dua orang ini bisa bertaaruf. Jadi semangat nih, Bu.”

Berita baik pun lantas saya sampaikan kepada Pak guru introvert. Dia sudah kehilangan kata-kata. Antara seneng tapi juga mau bingung, mau nulis apa di biodatanya nanti. Lantas saya pun mencari bentuk form taaruf. Saya pun nyoba nanya ke Mbak Kayla, salah satu penulis buku yang sudah biasa mendampingi taaruf. Tak ketinggalan browsing juga untuk melihat seperti apa sih biodata taaruf itu. Saya baru tahu lho kalau ternyata ada juga yang memakai seperti formulir gitu.

Saya pun mencoba menyusun sendiri dari referensi yang sudah baca, kemudian saya kirimkan ke pak guru introvert dan Ustadzah Anne. Dua hari kemudian Ustadzah Anne mengabari jika si dedek barbie siap menukar biodata. Sementara si pak guru introvert masih bingung dan sering bertanya poin-poin yang harus dituliskan. Saya hanya berpesan bahwa di biodata itu harus jujur apa adanya. Tak boleh ditutupi. Lebih terbuka lebih baik. Sehari kemudian si Pak guru introvert mengirimkan biodata ke saya. Sayanya mesem aja, karena biodatanya mirip jika melamar pekerjaan.

“Jangan kayak orang mau ngelamar kerja dong ah. Ditambahinlah! Yang bagian ini ditambahin. Yang itu diceritain kenapa bisa begitu. Jangan lupa keinginanmu seperti apa.”
Saya cerewet banget seperti pembimbing skripsi. Lantas tengah malam, si pak guru introvert ini mengirimkan biodatanya. 11 halaman, dan lebih banyak narasinya.

“Editin yang bagus ya mbak?” pintanya lagi.

Lantas saya pun membaca biodata Pak guru introvert. Saya terhanyut dengan pilihan diksinya yang bagus. Seperti membaca sebuah kisah inspiratif. Ada dua bagian yang membuat saya meneteskan air mata. Tulisan ini perfect, batin saya.

Mau tahu bagian mana yang membuat saya meneteskan air mata? Tunggu di chapter 2 nya ya?

9 komentar:

  1. Wah, seru bisa jd buku nih mbak..smoga jadian ya

    BalasHapus
  2. Duh, Mbak, ndang cepet lanjutannya, penasaran. Hihi.

    BalasHapus
  3. Waaaa... bikin penasaran ih mba irfaaa. .. nunggu kelanjutannya ah

    BalasHapus
  4. Artikel ini ngeseliiinn... bikin penasaran. Ayo cepet publish edisi berikutnya, Yuuuuuu ;)

    BalasHapus
  5. Duuuh, jadi ikut deg-deg serrr. Nungguin kelanjutannya nih

    BalasHapus
  6. Duh mbaaaaa, ndang sekuelnya wkkwkw

    BalasHapus
  7. Wow... 11 halaman. Berasa baca cerpen kayanya yah.

    Seru bacanya sambil senyum2 aku, Mba

    BalasHapus
  8. Aku tunggu kelanjutannya mba hehe

    BalasHapus
  9. Penasaraaan :p. Aku mau ikutin trus ini ceritanyaa. Berharap mereka juga berhasil taarufan :)

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih