Drama Operasi Tumor Payudara (2) - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Rabu, 06 Juli 2022

Drama Operasi Tumor Payudara (2)

operasi tumor payudara sebelah kiri



Udah baca Drama Operasi Tumor Payudara yang pertama? Kalau belum, langsung klik DISINI ya?

Sekitar jam 22.00 perawat masuk ke dalam kamar. 
"Bu, puasa mulai jam dua belas malam ya, Bu. Sekarang makan aja sebanyak-banyaknya. Ibu besok puasa bisa sampai jam enam sore lho."

Baiklah ... Saya pun sahur di tengah malam dengan hasil kulineran si Kakak saat itu. 



Pagi hari sekitar jam enam sudah harus berganti dengan pakaian khusus untuk operasi. Pakaian yang nggak ada kancingnya itu lho, yang dipakainya pun dibalik. Pengalaman dua tahun lalu, pasien operasi pengangkatan tumor payudara hanya diizinkan memakai celana dalam selain pakaian operasi.

Setelah mandi saya pun mengambil pakaian dalam untuk ganti. Entahlah ... kudu ketawa atau ngomel sama si Kakak.

“Kak, yang dibawa kok CD yang bolong semua?”
“Kan Bunda nggak bilang kudu bawa CD yang mana.”
“Kalau operasi kan dibuka pakaian operasinya. Ya gimana kalau itu dokter sama perawat lihat daleman Bunda?”
“Kan nggak bilang yang mana to? Kupikir ya yang paling sering Bunda pakai aja.”

Haduhhh ...
Langsung saya WA ayahnya untuk membawakan dalaman yang masih lumayan bagus. Untung beliau baru mau berangkat sehingga terselamatkanlah saya dari daleman bolong. Sekitar jam 6.15 perawat masuk untuk memasang infus di tangan kanan saya. Sambil ngobrol dan bercanda mbak perawat.

suasana di rumah sakit

Seorang laki-laki memakai baju abu-abu tiba-tiba masuk ke dalam kamar rawat inap saya. Dengan mata yang minus 3,5 saya nggak begitu jelas melihat siapa yang masuk ke dalam kamar tiba-tiba. Posisi saya tiduran pula. Bayangan saya adalah rohaniawan yang mau ngedoain kayak di rumah sakit di Muntiilan, kota kecil saya. Saya bingung nyari jilbab, sementara mbak perawat yang masih merapikan pemasangan jarum infus di tangan saya menatap heran.

“Assalamualaikum,” suara laki-laki itu.

Sedetik saya mengenali suara itu langsung pecah tawa saya. Saya nggak ngenalin jaket abu-abu yang dipakai oleh si Ayah.

“Ealah Bu Irfa, belum di anestesi aja sudah nggak inget suaminya,” celetuk mbak perawat sambil terkekeh melihat reaksi saya. “Saya yang belum pernah lihat suaminya aja langsung paham itu suami Bu Irfa lho.”

Mbak perawat masih terkekeh saat keluar kamar. Sampai ditanya oleh perawat yang di luar. Tak berapa lama dokter Welman masuk. Beliau menandai mana yang akan di operasi.

Proses Operasi

Sekitar jam 9.55 saya mulai dibawa ke luar kamar rawat inap. Si Kakak mencandai saya.

“Aku tuh pengen tahu. Kalau Bunda pas nge-fly ngapain ya? Kan ada tuh yang nyanyi, ada juga yang curhat. Kalau bunda kira-kira perawat di ruang operasi diajak julid nggak ya?”

Jangan sampai ah...
Saya ingat waktu operasi dua tahun lalu yang saya pikirkan adalah waktu shalat karena mikir kalau operasinya lama. Dan begitu sadar saya langsung minta shalat. Kali ini begitu masuk ruang operasi saya berdzikir dalam hati.

Persiapan di ruang operasi lebih lama dari operasi yang lalu karena menunggu dokter Welman yang sedang mengoperasi pasien lain. Di tinggal sendirian di ruang operasi dengan alat yang bergelantungan begitu tetep aja bikin ati ciut. Belum lagi kondisi ruangan yang dingin banget sampai bikin badan menggigil. Tetapi saya tetap berkomunikasi dengan perawat untuk mengurangi rasa takut. Kalau dulu saya benar-benar memejamkan mata mulai masuk ke ruang operasi. Kali ini saya baru memejamkan mata ketika saya mulai dianestesi.

“Bu, operasinya sudah selesai,” lamat-lamat suara perawat masuk ke telinga saya. Lampu di atas saya sudah dipadamkan. Beberapa alat sudah di tutup dan saya merasakan perih di dada kiri. Tanpa sadar saya mengucapkan dzikir berkali-kali. Oleh perawat saya dibiarkan untuk berdzikir. Dzikir saya berhenti ketika sudah nggak nge-fly lagi.

“Ibu sudah sadar sepenuhnya ya? Proses operasi hanya tiga puluh menit, Bu. Nggak ada penyulitnya. Alhamdulillah.”
Saya tersenyum.
“Sebentar lagi Ibu pindah ke ruang perawatan.”

Saya di pindah ke sebuah ruangan. Saat menengok ke samping ada sosok yang terbaring di tempat tidur juga. Ah ... sesama pasien ini.
Tak berapa lama saya dibawa keluar. Saya pun dipindahkan ke tempat tidur yang membawa saya ke ruang perawatan. Si Ayah ternyata menunggu saya di depan ruang operasi. Melihat saya sudah sadar beliay tersenyum dan menggenggam tangan saya.

Pasca Operasi

Efek obat bius masih ada sih. Saya ngantuknya luar biasa. Praktis pasca operasi saya hanya melek untuk shalat dan membalas beberapa WA yang masuk. Sempat juga selfi sebentar, setelah itu tidur lagi. 

operasi tumor payudara


Bakda Ashar perawat masuk untuk mengukur tensi darah dan menyuntikkan antibiotik. Mereka menanyakan hal yang sama.

“Mual atau ingin muntah nggak, Bu?”
“Enggak.”
“Pusing?”
“Enggak juga.”
“Lemas?”
“Enggak juga?”
“Ada keluhan lain, Bu?”
“Laper...”

Perawat tentu aja ketawa. Saya kan memang harus puasa mulai jam 12 malam sampai dengan 6 jam pasca operasi. Selesai operasi jam 11 tentu saja jam 17.00 saya baru boleh minum seteguk seteguk. Baru 30 menit kemudian saya baru diperbolehkan untuk makan, itu pun pelan-pelan.

“Ibu kan tadi di bius total. Kalau bius total kan seluruh organ dalam juga di lemahkan. Makanya harus ada jeda 6 jam untuk memulihkan organ dalam, Bu,” kata mbak perawat yang terakhir datang bakda Ashar itu.

Ketika masanya boleh makan saya benar-benar menikmati. Orang bilang masakan paling nggak enak itu masakan rumah sakit. Kalau saya kok ngerasa enak-enak aja tuh. Semua menu yang dihidangkan oleh rumah sakit saya santap sampai habis.

“Yah, minta nambah sayur boleh nggak ya? Masih laper.”
Si Ayah geleng-geleng kepala aja. Pasiennya kemaruk.

Esok harinya si Ayah berangkat kerja dari RS. Si Kakak dan Adek dateng sebelum si ayah berangkat. Dokter Welman visitasi sekitar jam 06.30.

“Kemarin yang kami angkat adalah bekas air susu yang sudah menjadi nanah, Bu. Kenapa itu perlu diangkat? Yang kami khawatirkan jika terjadi perlengketan dan merusak jaringan sehat. Itu yang membahayakan karena bisa jebol keluar. Sekalian kantong susunya kami ambil, Bu. Sudah tidak berencana untuk hamil lagi, kan?”

Saya ketawa aja. Ya kali umur segini mau hamil lagi.
“Boleh pulang hari ini kan, dok?” tanya saya.
“Boleh.”
Hepi banget. iyalaahhh ...

Kakak dan Adek pun saya minta untuk packing. Infus dilepas sekitar jam 09,30 setelah seperangkat obat antibiotik dimasukkan ke dalam tubuh saya. Karena perban yang digunakan adalah perban plastik, saya pun bisa mandi sesuka hati.

Sekitar jam 12.30 administrasi telah selesai. Seorang petugas masuk ke dalam kamar sambil membawa bill yang harus diurus. Si Kakak lagi keluar karena membeli makanan.

“Ya udah deh, biar saya aja mbak,” kata saya.
“Ibu pasiennya kan?” si mbak petugas nanya.
“Iya mbak.”
“Biasanya kalau pasien dilarang kemana-mana dulu, Bu. Takut kenapa-napa.”

Hihihi ... Lupa euy kalau lagi jadi pasien. Akhirnya Adek yang mengurus administrasinya. Tak berapa lama Adek dateng barengan dengan Kakak.

Setelah shalat Dhuhur, kami pun pulang. Saat merasa kamar sudah bersih, saya pun ruang administrasi bangsal menyerahkan sedikit makanan buat yang ada di sana.

“Lho, Bu. Nggak usah.”
“Nggak papa. Buat semuanya kok.”

Lalu saya dan anak-anak pun melangkah pergi.

Wait ...
Kayaknya ada yang ngganjel sih. Tapi apa ya?
Saya masih mengingat-ingat apa yang salah saat menunggu taksi online. Sampai taksi online datang menjemput saya masih belum nemu apa yang ngganjel. 

Sampai 1 km dari RS. Saya memeriksa tas saya. Menemukan nota pembayaran yang masih rangkap dua.
“Lah ... kok nggak ada surat kontrolnya?”

Oalah ...
Saya lupa memberikan salah satu slip nota pembayaran ke administrasi bangsal. Biasanya saat memberikan nota itu maka pasien pun akan diberikan surat jalan untuk kontrol.

“Mas, bisa nggak kembali ke RS. Ada yang kelupaan.”
“Baik, Bu. Nggak papa.”

Untung si mas sopir baik hati. Tanpa nggrundel tetap melayani sepenuh hati. Saya kembali ke bangsal. Mbak perawat di bangsal mengenali saya.

“Mbak, maaf, saking senengnya pulang sampai lali nyerahin ini lho.”
“Lha iya, Bu Irfa kok nggenjrit mawon. Tadi ya podo ngomong, ’Lho itu lak Bu Irfa to? Itu kan pasien to, kok jalannya sudah gagah gitu?”

Saya ngekek. Selesai urusan nota dan surat kontrol saya pun benar-benar pulang ke rumah.

Operasi kali ini memang lebih ringan dibanding operasi dua tahun lalu menurut saya. Kalau dulu lukanya cukup besar sehingga menghambat saya mengurus diri sendiri, bahkan jalan pun harus sungguh berhati-hati karena gesekan lukanya terasa. Tumor payudara di kanan yang cenderung ke arah ketiak membawa pengaruh pada tangan kanan yang jadi lemas. Bahkan sampai seminggu saya baru bisa mengangkat sendok. Saya tak bisa mengangkat beban yang berat seperti gayung yang berisikan air penuh untuk sementara waktu karena terasa nyeri di lukanya saat itu.

Namun operasi kali ini berbeda. Saya nggak begitu merasakan perih ataupun gesekan di lukanya. Entah karena lukanya yang lebih kecil, atau karena tumor payudara kiri yang letaknya ada di belakang puting jadi nggak berpengaruh dengan syaraf atau otot di tangan. Secara fisik saya merasakan baik-baik saja. Sementara secara psikis sempat merasakan perubahan namun tak lama. Kalau dulu saya merasakan berminggu-minggu perasaan tak nyaman dan insecure. Sementara kali ini cukup sehari dua hari merasakan baper setelah itu enggak lagi. Sudah kembali seperti semula.

Tentang operasi tumor payudara pertama dan perasaan insecure saya bisa dibaca DISINI
 
Dramanya sudah usai. Meski saat menuliskan ini saya jahitan belum diambil namun saya sudah mulai melakukan berbagai aktivitas. Kalau nuruti karep ya sudah motoran kemana-mana :)

11 komentar:

  1. Masyallah , semoga setelah operasi ini seterusnya sehat yaa mba , saya juga pernah dua kali masuk kamar operasi ,pernah kayak ngigau gitu ngomong gak jelas kata suami ,mungkin efeck obat bius itu kali, sehat sehat yaa bunda

    BalasHapus
  2. Nggak bjsa komen apa-apa. Cuma mau kasih peluk jauh. Semoga setelah ini sehat seterusnya ya Mbaak.

    BalasHapus
  3. Semoga lekas pulih dan sehat-sehat terus ya Mak Ir aamiin, di balik momen menginap RS ada cerita yang menghibur ya Mbak

    BalasHapus
  4. Semoga sehat-sehat terus ya mbak Irfa.
    Tulisannya dan semangatnya sangat menginspirasi sekali.

    BalasHapus
  5. Antara mo sedih apa ngakak, CDnya bolong semua mbak wkwk. Abis operasi malah lapar, suka banget cerita gini. Pembaca kek aku yg uda dag dig dug, jadi sedikit terhibur. Semoga lekas pulih dan selalu menginspirasi mbak.

    BalasHapus
  6. Ngaso dulu yuuu... jangan motoran sik. Semoga lekas pulih kembali dan bisa ketemuan ya kitaaa.. Doa dan peluk dari jauh.

    BalasHapus
  7. Ma syaa Allah mbak, semoga lah segera memberi kepulihan ya mbaak, awalnya aku gagal fokus sama fotonya pizza nya

    BalasHapus
  8. MasyaAllah, semoga segera pulih, sehat, dan makin produktif mbak

    BalasHapus
  9. Wakakka CD bolong is da best ya Mbak...tapi kalu ga bolong ya gabisa dipakai kan? hihihi..Alhamdulillah operasi lancar ya Mbak semoga Mbak Irfa diberikan kesembuhan yang sebenar-benarnya aamiin soale we nggenjrit wae selak arep ngeblog

    BalasHapus
  10. Wkwkwk...lekas pulih ya mba..Aku jadi ingat sebelum dibius waktu operasi pengambilan pen di kaki, aku sebelahan sama bule yg sudah nge-fly ini. Dia nembang Jawa dengan luwes dan suaranya bagus, hehehe

    BalasHapus
  11. Mau sedih, tapi malah ngakak melulu baca tulisan mbak Irfa. Dari dalaman bolong, nggak ngenalin suami, wkwk..

    Btw, semoga sehat-sehat selalu setelah ini ya mbak, dan nggak ada drama operasi2an lagi..

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih