Pendidikan Karakter Bukan Sebatas Tagline - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Sabtu, 14 Oktober 2017

Pendidikan Karakter Bukan Sebatas Tagline



Cerita kecil tentang Abrar
Seorang anak laki-laki masuk ke dalam sebuah kelas. Tubuhnya lebih besar dibanding teman-teman sebayanya. Abrar namanya. Kata teman-temannya ia anak yang nakal. Ia sering membuat temannya laki-laki maupun perempuan menangis. Sering berkelahi atau menyerang temannya. Membuat ia banyak dijauhi oleh temannya.
“Nggak usah dekat Abrar, nanti barangmu hilang.”
“Ngga usah main sama Abrar, nanti kamu habis ditonjokin.”
“Harusnya Abrar itu dikeluarkan dari sekolahan. Biar tahu rasa.”

Tak sedikit kata-kata yang tak nyaman di telinga terdengar dari wali murid yang ditujukan untuk Abrar. Label yang melekat pada diri Abrar membuat Abrar pun makin menampakkan perilaku negatif. Membuat orang tuanya pun kebingungan harus berbuat apa lagi. Abrar tak pernah menjawab mengapa sebuah kejadian selalu melibatkannya.


Itu dahulu. Sejak setahun yang lalu, Abrar bermetamorfosa menjadi anak yang ceria. Berangkat sekolah pun selalu paling awal di kelasnya. Ia yang bertanggung jawab terhadap kelasnya. Dan ia pun menjadi anak yang percaya diri.

Lingkungan yang memberikan label anak nakal pun takjub dengan perubahan Abrar. Berbagai pertanyaan tentang segala hal yang membuat Abrar menjadi anak manis pun mampir ke telinga orang tuanya.

Jawabannya adalah tindakan nyata dari sebuah pendidikan yang menyentuh jiwa Abrar. Wali kelasnya, Bu Andri memberikan amanah sebagai ketua kelas.  Ia belajar bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban kelasnya. Ia diberikan sebuah kepercayaan yang membuat Abrar merasa berdaya. Hal itu yang tak ia dapatkan sebelumnya.

Tentang Billy : memori yang lantas memudar

Billy namanya. Senyum selalu tersungging di bibir  saat bertemu siapapun yang ia kenal. Tangan selalu mengulur ketika bertemu orang tua yang telah beberapa kali ia temui. Ia terlihat ceria seperti kebanyakan anak-anak. Tak ada bedanya.

Siapa sangka, ketika amarahnya terpantik, tak ada lagi kemanisan dalam dirinya. Matanya memerah dan tangannya mengepal.  Rahangnya menegang, lantas menggeram seperti harimau. Atau jika tak terdengar geraman, teriakan yang disertai dengan tetesan air mata akan tampak di wajahnya. Lantas ia akan menyerang teman yang membuat amarahnya muncul. Meski hanya dipicu masalah sepele.
Setiap kali amarahnya mereda, ia menangis memperlihatkan segala penyesalannya. Ia merasa tak berdaya untuk mengendalikan amarahnya. Apalagi jika ia berada di sekolah.

Saat balita ia pernah melihat seseorang melakukan kekerasan. Kekerasan yang tentu saja dibarengi oleh amarah tercetak jelas dalam ingatan. Ekspresi kemarahan dan kekerasan yang membuatnya takut mengendap dalam otaknya. Apalagi jika hal itu berulang.

Setiap kekerasan selalu memberikan luka hati bagi siapapun. Meski tak mengalami. Walaupun hanya melihat. Apalagi jika anak-anak yang menyaksikan. Kita tak pernah tahu seberapa dalam luka hati anak saat melihat lantas dalam alam bawah sadarnya tersimpan menjadi sebuah memori. Memori yang kadang terpanggil saat mendapatkan pemantik. Memori yang sering kali muncul tanpa kendali dan menjadikan si pemilik memori menjadi agresif.

Orang tuanya menyadari kondisi Billy yang cukup mengganggu. Mereka pun berkomunikasi dengan Pak Agus, wali kelas Billy. Komunikasi yang memunculkan jalinan kerjasama antara orang tua dan pihak sekolah. Harapan tersemai untuk mengatasi masalah yang ada.

Perubahan memang tak muncul secara instan. Perlu waktu dan ketelatenan. Hal itulah yang dilakukan untuk sebuah perbaikan. Syukur pun terucap ketika pelan-pelan Billy menunjukkan perubahan. Bagaimana ia mencoba menahan amarah meski kadang masih gagal. Namun orang tuanya menghargai apa yang Billy lakukan. Serta memberikan apresiasi yang tinggi pada usaha Pak Agus memberikan semangat pada Billy.

Dua kata penggugah semangat yang sampai sekarang Billy ingat meski sudah tiga tahun berlalu Pak Agus tak lagi menjadi wali kelasnya. Kesabaran dan pantang menyerah. Kesabaran ditunjukkan oleh Pak Agus saat mengajar kelas yang penuh dengan anak-anak bermasalah. Pantang menyerah dipahatkan di hati Billy saat gagal menahan amarah. Pak Agus menyemangati untuk terus berusaha.

Sampai saat ini, jika Billy ditanya siapa guru favoritnya, dengan cepat ia akan menyebut nama wali kelasnya tiga tahun yang lalu.

Pendidikan karakter di SD Muhammadiyah Gunungpring Muntilan



Dua cerita di atas hanya sebagian dari kisah penggugah hati dari pengajar SD Muhammadiyah Gunungpring, sebuah SD swasta yang berada di sebuah kota kecil yang berada di antara Kota Magelang dan Yogyakarta, Muntilan. Sebuah SD yang mempunyai tagline takwa, cerdas, kreatif, ceria.
Mewujudkan generasi qurani yang berprestasi merupakan tujuan dari pendidikan di SD Muhammadiyah Gunungpring yang biasa disebut SD Mugu. Tak hanya sekedar visi ataupun tujuan. Pastinya selalu diikhtiarkan. Hal itu bukanlah hal mudah bagi SD Mugu dan segenap stake holder-nya. SD swasta yang tahun depan merayakan miladnya yang ke -50 ini sudah membuktikan bahwa ikhtiar itu masih terus berjalan.

Mengapa SD Mugu memilih takwa, cerdas, kreatif dan ceria sebagai tagline nya?

Menurut Pak Deni Dwika, salah satu guru senior di SD tersebut, bukan tanpa alasan empat kata itu yang mewakili harapan untuk generasi milenial SD Mugu ini. Empat kata itu pulalah yang diinginkan menjadi karakter siswa siswi SD Mugu baik ketika masih bersekolah di sana maupun ketika sudah menjadi alumni.

1.     Takwa mewakili dari harapan pendidik dan segenap civitas akademika SD Mugu terhadap siswa yang bersekolah di sana untuk taat kepada Sang Pencipta dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Taqwa bukan hanya hal-hal yang bersifat wajib yang menyangkut ibadah, misalnya shalat, mengaji, puasa ramadhan ataupun yang sifatnya sunnah contohnya shalat Dhuha. Namun takwa juga merupakan gambaran dari pembiasaan sifat-sifat baik. Semua sifat-sifat baik tersebut merupakan komponen dari pendidikan karakter yang saat ini dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.
2.      Cerdas merupakan karakter kedua yang menjadi salah satu dari empat kata tagline SD Mugu. Cerdas berbeda dari pintar. Seseorang yang pintar akan mengetahui banyak hal. Mampu mencerna segala sesuatu dengan sangat baik sehingga memiliki pengetahuan yang sangat luas. Sementara cerdas adalah kemampuan seseorang bagaimana menggunakan pengetahuannya dan diimplementasikan dalam kehidupannya sehari-hari. Contoh di SD Mugu sendiri,sering kali siswa SD Mugu menemukan uang yang terjatuh. Siswa yang cerdas memahami bahwa itu bukan miliknya. Ia akan berinisiatif menyerahkan uang tersebut ke kantor atau guru kelasnya.
3.   Kreatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk menciptakan. Kata ini menjadi kata ketiga dari tagline SD Mugu. Siswa siswi di SD Mugu diharapkan menjadi anak yang mampu memanfaatkan sesuatu yang tidak dipikirkan orang namun dilakukan oleh civitas akademika SD Mugu. Di SD Mugu tak hanya kemampuan akademik siswa siswinya saja yang digali. Namun kemampuan di luar akademik seperti berkesenian, olah raga, dan kemampuan yang termasuk dalam multiple intellegence akan dieksplorasi oleh pendidik di SD Mugu.
4.     Ceria adalah sifat dasar anak-anak ketika mereka senang dan berbahagia. Ketika anak-anak bahagia, saat itulah hormon serotonin bekerja sehingga mengatur suasana hati dan mencegah depresi. Selain itu bahagia juga mmbuat hormon dopamin bekerja sehingga memotivasi untuk berprestasi. Bagaimana bahagia dan keceriaan itu selalu bersinggungan maka suasana menyenangkan di sekolah pun diusahakan dimulai dari sekolah. Saat berangkat sekolah, guru kelas sudah menyambut mereka di depan kelas dan memberikan salam. Saat pembelajaran pun dilakukan dengan cara yang menyenangkan, tak hanya melulu di dalam kelas. Ketika satu hari meski banyak aktivitas namun dilakukan dengan cara yang menyenangkan, maka anak-anak pun akan menyambutnya dengan penuh semangat sampai mereka pulang.

Obrolan suatu pagi di parkiran sekolah

Anak saya juga bersekolah di SD Muhammadiyah Gunungpring. Ada yang membekas di ingatan saya ketika tahun ajaran lalu anak saya masuk kelas lima. Bu Rosi, wali kelas anak saya bertemu di parkiran motor dan kami pun ngobrol tentang siswa-siswa di kelas.
“Bu, untuk sementara kemampuan akademik anak-anak akan saya kesampingkan. Saya akan berkonsentrasi pada pendidikan moral anak-anak. Klas lima itu transisi dari anak-anak menuju remaja. Ini masa-masa kritis yang harus dilewati. Saya tidak mau melewati masa ini dengan sia-sia. Saya akan mendampingi mereka sebagai teman.”

Saya setuju dengan pendapat Bu Rosi. Kemampuan akademik bisa dikejar. Di usia pra remaja  biasanya anak-anak lebih mendengarkan gurunya dibanding orang tuanya. Kata-kata guru sudah seperti titah raja.

Benar saja. Anak saya bercerita bagaimana Bu Rosi banyak ngobrol dengan siswa siswi di kelasnya. Anak-anak pun tak segan berbicara tentang isi hati. Tak ada amarah ketika mendengarkan para pra remaja itu bercerita. Lantas nasehat pun tanpa disadari anak-anak masuk ke dalam memori mereka. Nasehat-nasehat pun disemogakan menetap lama.



Benar, pendidikan karakter bukanlah mutlak menjadi kewajiban dari sekolah saja. Peran orang tua di rumah dan lingkungan anak itu berada setelah pulang sekolah sangat menentukan karakter anak. Saat orang tua tidak perhatian terhadap kehidupan beragama, maka anak pun biasanya akan berperilaku seperti orang tuanya.

Bijaksana sekali jika kita para orang tua tak membebankan sepenuhnya kepada sekolah untuk menjadikan anak-anak kita berkarakter baik meski sebagian waktu mereka dihabiskan di sekolah. Pembentukan karakter itu bukan hanya melalui satu atau dua kali kegiatan lantas menetap dalam diri anak-anak. Perlu kontinuitas untuk membentuk dan menguatkan. Kerjasama dan komunikasi intensif yang dilakukan antara orang tua dan pihak sekolah akan sangat membantu memberikan kekuatan moral bagi anak-anak kita.

Setiap anak mempunyai tombol sendiri tentang kesadaran hidup yang harus dicari. Kapan tombol itu tertekan kita tak pernah tahu. Yang bisa diusahakan oleh SD Mugu adalah memberi jalan pada anak untuk menemukan kesadaran si anak  tentang masa depan yang akan ia jalani nanti.

Pendidikan karakter dikatakan berhasil atau tidak bisa dilihat dari lulusannya. Banyak dari mereka meski sudah memiliki kehidupan yang jauh dari masa kanak-kanaknya masih mengingat guru-guru di SD Mugu. Tak jarang ketika kegiatan-kegiatan di SD Mugu dilaksanakan, para alumni tak segan untuk datang dan membantu. Tak jarang bagi mereka yang jauh saling bertegur sapa lewat media sosial. Artinya ada sesuatu yang membuat mereka terikat. Ikatan yang kuat yang terjalin di antara alumni dan pihak sekolah merupakan satu kesuksesan yang tak bisa diukur melalui ujian tertulis.

Bu Andri, Pak Agus dan Bu Rosi hanyalah bagian kecil dari pengajar-pengajar SD di seluruh Indonesia yang berusaha menguatkan pendidikan karakter melalui tindakan nyata. Bukan hanya sebatas kertas yang menuliskan dua kata itu besar-besar. Saya yakin, mungkin di belahan pulau lain, banyak sekali pengajar yang tak mempunyai kurikulum namun sukses mengajarkan segala kebaikan kepada murid-muridnya. Namun sering kali kebaikan itu tak nampak karena tak terekspos di media apapun, tak terkecuali media sosial.



24 komentar:

  1. Bener mbak irfa setuju dengan paragraf terakhir 😊

    BalasHapus
  2. Masyaallah, senang sekali ya kalau ada sekolah yang tidak hanya bagus di slogan namun benar2 berusaha menerapkan utk anak2 didiknya. Baarakallahu buat para guru SD mugu :)

    BalasHapus
  3. Pendidikan karakter : pendidikan akhlak. Begitu njih mba irfa?

    BalasHapus
  4. Salut dengan perjuangan guru2 mugu. Pendekatan ibu rosi kayak yg sering aku lakukan ke murid2ku juga mba. Menerima session curhat anak2 smp yg trkdg curhatannya menyayat hati dan jauh dr perkiraan. Semoga apa yg kita lakukan pd anak2 berbuah manis dan menghasilkan generasi penerus yg mulia dan berbudi luhur y mba irfa. Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah ... Bakalan jadi guru favorit mb Rahma ini

      Hapus
  5. Waaah...aku termasuk penyuka sekolah yang lebih memperhatikan pendidikan karakter mak, terimakasih sharingnya. Jadi pengen tau lebih banyak nih mengenai SD Mugu ini

    BalasHapus
  6. Iya mbak pendidikan karakter memang penting bgt diajarkan sejak dini biar anak gak mudah terbawa arus jaman now

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaa ...supaya emak jaman now juga ga pusying mikirinnya 😂

      Hapus
  7. MasyaAllah, semoga lebih banyak lagi orang tua-orang tua seperti Pak Agus, Ibu Andri dan Ibu Rosi, mampu digugu oleh murid pun anak-anak mereka.

    Aamiin.

    BalasHapus
  8. Semoga dg semakin banyak terekspos hal2 baik spt ini makin membuat sadar pentingnya pendidikan karakter bagi anak, yg tdk hanya tgjwb guru namun juga ortu & lingk lainnya.. Semoga..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Semoga blog bisa menjadi salah satu cara untuk mengekspos kebaikan yang tersembunyi

      Hapus
  9. Huaa anakku kayak Billy, hiks, doakan segera ketemu solusinya ya Mbak. Anyway SD yang kayak gitu di daerah utara adakah? Butuh buat tahun depan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Survey MakDi, pasti ada sekolahan yang menyeimbangkan antara pendidikan karakter dan akademiknya

      Hapus
  10. Waah bagus ya...memang sejatinya sistem pendidikan yg baik ditopang dgn basis aqidah. Dan point penting; gak sekadar jargon! Setuju mbak...TFS

    BalasHapus
  11. Sejauh ini memang visi misi karakter di sekolah kurang bagus, Mbak. Tapi, setelah ikut pelatihan kurikulum baru, karakter ini aku genjot banget.

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih