Nyai Ahmad Dahlan : Review dan Kritik Sebuah Tuntunan yang Berbalut Tontonan - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Rabu, 30 Agustus 2017

Nyai Ahmad Dahlan : Review dan Kritik Sebuah Tuntunan yang Berbalut Tontonan


Keberanian Iras Film untuk memproduksi kisah Nyai Walidah atau lebih kita kenal dengan sebutan Nyai Ahmad Dahlan patut diacungi jempol ditengah maraknya film-film Hollywood serta film nasional bergenre komedi dan romance yang wara wiri di cineplex Indonesia. Semangat memberikan film yang tak hanya sebagai tontonan namun juga menjadi tuntunan patut diapresiasi setinggi-tingginya.

Keterlibatan insan-insan seni dalam film ini, diluar para pemain saya hanya mengenal Dyah Kalsitorini penggiat literasi yang saya kenal namanya sejak saya remaja. Beliau sudah menulis ratusan cerpen dan puluhan buku yang diterbitkan penerbit besar di Indonesia. Saat ini beliau lebih banyak berkecimpung menulis naskah FTV. Selebihnya saya masih asing membaca nama-nama mereka.

Namun itu tak masalah bagi saya. Saya ingin mengenal Nyai Ahmad Dahlan lebih jauh. Selama ini meski tak begitu aktif di Aisyiyah, saya mengagumi akan sosok founder dari organisasi perempuan Islam yang pertama di Indonesia. Keingintahuan saya mengenal sosok pendamping pendiri salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ini makin tinggi saat membaca novel biografi Kyai Ahmad Dahlan, “Bara Yang Tak Padam” karya salah satu teman saya, Haidar Musyafa.


Sayangnya, informasi mengenai Nyai Walidah memang tak mudah didapatkan. Yang tertulis di wikipedia adalah informasi yang sangat umum dan sudah banyak juga informasi itu beredar lewat buku maupun jejaring internet. Padahal yang saya inginkan informasi detil yang bisa saya jadikan sebagai survey untuk membuat sebuah tulisan nantinya.

Jadi, saat kemarin saya menonton film tersebut, saya sudah meletakkan berbagai macam ekspektasi yang muluk mengenai teknik artistik, apakah film ini bisa sekolosal Sang Pencerah (film tentang Kyai Ahmad Dahlan) atau yang berkaitan dengan pembuatan film. Saya percaya akan kepiawaian Tika Bravani, Cok Simbara, David Chalik, dan Della Puspita.

Tentang Film Nyai  Ahmad Dahlan

Walidah, seorang anak perempuan yang cerdas. Dari kecil keinginannya untuk belajar menguat. Ia juga tak ingin cerdas sendirian. Ia meminta ijin pada sang ayah untuk mengajak teman-temannya meski ada pertentangan dari kaum laki-laki di jaman itu yang berpendapat bahwa perempuan tidaklah perlu untuk belajar apapun. Bagi perempuan yang penting adalah macak, masak, manak (bersolek, memasak, melahirkan).

Walidah saat dewasa dijodohkan dengan Muhammad Darwisy, yang saat itu sudah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Ia adalah anak Kyai Abu Bakar, salah seorang Kyai yang disegani di Yogyakarta saat itu. Mereka pun lantas menikah. Walidah pun menjalankan peran sebagai istri dari seorang Kyai yang saat itu sedang merintis mendirikan persyarikatan Muhammadiyah. Kepatuhan dan mendampingi suami di saat-saat penting mengingatkan saya akan peran Khadijah dalam kehidupan seorang Muhammad sebagai rasul.

Nyai Walidah merelakan hartanya untuk pergerakan Muhammadiyah. Quote pertama dari film Nyai Ahmad Dahlan yang mengena di hati saya adalah ucapan Nyai Walidah dalam scene tersebut.

“Kain kafanku tak ada sakunya. Kita mati takkan membawa apa-apa.”

Keikhlasan seorang istri teruji manakala harta yang diwariskan oleh orang tuanya dihaturkan pada sang suami untuk perjuangan mengembalikan ketauhidan. Untuk menghentikan bid’ah, takhayul dan churafat yang menggerogoti keimanan. Untuk sebuah pelita yang ternyata nantinya menjadi matahari bagi umat Islam yang percaya akan Al Quran dan Al Hadits yang menjadi pedoman umat Islam dalam berkehidupan.

Saya juga mencatat ketegasan dari seorang ibu pada film ini. Saat salah satu putra Nyai Walidah asyik bermain biola. Kemudian sang ibu masuk ke dalam kamar. Anak yang lain keluar ketika tahu sang ibu ingin bicara pada saudaranya. Yang pertama adalah adanya reward and punishment dalam sebuah pendidikan. Ketika anak melanggar aturan, maka orang tua tidak segan untuk memberikan punishment. Dalam hal ini , Nyai Walidah mengambil biola sang putra ketika mengetahui sang putra ngeyel saat diingatkan untuk mendahulukan shalat terlebih dahulu. Saat sang putra menyadari kesalahannya lantas menangis, Nyai Walidah pun tak segan memeluk sang putera. Pelukan itu sebagai reward untuk memberikan penghargaan akan kesadaran yang dimiliki oleh sang putra. Hal ini sejalan dengan ilmu parenting yang saat ini banyak dipelajari oleh orang tua mengenai ketegasan orang tua serta penghargaan untuk anak-anak.
Sementara yang kedua, ada pelajaran adab dalam rumah. Ketika orang tua akan menegur anaknya, maka yang lain pun akan memberikan kesempatan pada orang tua untuk berbicara dari hati-ke hati. Saat orang tua marah kepada anaknya, anak yang lain takkan mengetahui sehingga tak ada yang dipermalukan dalam hal ini. Hanya orang tua yang cerdas dan mempunyai empati yang tinggi mampu mendidik unggah ungguh dan menjauhkan dari sibling rivalry.

Quote kedua yang mengena di hati saya dari kalimat Nyai Walidah.
“Pernikahan itu berpikir bersama, bukan berpikir yang sama.”

Ya ... kita semua tahu, bahwa menikah itu menyatukan dua hati yang berbeda dengan isi kepala yang sama sekali tak sama. Ada win win solution yang tersirat dalam kata berpikir bersama. Tak ada yang menang atau kalah dalam rumah tangga. Tak ada yang untung maupun rugi dalam sebuah pernikahan. Pernikahan itu dua-duanya dalam derajat yang sama. Tak ada yang lebih tinggi derajatnya. Yang ada hanyalah siapa yang memimpin bahtera rumah tangga untuk mencapai kesuksesan bersama yaitu pernikahan yang sakinah mawaddah dan warrahmah.

“Allah memberikan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan yang melakukan amal shalih akan mendapatkan pahala yang lebih.”
Quote ketiga, kalimat yang keluar dari Nyai Walidah ini sesuai dengan perkembangan jaman. Tak perlu perempuan berteriak mengenai kesetaraan karena Allah telah lebih dahulu mengaturnya. Allah memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan hak nya. Namun, jika kita melihat mengapa perempuan lebih banyak di rumah dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu dikarenakan insting seorang perempuan yang suka akan keindahan dan kelembutan. Keindahan berkaitan dengan kebersihan, keharuman, dan rasa lezat. Kelembutan berkaitan dengan rasa sayang dan cinta yang perlu ditumpahkan. Apalagi terhadap titipan-Nya.

Nyai Walidah pun memberikan pendidikan untuk kaum perempuan di sekitarnya. Awalnya dari sebuah pengajian, kemudian bertambah dengan mengajarkan membaca dan menulis huruf latin. Perkembangan kajian Nyai Walidah pun merambat menjadi pelatihan ketrampilan bagi remaja putri sebagai cikal bakal dari pergerakan Aisyiyah yang awal mulanya bernama Sopo Tresno. Dari film ini, saya baru tahu loh kalau arti dari Aisyiyah adalah pengikut jalan Aisyah istri nabi. Dan dari film ini juga saya  pertama kalinya tahu kalau yang mengusulkan nama Aisyiyah itu K.H. Fakhrudin. 

Ada salah satu adegan yang buat saya maknyes, yaitu saat Kyai Dahlan membersihkan tempat tidur dan menyatakan bahwa Nabi Muhammad pun menjahit pakaiannya sendiri yang robek. Saya jadi merasa dibela lho, bahwa tak ada pengkotak-kotakan mana pekerjaan laki-laki dan perempuan. Sama saja. Nggak ada salahnya laki-laki ngerjain pekerjaan rumah. Itu takkan mengurangi kejantanannya sebagai laki-laki. Malahan mereka yang melakukan hal itu terbukti adalah laki-laki yang mempunyai empati tinggi. Laki-laki berempati tinggi takkan mau menyakiti hati perempuan. Ibu, istri, anak, dan saudaranya.




Apakah saya menitikkan air mata?

Tentu saja. Ada beberapa scene yang cukup membuat saya mbrambang, terharu. Namun tiga adegan ini yang membuat saya menitikkan air mata. 

scene pengumpulan donasi

Saat Kyai dan Nyai Dahlan hendak melelang barang-barangnya untuk mencari donasi bagi Muhammadiyah, wafatnya Kyai Dahlan, serta rasa kehilangan yang dirasakan oleh Nyai Dahlan sepeninggal suaminya.

Scene Kyai Dahlan memberikan pesan sebelum wafat

Saat adegan Kyai Dahlan wafat, saya langsung teringat ketika menulis adegan dalam novel pertama saya, The Beloved Aisyah. Mirip  dengan adegan wafatnya Nabi Muhammad. Dua laki-laki itu sebelum wafat masih saja memikirkan umat Islam.

Kyai Dahlan berpesan bahwa tak perlu ada yang menangis saat mengantar kepergiannya. Jangan meminta dipuji saat melakukan kebaikan. Jangan pula marah jika dicela.
“Aku wariskan Muhammadiyah padamu. Tidak mudah menjaga Muhammadiyah. Semoga Muhammadiyah bermanfaat bagi umat sepanjang masa ke masa. Pesanku, hidup-hidupilah Muhamadiyah. Jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”
Pesan Kyai Dahlan itulah yang selalu dipegang oleh warga Muhammadiyah sampai detik ini. Betapa kata semangat bermanfaat untuk umat telah mendarah daging. Ketulusan menjadi nama tengah bagi warga Muhammadiyah.

Scene Nyai Walidah setelah kepergian suami tercinta

Saya pernah merasakan kehilangan. Perasaan kehilangan orang-orang yang tak mungkin kembali. Sosok-sosok yang mengisi hidup saya. Saya bisa merasakan kesedihan itu. Saya pun beberapa kali melakukan hal yang sama,  menyentuh barang-barang kesayangan mereka, mengingat kenangan manis yang sangat layak untuk dikenang, serta tak ingin memori tentang mereka  terlepas dari ingatan. Dan scene itu, mengingatkan saya bahwa saya pun merindukan mereka yang telah pergi untuk bersama Yang Maha Pencipta.

Kritik Film Nyai Ahmad Dahlan

Di awal tulisan di atas, saya sudah mengatakan bahwa saya melepaskan segala macam ekspektasi dan takkan membandingkan dengan biopik Kyai Ahmad Dahlan yaitu Sang Pencerah. Namun ternyata ada beberapa hal yang mengganggu pikiran saya lantas saya diskusikan dengan si Kakak yang juga sudah nobar Nyai Ahmad Dahlan bersama civitas akademika sekolahnya. Anak SMP ini pun ternyata mempunyai pendapat yang serupa dengan saya.

1. Alur di awal film berjalan begitu lambat. Namun begitu bercerita tentang Walidah yang sudah menginjak remaja, film terasa melompat-lompat. Kadang suatu adegan timbul tanpa ada sebab dan akibatnya. Tiba-tiba scene itu ada sehingga agak membingungkan.

2. Bagaimana menerjemahkan seorang pejuang perempuan, meski dengan kelembutan berjalan begitu flat. Nyaris tak ada gelombang emosi yang mempermainkan perasaan penonton. Konflik yang terjadi lebih banyak berkutat pada Kyai  Dahlan. Sebenarnya saya berharap ada konflik batin Nyai Walidah yang bisa dieksplorasi misalnya saat sang suami ditawari oleh Hamengku Buwono VII untuk menikahi seorang janda dari seorang kawulo dalem Kasultanan Ngayogyakarta yang bernama Nyai Raden Ayu Sutijah Windyaningrum.

Informasi tentang Nyai Ahmad Dahlan yang ada dalam film ini seperti yang sudah tertulis di wikipedia. Saya tak mendapatan satu hal yang baru. Namun saya memahami minimnya informasi dan nara sumber yang banyak mengetahui kehidupan Nyai Ahmad Dahlan bisa jadi yang menjadi kendala dalam mengeksplorasi sejarah tentang beliau.

3. Kalau dalam sebuah penulisan novel selalu ditekankan showing not telling. Perlihatkan, jangan dikatakan. Maksudnya, bahwa saat menceritakan seseorang menangis, jangan hanya dikatakan 
“Ia menangis”. 
Pembaca takkan bermain dengan imajinasi menangis yang seperti apakah si tokoh novel itu. Lain halnya ketika kita membaca 
“Pipinya basah. Ia mengusap pipinya yang terasa hangat.”
Sama-sama bercerita tentang menangis. Namun dengan gaya penceritaan kedua yang memperlihatkan bagaimana seseorang itu menangis akan lebih mudah untuk dibayangkan.

Sama dengan novel, film membutuhkan showing. Tak hanya telling. Penceritaan dalam film Nyai Ahmad Dahlan lebih banyak menggunakan teknik telling. Kyai atau Nyai Ahmad Dahlan lebih banyak memberikan ceramah. Kesan yang saya dapatkan saat menonton adalah pesan yang disampaikan film ini agak menggurui. Mungkin akan lebih baik ketika pesan yang disampaikan diejawantahkan dalam sebuah adegan visual tanpa kalimat. Cukup visual dan musik mungkin akan lebih menyentuh hati penonton.

4. Yang paling mengganggu saya dalam film ini adalah wardrobe nya. Untuk Kyai dan Nyai Ahmad Dahlan cukup sesuai dengan jamannya. Namun beberapa pemain pendukung, apalagi pemain pendukung wanita rasanya kok tak berkostum seperti jamannya. Contoh kecil adalah pasmina panjang yang menutup dada yang dipakai oleh pemain pendukung yang berwajah timur tengah.

Betul, dalam Islam memang kewajiban menutup dada ada dalam Al quran. Namun dijaman itu belum ada yang namanya pakaian syari. Kerudung yang dipakai oleh wanita di jaman itu  adalah kerudung sampir dan tipis seperti yang dipakai oleh Nyai Ahmad Dahlan. Ada pula yang memakai jilbab paris segi empat. Setahu saya jilbab segi empat yang dilipat menjadi segitiga mulai dipakai oleh remaja muslim tahun 80an. Lantas ada pula pemain pendukung yang memakai ciput yang bercepol. Ini kan model ciput yang in beberapa tahun belakangan. Sebuah film yang berbasis sejarah semestinya merekonstruksi keadaan di masa itu. Mulai dari setting, make up, wardrobe dan seluruh properti syuting mendukung keseluruhan cerita.

5. Kalau untuk akting pemain utama, saya sudah nggak perlu meragukan lagi. Namun untuk pemain figuran, agak aneh juga kalau mereka sadar kamera, dan setiap hendak berbicara mereka terlihat menahan senyum. Namun namanya simbah-simbah ya, agak sulit untuk bersandiwara karena sudah terbiasa bersikap apa adanya. Namun yang cukup membuat saya terhibur adalah totalitas para simbah putri yang terlihat natural bermain film. Salut.

6. Dari beberapa kritikan di atas, ada satu yang mencuri perhatian saya yaitu penataan musik yang keren. Penataan musik yang bagus ternyata mampu menutupi sekian kekurangan yang ada.

Tuntunan Islam memang sulit lepas dari apa yang dinamakan dakwah. Pembentukan persyarikatan Aisyiyah ini mengandung unsur dakwah yang sangat kental, namun dikemas dalam bentuk film. Memang banyak penonton yang mempunyai ikatan emosional karena merasa menjadi bagian dari Aisyiyah dan Muhammadiyah seperti saya sehingga merasa mewajibkan diri untuk menonton film ini. Namun jangan lupa, ini adalah film komersil, bukan film dokumenter yang dinikmati oleh kalangan tertentu. Di luar sana masih banyak calon penonton yang perlu diyakinkan supaya tergerak mengetahui sejarah Nyai Ahmad Dahlan melalui film ini. Untuk itu, tuntunan ini akan jauh lebih mengena ketika dibalut menjadi sebuah tontonan yang lebih menarik, emosional, dan spektakuler sehingga mampu menggerakkan hati pemirsanya.

Bagi saya film ini tetap layak untuk ditonton. Apalagi oleh anak-anak. Mereka wajib belajar memahami sejarah. Bagaimana kita akan membangun bangsa jika tak mengenali sejarah bangsa sendiri?



7 komentar:

  1. Lhah nggak ada tentang poligaminya ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak ada mba, mungkin memang dihindari supaya tidak mengundang kontroversi

      Hapus
  2. Launching pas Milad Muhammadiyah ya mba..? Aku tau sosok siti Walidah juga dari Buku kemuh e anakku mba.
    Masih minim info sih. Tapi kayaknya bisa jadi tontonan yang bagus n bisa buat semua umur yaa.. Mbokmenowo klo lihat ini trus pelajaran kemuh nya anakku juga lebih nyantol

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus ada eksplorasi yang lebih dalam kudune untuk menghadirkan pengetahuan yang baru. Njur pengen nulis novel e 😁

      Hapus
  3. Keluargaku muhammadiyah banget. Kalo aku ajak nobar ini, kemungkinana besar mereka setuju semua. Tp kalo ajak suami, kyknya g bakal mau, krn dia NU hahahaha... Tp yowislah.. Yg ptg kita rukun..

    Agak mengganggu ya mba kalo nonton film yg beralur jaman dulu, tp bbrapa scenenya mlh ga totalitas dgn memakai barang2 di jaman skr. Sayang jadinyaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya suka nonton film sejarah, termasuk drama saeguk korea. Saya suka detilnya, sering kagum dengan setting jaman dulu dan menghadirkan di layar lebar. Cuma kalau ga sesuai nontonnya ngebatin melulu 😁

      Hapus
  4. belum sempat nonton film ini, sepertinya agak turun kemauan nonton karena baca kritikan tulisan ini hehehe.
    tapi tetep ingin nonton.
    saya setuju kritikan nomor 2, dalam benakku kemarin ditayangkan gak ya poligminya Mbah Ahmad Dahlan

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih