Karya terbaru: Ya Allah Aku Rindu Ibu - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Rabu, 01 Februari 2017

Karya terbaru: Ya Allah Aku Rindu Ibu



Hanya bisa bersyukur untuk hari ini. Ketika dua hari yang lalu saya dikabari bahwa buku yang dikerjakan keroyokan naik cetak, buku solo yang saya kerjakan dua tahun lalu ini akhirnya terbit juga. Banyak hal yang terjadi di masa itu, Lantas kesabaran pun akan membayar segala perasaan negatif saat itu.

Buku ini adalah persembahan seorang anak kepada sang ibu. Sebuah tulisan untuk menyembuhkan lukanya ketika si anak merasa sangat kehilangan. Ketika si anak mengingat bahwa dirinya menjadi tokoh antagonis dalam hidup sang ibu. Penyesalan dan rasa bersalah yang terus saja membebani hati. Hanya ada dua pilihan saat itu. Menulis, atau menyesal tiada henti.

Pengen ngintip karya terbaru saya? Boleh ... Silakan dibaca prolognya ya?


Prolog Ya Allah Aku Rindu Ibu

Buk..
Seharusnya hari ini aku mengucapkan selamat ulang tahun untuk Ibuk. Ketika menjelang subuh aku terbangun sementara Ibuk selesai tahajud. Aku akan mendatangi Ibuk kemudian mencium tangan Ibuk.
“Selamat ulang tahun, Buk. Semoga sisa umur Ibuk bermanfaat.”
Dan Ibuk, masih dengan mukena Ibuk pun tersenyum lalu mencium kedua belah pipiku.
“Terima kasih.”
Biasanya begitu ucap Ibuk. Pendek. Dan mungkin tak peduli berapa umur Ibuk sekarang.
Namun penggalan adegan itu takkan ada di tahun ini dan tahun- tahun seterusnya.  2 Desember 2014 Ibuk tak lagi berada di rumah. Tiga bulan sebelumnya, Ibuk telah dipeluk oleh-Nya. Rasanya seperti kemarin, Buk, aku berada di sisi Ibuk saat tarikan nafas Ibuk terakhir. Seperti baru kemarin aku membawa Ibuk ke ICU saat tiba-tiba hari itu Ibuk tak sadar setelah bangun tidur.
Buk...
Tatapan terakhir Ibuk selalu kuingat. Semenit menjelang Ibuk tak sadar, Ibuk menatapku lama. Sebuah tatapan perpisahan. Sorot mata Ibuk yang melembut. Seolah ingin berkata,”Ir... ini terakhir kali aku menatapmu. Baik-baik ya Ir? Jaga dirimu.”
Aku membayangkan, saat itu kau ingin berkata, ” Ir, aku bahagia bersamamu. Melihatmu tumbuh dewasa. Bersama anak-anak dan suami yang selalu bersamamu. Terima kasih untuk bulan-bulan terakhir kau ada untukku.”
Selalu saja seperti ini jika aku teringat Ibuk. Dadaku menyesak dan mataku memanas. Jika aku tak bisa mengendalikan diriku, sudah pasti pipiku pun kemudian menghangat. Dari kelopak mataku meneteslah air mata kesedihan. Air mata penyesalan. Dan di ujungnya keikhlasan melepas Ibuk pun akan terabai.
Buk...
Tak pernah aku bayangkan, kehilangan Ibuk akan membuatku seperti ini. Di setiap hariku, di semua yang aku lakukan, Ibuk memenuhi kepalaku. Hanya duduk di ruang tamu aku mengingat Ibuk yang selalu tilawah di kursi yang itu. Di sudut itu. Kadang terngiang tilawah Ibuk yang menggunakan suara falsetomu.
Duh.. Buk..
Baru menulis beberapa kalimat saja pipiku sudah banjir air mata. Bagaimana jika tulisan ini menjadi sebuah memoar ya Buk?
Tulisan ini aku persembahkan untuk Ibuk. Untuk perempuan dimana kakinya adalah surgaku. Untuk perempuan yang selalu berkata-kata pedas untukku. Sulit berkata-kata manis untukku.
Untukmu Ibuk, perempuan yang menjadi 38 tahun madrasahku.

7 komentar:

  1. wahhh sepertinya bagus nih buka, jadi penasaran saya.. dimana bisa mendapatkan buku ini? ada kah di gramedia terdekat?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gramedia mgk sktr pertengahan februari, kalau nggak sabar bisa via saya ��

      Hapus
  2. Teh Irfa keren banget udah punya buku.
    Pasti butuh perjuangan ya teh sampe 2 tahun nulis buku ini.
    aku jadi termotivasi teh.

    BalasHapus
  3. Barakalloh mba Irfa, semoga bukunya bermanfaat yaa. Jadi penasaran mau baca juga ni.

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih