Menggantung cita-cita - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Senin, 13 Oktober 2014

Menggantung cita-cita

Gantungkan cita-citamu setinggi langit.
Benarkah kita harus menggantung cita-cita setinggi langit? Kalau cita-cita digantungkan di langit. apakah kita bisa meraih cita-cita itu? Bukankah kita hanya bisa memandang di langit tanpa punya kemampuan untuk meraihnya?
Saya ingat kata-kata ibuk. Nek duwe gegayuhan kui rasah keduwuren. Mengko isane ndangak thok. Gegayuhan kui yo paling ora ngukur kemampuanmu. Nek ketoke angel yo tinggal. Gegayuhan kui sing realistis. Artinya kurang lebih begini. Jika kamu punya cita-cita, jangan tinggi-tinggi. Nanti bisanya menatap ke atas terus. Cita-cita itu setidaknya diukur dengan kemampuanmu. Kalau sekiranya susah ya tinggal aja. Cita-cita itu yang realistis saja.

Saya dulu sebel sekali saat ibuk bilang begitu. Rasanya saya nggak boleh jadi orang besar. Rasanya saya kayak nggak boleh jadi orang sukses. Tentu saja saat itu saya mendebat kata-kata ibuk dengan kalimat yang lebih panjang. Saya jadi debat kusir dengan ibuk, seperti biasanya berakhir dengan nada suara yang naik beroktaf-oktaf.

Setelah saya nggak kerja lagi, saya pengen banget punya usaha ini itu. Pengen punya toko baju, pengen punya toko buku, wuah... pokoknya segala macem usaha saya coba. Dan semuanya gagal. Namun ada hikmahnya juga dengan semua kegagalan saya. Saya memang susah jualan baju, karena saya juga nggak apdet dengan segala model baju yang sekarang lagi trend. Toko buku saya bangkrut, tapi setidaknya saya masih bisa jadi agen buku anak. Beberapa PAUD di daerah saya nggak pernah beli buku ke toko buku, tinggal telpon saya beres sudah. Saya juga bisa nambah katalog saya dengan katalog APE.



Lalu, dengan jualan buku, saya bisa dapet beli buku dengan diskon lebih besar dari di toko. Saya bisa beli novel yang saya mau dengan diskon yang tentunya sama dengan yang diberikan ke toko buku oleh distributor buku. Hikmahnya, saya bisa bisa beli buku lebih murah dari yang lainnya.

Balik lagi ke cita-cita. Saya sejak SMA pengen banget jadi wartawan. Makanya saya milih jurusan komunikasi. Kalau nggak komunikasi, mending nggak kuliah, begitu saya ngotot ke orang tua. Dan karena orang tua sangat paham dengan sifat saya orang tua pun hanya ikut aja apa mau saya.

Alhamdulillahnya, saya dapat kerja di sebuah Surat Kabar Harian Ekonomi yang pusatnya di Jakarta. Saya di perwakilannya. Kerjaan saya, ngikutin wartawan melulu yang mau wawancara sama bos besar di perusahaan-perusahaan. Awal saya pengen belajar nulis lagi, waktu itu saya diminta menulis artikel profil Charles Saerang, Direktur Utama PT. Nyonya Meneer untuk edisi Minggu oleh teman wartawan di kantor. Meski akhirnya tulisan saya diobrak abrik semua oleh temen saya, saya sudah cukup senang. Saya belajar menulis lagi.

Sekian waktu saya nggak kerja lagi di Harian Ekonomi itu, saya nggak aktif menulis lagi. Tapi tetep suka ngebatin novel-novel yang nggak selera saya sebagai novel jelek. Ih... kalo cuma begini sih aku juga bisa, ejek saya. Dan saya benar-benar mencoba menulis novel. Ampun Mak... rasanya kok berdarah-darah ya nulis itu? Ternyata nggak segampang yang saya pikirin. Akhirnya bulat deh tekat saya buat belajar. Ikut kelas-kelas online. Mencermati novel-novel yang saya punya. Dan pelan-pelan mencoba lagi belajar menulis. awalnya dari cerpen, kemudian lanjut cerbung, kemudian belajarlah saya menulis novel. NOvel pertama saya saya ikutkan lomba, dan tentu saja nggak masuk nominasi. Namun saya sempet bicara dengan Mas Ang Tek Khun, sang penyelenggara lomba. Saya baca ulang dan ahaii... buanyaaakkk banget hal-hal yang nggak perlu saya tulis dalam draft novel pertama saya. Akhirnya saya membabat habis novel sebanyak 198 halaman menjadi 160 halaman. Editing sana sini. Dan sampai sekarang masih tersimpan di bank naskah saya.

Ah... lagi mau nulis panjang... anak saya minta ke rumah budenya. Bersambung aja deh yaaa...

Tidak ada komentar:

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih