Assalamualaikum temans,
Saya pernah membaca artikel yang menuliskan tentang para ahli neurolog dan psikolog melihat bahwa individu usia 20 an yang seharusnya sudah menginjak usia dewasa ternyata memiliki ketidakstabilan secara emosi. Berbagai faktor mempengaruhi mengapa hal itu terjadi. Hal itu menjadikan batas usia remaja dianggap bergeser menuju angka yang makin besar.
Faktor sosial ekonomi menjadi faktor pendorong perpanjangan usia remaja. Tuntutan pendidikan yang tinggi membuat banyak individu menunda pernikahan dan memulai karir untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan itu memakan waktu yang cukup lama.
Persaingan dunia kerja membuat individu kesulitan mendapatkan pekerjaan yang stabil dan mandiri secara finansial. Hal ini menjadikan individu memperpanjang ketergantungan kepada keluarga, dalam hal ini orang tua atau siapapun yang mem-provide dirinya.
Konsep pernikahan dan keluarga juga mengalami pergeseran yang cukup siginifikan. Orang makin ragu melangkah ke jenjang pernikahan karena fokus pada pengembangan karir sebelum masuk ke jenjang itu.
Hal ini menjadikan individu merasa bahwa masa eksplorasi makin panjang dan sebenarnya membuat kecemasan dan tekanan karena pencapaian tujuan hidup makin jauh.
Menyiapkan anak laki-laki menuju dewasa
Secara Islam usia dewasa dimulai saat ia telah baligh. Di saat seseorang telah baligh maka ia telah taklif, bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Anak sudah bisa diajak untuk berpikir lebih jernih dan membicarakan hal-hal yang lebih serius dalam kehidupan.
Menata hidup bukanlah hal yang sepele. Anak-anak perlu dididik untuk menghadapi kehidupan yang rasa-rasanya semakin berat. Dan yang pasti dibutuhkan peran ayah dan ibu dalam mendorong anak-anak untuk bisa lebih kuat.
Dan sudah dipastikan yang banyak berperan dalam mendidik anak-anak adalah sang ibu. Budaya patriarki di Indonesia ini masih mengkotak-kotakkan tugas dalam rumah bahwa Ibulah yang harus memiliki peran dalam mendidik anak-anak sementara sang ayah sudah cukup berperan karena menjadi pencari nafkah dalam keluarga. Sang ayah sosoknya ada, namun peran dalam diri anak-anak sama sekali tak ada. Padahal peran ayah dalam mendidik anak-anak sangatlah besar, apalagi bagi anak laki-laki.
Apa saja peran ayah dalam pengasuhan anak laki-laki?
Maskulinitas dan identitas gender
Ayah berperan pada anak untuk mengidentifikasi dirinya bagaimana ia harus bersikap, berperilaku, menyelesaikan masalah, mengontrol emosi menunjukkan simpati dan empati pada orang lain sebagai seorang laki-laki.
Membangun kepercayaan diri
Ayah yang memiliki peran dalam diri anak laki-lakinya akan membentuk harga diri yang lebih tinggi, percaya diri, dan tidak mudah menyerah. Ia akan menyukai tantangan dan berusaha untuk menaklukkan tantangan. Motivasi anak dan kompetensi akan menjadi lebih kuat saat anak memiliki tujuan.
Kedisiplinan dan pembentukan moral pada diri anak
Anak laki-laki akan belajar bertanggung jawab, memiliki rasa keadilan, serta konsekuensi akan apa yang ia lakukan dari ayahnya. Kedisiplinan dan memahami akan batasan-batasan akan mempengaruhi anak dan efeknya akan panjang saat sang ayah berperan
Mengembangkan emosi
Seorang anak yang tak memiliki peran ayah secara emosional dalam hidupnya rentan dengan agresivitas, kecemasan, dan kesulitan dalam membangun relasi dengan orang lain. Anak belajar memahami emosi dan bagaimana mengontrol emosi berkiblat dari ayahnya.
Pengembangan ketrampilan dalam hubungan sosial
Cara seorang ayah memperlakukan ibunya menjadi benchmark bagi anak dan menjadi model mengembangan hubungan interpersonal dengan orang lain. Seorang ayah yang aktif mengajak anaknya untuk ‘srawung’ akan mengembangan ketrampilan sosial dalam diri anak bagaimana ia harys berempati akan kesedihan orang lain, berkompetisi secara sehat dan mengembangkan sikap kerjasama dengan siapapun.
Sekuat-kuatnya seorang ibu ia adalah mahluk feminin yang selalu melibatkan perasaannya jauh lebih besar dibanding logisnya. Jangan biarkan anak laki-laki terlalu banyak mengambil feminine energy karena ayahnya tak mengambil peran dalam kepengasuhan. Saat feminine energy terlalu besar dalam diri anak laki-laki. Ia tak memiliki mental provider. Ia akan sulit bertanggung jawab dan overthinking. Saat ibu mengambil alih seluruh kepengasuhan. Maka anak takkan belajar tentang struktur, batasan, dan arah karena seorang ibu akan memanjakan anak dengan caranya sendiri.
Akibatnya saat ia membangun hubungan dengan orang lain, apalagi yang terkait dengan romantisme. Ia akan menuntut selalu dimengerti karena mencari figur ibu dalam hubungan romantisnya. Ia tak siap memberikan rasa aman kepada pasangannya saat kelak ia menikah.
Sebagai orang tua memang kita memiliki cinta yang tak terbatas pada anak-anak. Jangan sampai cinta tanpa tapi ini menjerumuskan anak-anak kita sehingga menyulitkan dirinya di masa depan.