April 2025 - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Minggu, 27 April 2025

Menjaga Ibadah Setelah Bulan Ramadhan
Idul Fitri


Sudah jamak terjadi ketika bulan Ramadhan setiap muslim dan muslimah di muka bumi ini berlomba-lomba dalam mengejar pahala. Setiap kebaikan yang dilakukan bulan Ramadhan bernilai pahala yang besar. Jangankan yang wajib, yang sunnah pun semakin banyak dilakukan.

Yang paling umum adalah Shalat Tarawih. Sejatinya Shalat Tarawih yang dilakukan saat Ramadhan itu qiyamul lail, shalat malam yang sering dilakukan Rasulullah setiap harinya di 1/3 malam. Shalat yang biasa kita sebut sebagai shalat Tahajud.

Dalam sirah disebutkan malam menjelang bulan Ramadhan dimulai Rasulullah bangkit lagi setelah melakukan shalat Isya’. Para sahabat yang sudah meninggalkan masjid pun buru-buru kembali ke masjid ketika mendengar Rasulullah melakukan takbiratul ihram.

Rasulullah pun tak setiap saat melakukan jamaah tarawih di masjid. Kadang kala Rasulullah selepas Isya kembali ke rumah dan melakukan shalat malam seperti biasanya di rumah. Hal-hal tersebut secara tak langsung menjelaskan bahwa shalat Tarawih memang lebih afdol untuk dilakukan berjamaah. Namun Rasulullah tak melarang kaum muslim melakukan shalat malam sendirian apalagi yang sudah terbiasa melakukan di sepertiga malam terakhir.

Rasulullah juga mencontohkan untuk memperbanyak bacaan Al Quran saat Ramadhan. Dalam hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah mengkhatamkan minimal satu kali dalam satu periode Ramadhan. Kalau istilah zaman sekarang one day one juz.

Berat?

Tentu saja. Setidaknya dalam sehari kita membaca 150 sampai 200 ayat untuk mengkhatamkan 1 juz. Akan terasa berat apalagi di juz-juz awal yang masya Allah panjang ayatnya. Akan tetapi jika hal itu dilakukan saat Ramadhan tentu saja semangatnya bakal beda.

Sedihnya, sering kali di akhir Ramadhan apalagi kita yang tinggal di Indonesia bakal sibuk oleh persiapan hari raya. Semestinya 10 hari terakhir kita bakal lebih banyak lagi melakukan ibadah-ibadah yang makin mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Lalu bagaimana ketika Ramadhan telah berlalu? Apakah kita masih bisa menjaga semangat ibadah itu? Adakah tips untuk menjaga semangat ibadah yang sudah mulai mengendor?

Yang saya tuliskan ini merupakan rangkuman dari berbagai kajian dengan yang saya ikuti. Beberapa hal untuk tetap konsisten menjalankan ibadah setelah bulan Ramadhan:

Puasa Syawal

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Dari hadits yang diriwayatkan oleh HR. Muslim dan didukung oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan beberapa hadits lainnya pahala yang kita dapatkan akan makin berlipat ketika kita berpuasa enam hari di bulan Syawal. Ada ulama yang menyatakan bahwa afdhalnya puasa Syawal dilakukan enam hari berturut-turut setelah shalat Idul Fitri. Artinya Syawal hari kedua sampai hari ke tujuh menjadi waktu yang paling utama kaum muslim menjalankan puasa Syawal. Namun sebagian besar ulama menyatakan tidak ada larangan puasa Syawal dikerjakan secara acak. Yang terpenting adalah dilakukan selama bulan Syawal.

Apakah boleh puasa Syawal dilakukan sebelum mengganti puasa Ramadhan karena adanya udzur? Ada dua pendapat tentang hal ini. Sebagian ulama menyatakan bahwa seseorang yang ingin berpuasa Syawal harus mengganti dulu puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena udzur. Hal ini dikarenakan Puasa Ramadhan adalah puasa wajib, sementara puasa Syawal meskipun pahalanya sedemikian besar tetap saja merupakan puasa sunnah. Dalam Islam ketetapan hukum sudah jelas bahwa kewajiban selalu didahulukan dibanding dengan sunnah yang hukumnya dibawah wajib.

Akan tetapi ada pendapat lain yang memperbolehkan untuk melakukan Puasa Syawal terlebih dahulu dibandingkan mengganti puasa Ramadhan. Aisyah istri Rasulullah pernah mengganti puasa Ramadhan di bulan Sya’ban seperti yang diriwayatkan oleh HR Bukhari Muslim.

“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Hal ini tentunya membuat para perempuan berlega hati. Waktu haid yang panjang serta maju mundurnya periode haid yang tak bisa terprediksi membuat para wanita biasanya memilih untuk puasa Syawal terlebih dahulu. Akan tetapi seyogyanya segeralah untuk menuntaskan hutang puasa tanpa perlu menunda jika tak ada udzur. Jangan sampai hutang puasa belum terbayar sampai Ramadhan datang kembali. Ada 354 hari kesempatan untuk membayar hutang puasa. Jika selama itu belum terbayar tanpa adanya udzur hal itu sudah termasuk abai terhadap kewajiban-kewajibannya.

setelah selesai melakukan Puasa Syawal dan mengganti puasa. kita bisa meneruskan dengan puasa-puasa sunnah lain, misal ayamul bidh, puasa rutin hari Senin dan Kamis, serta Puasa yang dilakukan oleh Nabi Daud AS. Sehari puasa sehari tidak. 

Shalat Tahajud

Satu kebaikan akan membawa kita menuju kebaikan yang lain. Jika kita hendak melakukan puasa Sunnah, dianjurkan bagi kaum muslim untuk melakukan sahur terlebih dahulu. Biasanya menunggu waktu-waktu sahur lebih afdhol lagi jika kita gunakan sedikit waktu untuk melakukan shalat tahajud. Apalagi jika kita memiliki hajat. Shalat Tahajud menjadi waktu terbaik bagi manusia untuk memohon pada Allah karena disaat itu tak semua kaum muslim terjaga dari tidur dan bermunajat kepada-Nya.

Shalat Tahajud ditutup dengan Shalat Witir. Jumlah shalat witir merupakan jumlah shalat yang ganjil. Jika waktu terlalu mepet pun diperbolehkan sekadar Shalat Witir saja. Allah sudah mencatat semua niat baik manusia.

jika Shalat Tahajud masih sedemikian berat, kita bisa memulai dari shalat yang tak memerlukan waktu khusus seperti shalat Tahajud ataupun shalat Dhuha. kita bisa mencoba untuk shalat sunnah Qobliyah dan Bakdiyah, yaitu shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat fardhu. 


Membaca Al Quran.

Jumlah dalam ayat Al Quran diyakini tak sampai 6300 ayat. Ada tujuh pendapat yang menyatakan bahwa ayat dalam Al Quran dalam kisaran 6214 – 6232. Taruhlah kita membuat target hendak mengkhatamkan Al Quran dalam enam bulan. Maka dalam sehari kita harus membaca 34-35 ayat. Rasanya tidak memakan waktu lama kan jika 34-35 ayat itu kita baca dalam waktu 15-20 menit?

Mulailah untuk melakukan ibadah dari apa yang paling ringan menurut kita. Jika kita mudah melaksanakan. Insya Allah dengan senang hati kita akan rutin melaksanakan. Setiap manusia punya amalan-amalan sendiri dalam menjalankan ibadahnya.

Ibadah terbaik adalah ibadah yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Tak perlu menunggu kita harus jadi orang shalih dulu untuk memulai berbagai ibadah sebagai bekal kita nanti di akhirat. Terpenting bagi setiap manusia adalah bagaimana kita berikhtiar menabung pahala sebanyak banyaknya.

Jadi, kalian lebih mudah melakukan yang mana?

Minggu, 06 April 2025

Tentang Ibuk: Sekolah Pertama untuk Saya
Kartini



Assalamualaikum temans

Saat saya berada di bangku SD bulan April merupakan bulan yang benar-benar saya tunggu. Di bulan ini saya mendapatkan sebuah kado istimewa dari Ibuk alm. Benar-benar dipersiapkan kado ini meskipun saya sudah tahu betul apa kado itu.

Yap … kado itu adalah kebaya. Sebuah tradisi kala itu setiap tanggal 21 April anak-anak dan para perempuan di saat itu memakai kebaya untuk acara seremonial peringatan hari Kartini. Anak-anak SD sampai SMA kala itu berdandan ke salon dan membuat berbagai macam perlombaan.

Saya antusias banget mengikutinya saat SD. Saya ingat sekali Ibu memberikan saya kebaya yang lumayan kedodoran berwarna merah cerah dari kain beludru. Pemikiran Ibuk saat itu kebaya merah beludru itu bisa dipakai untuk dua tahun. Jadi Ibuk lebih irit menjahitkan kebaya untuk saya.

Saat anak-anak yang lain pergi ke salon untuk menyanggul dan make up. Ibuk dengan telaten menyanggul dan merias wajah saya dengan tangan sendiri. sebelumnya Ibuk sudah mewiru kain jarit yang akan saya pakai dengan rapi supaya penampilan saya benar-benar seperti putri dari keraton di tanah Jawa.

Ada asesoris sirkam yang terpasang di atas ubun-ubun di mana rambut saya sudah disasak tinggi dan rapi. Tidak lupa selop warna hitam membuat saya merasa begitu berbeda.

Ibu menjahitkan kebaya janggan warna biru pada saat saya klas 3 SD. Di saat itu perayaan Hari Kartini sudah lebih meriah lagi. Ibuk pun tak mau kalah dengan para ibu lain merias anak-anak seusia saya. Kalau saat klas 1 dan 2 SD dandanan saya lebih sederhana. Dengan kebaya janggan warna biru toska yang mengkilap Ibuk tak hanya menyelipkan sirkam sebagai asesoris. Tapi Ibuk juga memasang cunduk mentul serupa suntiang

Ibu

Untuk menambah cantiknya penampilan Ibuk pun meminjam satu cunduk mentul yang biasa dipakai oleh para pengantin Jawa untuk saya pakai beserta kalung asesoris susun tiga beserta sabuk berwarna keemasan. Sudah serupa dengan putri bangsawan zaman dulu kala bukan?

Ibuk, sekolah pertama dalam rumah 

Buat saya, Ibuk adalah role model perempuan pertama yang menjadi teladan dalam kehidupan. Bagaimana peran perempuan dalam rumah tangga saya lihat dalam keseharian. Tentang komunikasi yang mengedepankan respect terhadap pasangan. Akan tetapi juga ketaatan pada tuhannya yang tercermin dari bagaimana Ibuk memperlakukan suami dan anak-anaknya.

Salah satu hal yang Ibuk tanamkan khususnya kepada saya sebagai anak perempuan pertama dalam keluarga. Perlunya seorang perempuan juga belajar mandiri. Ini bukan hanya perkara mandiri secara finansial. Akan tetapi belajar untuk tidak menggantungkan harapan atau kehidupan pada siapapun. Karena suatu saat jika hidup sendiri takkan menyusahkan orang lain.

Apa yang Ibuk katakan pada akhirnya diusahakan oleh beliau terutama saat Bapak meninggal. Dalam kondisi tak bekerja. Hanya mendapatkan pensiunan janda untuk menghidupi tiga anak. Ibuk tetap mendorong anak-anaknya untuk melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.

Ibuk tak pernah mengeluh. Beliau juga tak mengemis perhatian dari siapapun dengan kondisi. Apalagi terkait dengan finansial. Kondisi prihatin seperti ini membuat Ibuk, saya dan adik-adik menjadi sedemikian dekat. Apapun kondisi kami bicarakan. Sehingga saat satu persatu kami lulus kuliah dan bekerja. Tak pernah sayang untuk membantu kondisi Ibuk. Kami, terutama saya tak mengenal apa yang saat ini dikatakan sebagai sandwich generation. Dalam pemikiran kami bahwa apa yang kami lakukan saat itu belum bisa membalas apa yang telah orang tua berikan. Sebuah kata yang kami sebut sebagai bakti anak kepada orang tua.

Ibuk dan Kesehatan

Ini mungkin satu-satunya perkara yang Ibuk lupakan. Meski tak 100 persen. Akan tetapi di masa-masa saya anak-anak sampai saya dewasa muda. Ibuk tak benar-benar memberikan saya pembelajaran bagaimana mengolah makanan secara sehat. Hampir 75% masakan yang Ibuk buat mengandung santan, lemak jenuh, gula dan berbagai olahan tepung.

Akibatnya saya dan adik-adik suka sekali dengan makanan manis dan berbahan tepung. Ngilernya saya dengan segala hal yang berbau cake & bakery. Suka banget dengan makanan-makanan yang diolah dengan deep fried. Sampai kemudian di usia 51 tahun Ibuk mengalami stroke pertama.

Dokter yang menangani Ibuk meminta saya untuk membuat menu-menu diet untuk menurunkan tekanan darah dan kolesterol yang tinggi. Saya yang waktu itu belum tahu apa-apa mengenai pola makan sehat jadi kebingungan. Mau tak mau akhirnya saya trial & error mencoba berbagai macam masakan tanpa menggunakan minyak, santan, dan mengurangi garam.

Tentu saja awalnya Ibuk protes dengan menu yang saya buat. Bahkan sempat merajuk untuk tak makan karena menu yang benar-benar berbeda rasa di lidah. Pelan-pelan saya jelaskan bahwa yang saya lakukan adalah anjuran dokter demi pulihnya kesehatan Ibuk. Lambat laun Ibuk pun bisa menerima itu meski hampir tiap hari ada aja komentar yang mampir ke telinga saya.

Tiga bulan pasca stroke akhirnya Ibuk bisa kembali berjalan. Belum sepenuhnya normal. Harus dengan alat bantu. Akan tetapi Ibuk sudah mulai mandiri dalam segala kegiatan yang ada dalam rumah. Titik balik dalam hidup Ibuk. Beliau sadar akan kesehatan.

Meski berjalan dengan tertatih. Ibuk berusaha untuk rutin jalan pagi. Awalnya saya temani. Rute-rute pendek saja sekitaran rumah. Sampai kemudian Ibuk percaya diri untuk memperjauh rute jalan pagi. Alhamdulillah, dengan rutin berolahraga pagi Ibuk bisa kembali berjalan secara normal. Ibuk pun percaya diri untuk berolah raga sendiri.

Setelah itu, Ibuk pun sudah mulai mandiri. Jika tak suka dengan apa yang saya masak, beliau akan memasak sesuai selera sendiri. Di masa itu, Ibuk sungguh berhati-hati dalam mempersiapkan makanan yang beliau konsumsi. Lodeh yang merupakan masakan favorit beliau skip sendiri. saat bulan Ramadhan sebelumnya di mana kolak selalu ada di di meja makan pun beliau tinggalkan. Beliau ganti dengan setup buah dan mengurangi kadar gulanya.

Lauk tanpa minyak

Sejak saat itu, kami anak-anak Ibuk mulai aware terhadap pola makan. Meski tak bisa sepenuhnya meninggalkan minyak, tepung maupun gula. setidaknya kami memperbanyak sayuran dan menghindari untuk menggoreng lauk dengan minyak dalam jumlah banyak. Jika sangat ingin makan gorengan pun membuat sendiri dalam jumlah yang terbatas. Sebisa mungkin tak menyiapkan kerupuk atau kletikan yang disiapkan di rumah. Sebagai gantinya kami menyiapkan buah yang kami petik dari belakang rumah seperti pepaya dan jambu biji. Alhamdulillah ... kesehatan Ibuk dan kami pun cukup terjaga.        

Di luar itu, ternyata Ibuk mempersiapkan kehidupan akhiratnya. Tak melulu memikirkan dunia. Kata Ibuk dunia itu hanya sementara. Apalagi bagi Ibuk yang pernah mengalami serangan stroke. Bisa jadi karena tekanan darah atau kolesterol beliau. Sewaktu-waktu bisa saja Allah memanggil, begitu kata Ibuk.

Ibuk dan kehidupan setelah dunia

Kehidupan Ibuk setelah serangan stroke memberikan Ibuk sebuah kesadaran baru. Di luar berusaha untuk hidup sehat dengan asupan gizi seimbang dengan pengolahan yang tepat. Olah raga teratur setiap hari. Ibuk juga mempersiapkan kehidupan setelah dunia tak lagi beliau genggam.

Berbagai kajian beliau ikuti. Dalam satu minggu mungkin ada empat kelompok kajian yang beliau ikuti. Hal itu ternyata memberikan semangat baru. Ibuk juga aktif dalam kegiatan sosial keagamaan. Ternyata bertemu dengan orang banyak memberikan Ibuk keceriaan baru. Merasa lebih berdaya dan lebih mandiri sebagai perempuan karena tak sepenuhnya harus tergantung pada saya.

Ibuk pun tak sekadar mengikuti kajian. Akan tetapi Ibuk benar-benar mengimplementasi agama dalam kehidupan sehari-hari. Shalat wajib begitu tepat waktu. Puasa sunnah Senin Kamis dan Ayamul Bidh beliau laksanakan. Shalat Sunnah setiap hari dilakukan. Membaca Al Quran rutin beliau lakukan setelah shalat wajib maupun sunnah. Tak ketinggalan memperbanyak infak dan shadaqah semampu beliau.

Ibuk benar-benar mempersiapkan diri. Tawakal, bahwa Ibuk benar-benar mengusahakan mencari bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Berpasrah akan kehendak Allah kapan saja Allah inginkan.

Ibuk tak hanya menyiapkan diri untuk berpulang. Akan tetapi Ibuk juga mempersiapkan saya untuk ditinggalkan. Hingga saat Ibuk benar-benar berpulang. Meski sakit luar biasa. Saya tahu perpisahan saya dengan Ibuk sedemikian indah. Membisikkan kalimat tauhid di telinga. Saya menemani beliau sampai napas terakhir.

Kartini


Untuk mengenang perempuan terbaik dalam hidup saya. Sebuah buku saya tulis untuk beliau. Bukan sekadar release sebuah kehilangan. Akan tetapi rollercoaster kehidupan beliau sangat layak untuk dibagikan pada banyak orang. Tak hanya saya simpan sendiri dalam kenangan. 

Ibuk, sekolah pertama bagi saya. Teladan dalam seluruh kehidupan saya. Memang bukan ibu yang sempurna. Akan tetapi ketidaksempurnaannya merupakan bukti bahwa beliau adalah mahluk dan hamba Allah. Manusia yang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.