Ketika pra remaja mendapatkan surat cinta - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Kamis, 23 November 2017

Ketika pra remaja mendapatkan surat cinta


Assalamualaikum Temans,

Minggu ini Adek mendapatkan surat berwarna pink dan bergambar hati dari teman perempuannya. Isi surat tersebut adalah perasaan yang si gadis kecil kepada Adek. Ini sudah ketiga kalinya Adek mendapatkan surat serupa.

Kalau sebelumnya Adek cool saja nanggepinnya. Entah karena memang tak suka atau belum memahami tentang yang namanya perasaan. Ya kali, waktu itu ia masih klas 4 SD, gejolak hati mungkin tak seperti sekarang ketika ia sudah memahami perasaan suka pada lawan jenisnya.

Kali ini ia bete abis. Awalnya sih biasa aja ketika mendapatkan surat bergambar hati itu. Saya melihat effort gadis kecil itu juga lumayan gede karena ia membuat craft dari kain flanel yang dipakai sebagai amplopnya. Warnanya manis sekali, baby pink. Saat pulang membawa surat itu ia tersnyum kemudian menyerahkan kepada saya.

“Dari siapa, Dik?”

Ia menyebutkan nama. Saya pun tersenyum. Nama itu pernah saya dengar sebelumnya ketika ia bercerita tentang teman-teman sekelasnya. Saya pun membuka surat itu, lantas tertawa juga. Dulu saya mendapatkan surat yang seperti itu ketika saya sudah SMP. Di zaman saya  remaja dulu yang biasa kirim surat ke lawan jenis ya anak laki-laki. Waktu itu malunya setengah mati kalau sampai ketahuan orang jika mendapatkan surat dari lawan jenis.

Sekarang Adek membaca perasaan temannya di kelas 6 SD. Kalau sekarang terbalik. Anak perempuanlah yang mengirim surat kepada anak laki-laki. Dari cerita Adek, banyak dari teman perempuannya yang berani mengungkapkan perasaan kepada anak laki-laki yang disukai.

“Adek suka?”
“Enggak. Cuma aku nggak tega kalau nolak, Nda. Nanti dia malu.”
“Ada yang tahu dia kirim surat ke Adek?”
“Teman-temannya yang tahu.”
“Adek bilang ke temen Adek yang laki-laki?”
‘Enggak. Kasihan kalau dia jadi malu ketahuan kirim surat ke aku.”

Satu hal yang saya garisbawahi adalah Adek mempunyai empati. Ia tak ingin ada yang dipermalukan. Bahkan untuk mengatakan tidak pun ia merasa tak tega.

“Nggak usah dibalas nggak papa Dek. Tapi bilang sama anaknya kalau Adek mau berteman saja. Mau fokus sama pelajaran, nggak mikirin yang lain.”
“Aku tuh nggak bisa ngajak bicara anak perempuan, Nda. Aku ngomong kalau seperlunya aja. Kalau ditanya ya baru kujawab.”
“Berarti Adek mau balas suratnya?”
“Nggak tahu juga, pikir nanti aja.”

Dua hari setelah mendapatkan surat pertamanya,  Adek pulang ke rumah membaw surat lagi dari anak yang sama. Isi surat itu meminta jawaban. Ekspresi datar Adek menandakan ia tak tertarik untuk menanggapi.

“Mau dibalas?”

Ia mengedikkan bahu.
“Aku udah bilang sama temennya, suratnya nggak akan aku balas. Malah minta balasan. Anak perempuan itu kok ribet ya, Nda?”

Saya tertawa.

“Ah ... enggak juga. Kakak nggak kayak gitu juga kan?”
“Temen-temenku perempuan tuh kok banyak yang nyuratin anak laki-laki. Apa nggak mau po yo kalau ditolak.”
“Adek pernah nyuratin?”
“Enggak lah. Takut ketahuan Bu guru. Takut kalau Bunda sampai dipanggil ke sekolah.”
“Takut ditolak juga?” goda saya.

Ia tertawa.

“Kan Bunda pernah bilang kalau suka boleh tapi pacaran enggak. Kata Bunda kalau diterima nanti jadian. Jadian berarti kan pacaran.”

Diam-diam saya bersyukur. Nilai yang saya tanamkan ternyata masih diingat. Buat saya itu penting sekali anak-anak memegang nilai yang kita yakini. Untuk bekalnya menghadapi dunia saat menginjak dewasa nanti.


Nggak saya sangka, sehari kemudian, surat ketiga datang lagi. Kalau yang ini muka Adek kelihatan bete.
“Bunda aja yang baca. Aku besok pagi aja bacanya,” kata Adek sambil membantingkan tubuhnya ke tempat tidur.

Pengen ngelus dada sebenarnya ketika membaca surat yang ketiga. Yang ini sudah mirip debt collector minta balasan surat. Belum lagi Adek di DM oleh teman si gadis kecil ini mendesaknya untuk menerima hati.

“Malesin ya, Nda? Mosok kayak gitu. Kayak kena teror. Bunda dulu gitu juga nggak, nyuratin anak laki-laki yang Bunda suka?”

Tawa saya meledak.

“Nggak lah. Kalau Bunda, pantang perasaan Bunda diketahui duluan oleh anak laki-laki yang disuka.”
“Beda ya sama sekarang? Kids zaman now kebanyakan micin.”
“Lalu mau gimana, Dek?”
“Aku bales aja ya?”
“Emang Adek mau bilang apa?”
“Aku cuma mau bilang, we are just friend. I don’t like you.”

Saya ketawa lagi.

“Kalau Bunda yang jadi dia sakit banget lho dikasih balasan kayak gitu.”
“Kan memang aku nggak suka.”
“Tapi bukan berarti kata-katanya nyakitin Dek. Adek bisalah bicara yang lebih halus lagi.”

Semalam saya menemukan sebuah tulisan di kertas kecil. Sepertinya itu calon balasan untuk gadis kecil yang suka padanya.

Seseorang menyukai lawan jenisnya merupakan hal yang wajar. Tapi untuk sementara ini aku ingin lebih fokus pada pelajaran yang tidak kumengerti. Aku ingin lebih meningkatkan kemampuanku. Aku tidak ingin nilaiku turun seperti waktu kelas 4. Aku meminta maaf dan mengucapkan terima kasih.

Duh ... manisnya. Kalau saya yang dapat surat begitu meski ditolak saya tetep klepek-klepek loh :D

Temans, zaman sekarang kebebasan berbicara memang terbuka bagi siapa saja. Tak terkecuali kaum perempuan. Namun tetap saja untuk hal-hal yang menyangkut perasaan saya kok lebih sreg jika perempuan untuk lebih menahan diri. Saya juga punya anak perempuan. Selalu saya katakan padanya bahwa perasaan indah kita sebagai perempuan pada seorang jangan sampai diketahui banyak orang. Cukup kita, keluarga dan Allah yang tahu. Supaya kita terjaga sampai saatnya nanti.


Dan nasehat itu sampai hari ini masih sering saya sampaikan. 
Selamat hari Jumat ya, Keep on spirit!

9 komentar:

  1. Waah tapi si adek mau ya nunjukin ke bundanya. Baguslah terbuka mudah2an anak2ku bisa terbuka juga sama ortunya. Aku dulu SMP dapat surat cinta tapi gamaulah bilang2 k ortu maluuu. Apalagi dapetnya dr temen sekomplek perumahan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, masih belum rahasia rahasiaan sama ibunya. Msh bisa terkontrol lah :)

      Hapus
  2. Ih lucu juga ya si adek. Sakit dek, dibilang gitu ke cewek, hihi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dia bilang, kan aku emang nggak suka beneran hihihi

      Hapus
  3. sweet banget si adek, sangat tegas dan gentle. Saya juga punya bayi laki-laki mba, ah kebayang nanti dia menginjak pre - remaja apa ada kejadian begini juga yaa? semoga nanti kami jadi teman berbagi cerita juga :)

    BalasHapus
  4. Salut sama si ade moga2 anakku kuga nanti terbuka gini ya. Ngeri euy anak jaman now ciyus aku deg2an menghadapi masa abege nya Nadia mbak

    BalasHapus
  5. Salut sama si adek, salut sama ibunya. Beberapa waktu lalu, seorang teman memiliki kisah hampir sama. Si cewek protes tentang sikap si cowok lewat surat, ditujukan ke ortu si cowok. Duh...

    BalasHapus
  6. Jadi inget aku jaman smp atau sma kalau ada yang nyuratin kukasih mamahku atau kubuang atau kubakar, kalau yang ngasih barang kukasihkan temanku juga 😀

    BalasHapus
  7. Ih keren banget si Adek balesnya. Trus yang aku salut, dia cerita ke Bundanya. Semoga sampai besar dia tetap terbuka dengan orangtuanya.

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih