Bonding Kakak dan Adek. - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Selasa, 10 Januari 2017

Bonding Kakak dan Adek.


Diambil dari profile picture Aqiella Rifka SM

Saya melihat bonding antara Kakak dan Adek lebih kuat dari yang saya bayangkan ketika Kakak Study Tour. Kelihatan sekali kalau dia terpengaruh oleh ketiadaan Kakak di rumah. Maklum saja, sejak kecil Kakak dan Adek memang jarang sekali terpisah dalam jangka waktu yang lama. Pulang sekolah pun, jika salah satu tak tampak sepasang sepatunya yang lainnya akan segera menanyakan.
“Kakak kok belum pulang? Ekstra po?” atau “Adek kok nggak pulang-pulang? Main bola po?”

Kakak dan Adek tidur terpisah sejak Kakak mendapatkan haidnya. Namun mereka tetap selalu bersama jika berada di rumah. Entah bermain games atau sekedar menonton tayangan film  di youtube yang sudah saya pilihkan. Adek lebih sering datang ke kamar Kakak. Untuk belajar , sekadar bercanda atau menggoda. Jarak usia yang terpaut hanya dua tahun membuat saya merasa mengasuh dua remaja dalam satu waktu.

Mereka sering curhat-curhatan. Dengan embel-embel pesan,”Jangan bilang Bunda ya? Malu.”
Namun pesan itu sebenarnya tidak berlaku, karena keduanya pasti cerita ke saya. Siapa yang Kakak sukai, siapa yang suka ke Kakak, berapa banyak teman perempuan yang suka ke Adek, atau berapa kali si Adek dapet surat mereka lebih tahu duluan.

Hari Ahad sore, Kakak berangkat study tour. Adek sudah lebih pendiam dari biasanya. Adek minta ikut mengantar Kakak ke sekolah. Melihat Kakak bertemu teman-temannya kemudian selfi, Adek hanya cukup memandang lewat gerbang sekolah. Saya tahu, ia mulai kehilangan. Dan malamnya Adek tidur jauh lebih awal.

Senin pagi, saat berangkat sekolah saya tanya ke Adek.
“Adek kangen sama Kakak?”
“Agak kangen. Eh ... Biasa aja ding.”

Saya tahu, mungkin saja ia menyembunyikan perasaannya. Terbukti setelah pulang sekolah sampai menjelang tidur  ia mati gaya. Seperti orang bingung, mau ngerjain apapun serba salah.

Selasa pagi, setelah mengantar Adek berangkat sekolah, saya menge-charge baterai ponsel satu persatu. Saat mengambil ponsel lama saya yang sudah saya hibahkan ke Adek, saya pun tertawa. Biasanya ia akan memasang fotonya atau foto pemandangan sebagai wallpapernya. Entah kapan, saya sendiri nggak merhatiin, ternyata Adek telah menggantinya dengan foto  si Kakak. Bukan kebiasaannya. Namun saya memahami, perasaan paling dalamnya ia merindukan si Kakak.



Selasa sore, saya tak terlalu memperhatikan Adek yang keluar masuk kamar si Kakak. Saya pikir ia mengambil barangnya yang tertinggal di kamar Kakak. Setelah saya pulang takziah dari Jogja saya barulah saya mengamati. Ternyata Adek belajar di kamar Kakak. Ia melakukan hal-hal yang biasa dilakukan bersama Kakak. Saya kira setelahnya ia akan berpindah ke kamarnya sendiri jika sudah ngantuk seperti biasanya.

Ternyata tidak. 
Saat saya terbangun dini hari, saya menemukan kamar Adek kosong. Ketika saya tengok ke kamar Kakak, Adek tertidur pulas di sana.


Pagi ini ketika Kakak pulang, Adek menyambut dengan suka cita. Saat hendak sarapan, ia mempersilakan si Kakak mengambil makanannya lebih dahulu dan menyuguhkan jus jambu untuk si Kakak. Ia pun mengambil duduk di sebelah Kakak, mendengarkan si Kakak bercerita mendominasi pagi kami hari ini. Wajah Adek terlihat lega. Saat berangkat ke sekolah ia pun banyak tersenyum dan mencium punggung tangan tanpa mengganggu atau menggoda si Kakak.

Memang ada kalanya mereka bertengkar sampai salah satu menangis. Kadang mereka berebut perhatian saya. Saling mengadu jika salah satu melakukan kesalahan. Bagi saya itu sibling rivalry. Mereka mencoba mengambil hati saya. Namun saya berusaha mengatakan untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri tanpa melibatkan saya selama yang mereka ceritakan adalah hal yang remeh temeh. Tapi tetap saja, perselisihan mereka takkan berlangsung lama. Dalam hitungan menit mereka akan bersama lagi. Kembali tertawa seperti biasanya.

Kakak dan Adek adalah saudara sedarah. Mereka terikat oleh nasab yang sama. Namun jika kebersamaan mereka tak dipupuk sedari awal, ikatan persaudaraan akan melonggar. Bahkan tak mungkin kata saudara hanya sekedar predikat semata.

Saya lebih sering membeli satu barang untuk dipakai bergantian oleh mereka. Jarang sekali saya membelikan barang yang sama masing-masing satu orang. Kecuali untuk kebutuhan primer sekolahnya. Mereka akan memakai bergantian. Supaya mereka mengerti berempati dan bersimpati kepada orang lain. Juga memahami arti berbagi.

Selamat Hari Rabu ya, keep spirit to write, keep on pray


16 komentar:

  1. So sweet bacanya, Mba. Semoga keduanya rukun2 sampai besar, ya. Jd teringat duo E.T di rumah, jarak usianya berjauhan, tp suka kangen2an juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Makasih mbak Nia sudah menjejak. Yang dirumah pastinya juga akur kan?

      Hapus
  2. Aihh Adek bikin terharu. Bagaimana komen si Kakak tuh dengan kekangenan Adek?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kakak ketok jumawa dikangeni adek hahahah

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Kalau jaman saya kecil, baju sekolah itu model diwariskan ke adiknya. Motifnya versi ortu saya kala itu biar hemat. Krn anaknya banyak dan usianya gak beda jauh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kakak ga bisa kasih warisan seragam makrie, lha beda kelamin je heheheh

      Hapus
  5. Bahagia yaaaa kalau kakak adek kompak. Katanya meski kecilnya berantem muluk, gedenya bisa kompak. Awet kompak yaaa kakak dan adek ����

    BalasHapus
  6. punya anak 2 itu memang seru ya mbak...bertengkar sebentar baikan lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaaa... Dua aja ramenya pol, apalagi yang sampai tiga lebih yaaa. Makasih mb, sudah menjejak

      Hapus
  7. Waaah keren ya. Anakku kalau ngumpul suka nggak kompak tapi kalau salah satu nggak ada pasti nyariin heheee...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Namanya sedarah ya maklus, kalo nggak ada dikangenin

      Hapus
  8. aaaaakk ini co cweett banget mbaaa
    kompak-kompak selaluuu kakak-adekkkk

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih