Menjawab pertanyaan pra-remaja tentang mimpi basah - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Senin, 19 September 2016

Menjawab pertanyaan pra-remaja tentang mimpi basah

Ketika saya melihat lingkungan serta hal-hal yang terjadi di sekitar kita mengenai  remaja  kekinian, rasanya ngeri-ngeri sedap membayangkan seperti apa lingkungannya sepuluh tahun ke depan. Saat ini mendengar cerita si Kakak tentang teman-temannya kadang membuat saya ngeri.  Sulit membayangkan anak gadis seusia si Kakak sudah berpacaran, bahkan sampai kelewat batas.

Dengan si Kakak, saya lebih mudah ngobrolin akhlak maupun adab karena kami sama-sama perempuan. Saya lebih mudah ngobrol tentang kekonyolan yang saya lakukan di usianya, atau hal-hal yang boleh dan tidak dilakukan untuk menjaga pergaulan.  Selain karena sudah lebih dewasa pemikirannya dibanding beberapa waktu yang lalu, dia tak sungkan untuk bertanya apapun ke saya, apalagi yang ada kaitannya dengan seksualitas. Saya mengikuti sejauh apa si Kakak mengetahui, serta menjawab pertanyaan dengan bahasa yang mudah ia pahami. Meski menyusun kata untuk memahamkan si Kakak juga bukan hal yang mudah. Namun sejauh ini, menurut saya sudah berjalan baik.

Nah ... gimana nih dengan si Adik? Bungsu saya yang usianya baru 10 tahun, laki-laki pula, kadang bertanya hal-hal yang saya nggak paham. Contohnya, ketika saya ditanya bagaimana rasanya mimpi basah, saya harus berpikir lama sebelum menjawab, “Bagaimana kalau Adik tanya Ayah?”


Si Adik harus bersabar menunggu Ayah pulang seminggu kemudian. Maklumlah,  Ayah Bundanya tergabung dalam barisan pejuang LDR. Kebetulan si Adik kurang suka bicara via telpon. Dia akan menunggu Ayah pulang, kemudian ngobrol di meja makan setelah makan malam akan menjadi waktu favorit untuk bertanya apapun.  

Seminggu kemudian, Si Ayah pun cukup lama terdiam sebelum kemudian menjawab,” Rasanya enak dan nyaman, Dik.”

Si Adik nggak puas dengan jawaban Ayah. Dikejarnya jawaban Ayah.
“Sama coklat enak mana, Yah?”
“Enak mimpi basah.”
“Kalau sama Bakso?”
“Lebih enak lagi.”
“Wah ... pasti enak sekali rasanya. Coklat dan bakso aja kalah enak. Emang mimpinya tentang apa to, Yah?”

Hening. Meski saya menahan diri untuk tidak tertawa.
“Mimpinya melakukan kegiatan bersama.”
“Kayak Pramuka atau Ekstrakurikuler?”

Duh ...
Ayahnya cuma mesem.  Pemahamannya emang baru segitu, tapi pertanyaannya udah bikin si Ayah berpikir cukup keras sambil memilih diksi yang pas.
“Ya ... nggak melibatkan banyak orang gitu sih, Dik.”
“Kayak main badminton?”

Sambil tertawa si Ayah menjawab,” Semacam itulah Dik.”
Jawaban Ayah mungkin saja belum melegakan si Adik. Sepertinya ia masih harus berpikir keras mencerna jawaban Ayah.
“Kayak main badminton, tapi lebih enak daripada coklat sama bakso. Kayak apa ya?”
“Nggak usah dipikirin sekarang. Nanti pada waktunya Adik akan tahu.  Nanti kalau Adik sudah SMP, kita obrolin lagi. Oke?”
Ayah dan Adik pun ber hi-five, kemudian mengganti topik obrolan.

Saya dan si Ayah harus bersiap-siap. Dua atau tiga tahun lagi kami punya ABG baru di rumah. Pastinya apa yang ingin diketahui si Adik berbeda dengan apa yang sudah saya sampaikan ke Kakak. Memberikan pemahaman ke anak disesuaikan dengan umur dan apa sudah diketahui oleh anak. Nggak usah panik. Semua orang tua pasti ngalamin kok, kesulitan menjawab pertanyaan anak-anak.

Happy Monday,and  Keep on spirit!

17 komentar:

  1. Memang harus pinter cari kata-kata yang pas. Anak saya laki-laki semua, urusan begitu saya kadang merasa risih juga. Lanjut diskusi dengan ayahnya. Saya berharap anak-anak tidak mencari tahu di tampat lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, mikirnya semingguan hahaha ... makasih sudah mampir yaa

      Hapus
  2. Lumayan berfikir keras jg yaa mba, biar ndak salah tangkap. Susah2 gampang :)
    Salam kenal mba, sy relita :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, bikin cenat cenut kata si ayah. Salam kenal mbak Relita, kita sudah satu grupp di Gandjel Rel lho. Terima kasih sudah mampir.

      Hapus
  3. Lumayan berfikir keras jg yaa mba, biar ndak salah tangkap. Susah2 gampang :)
    Salam kenal mba, sy relita :)

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ntar pasti ngerasain kalo punya anak cowok. Terima kasih sudah mampir ya

      Hapus
  5. Itu juga yg sedamg saya pikirkan utk calon abg saya (11 thn) mmg hal2 semacam ini harus melubatkan si ayah ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Rita, kita emak-emak begini kan nggak pernah tau kayak apa rasanya mimpi gitu. Terima kasih sudah mampir :)

      Hapus
  6. hihi ayahnya pinter yaakss..... aku aja gak kepikiran gitu....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah briefing duluan sama Bundanya, meski pertanyaannya bersayap terus. Terima kasih sudah mampir yaaa :)

      Hapus
  7. pertanyaan yang harus dijawab dengan berfikir keras nih.. hehe
    sudah lama jalan2 di blog ini, tapi baru kali ini meninggalkan jejak..:D

    Salam kenal mba :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah menjejak, Mas Andi, semoga betah :)
      Salam balik yak

      Hapus
  8. Well, emak juga harus belajar. Nggak bisa cuma ngandelin pasangan si emak :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaa ... Si emak kudu pinter lahir bathin kayaknya. Terima kasih sudah menjejak mb Triani. :)

      Hapus
  9. Aloha mbk Irfa, duh kayak tantangan baru ortu era masa kini yg harus bijaak n cermat mendampingi anak2 yg mulai tumbuh pra remaja.
    Untung saya n suami open minded dan sring diskusi dengan anak2 scra santai.
    akun IG & Twitter : @cputriarty

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo juga mb,
      Setiap keluarga selalu memiliki caranya sendiri untuk menjadikan anak-anaknya pribadi yang berkarakter baik. Salut bisa open minded, sayanya kadang masih sering pake kaca mata kuda je. Terima kasih sudah menjejak ya mbak :)

      Hapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih