Ketika anak terpapar pornografi - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Kamis, 22 September 2016

Ketika anak terpapar pornografi

Assalamualaikum ...
Bismillahirrahmaanirrahiim. Saya ingin berbagi cerita. Saya harus berpikir lama untuk mengambil keputusan berkata ‘ya’ kepada diri sendiri. Karena pada awalnya saya menganggap ini adalah sebuah aib. Namun ketika waktu berjalan dua tahun, banyak teman yang mempunyai pengalaman yang sama, serta perkembangan yang bagus, saya terdorong untuk berbagi dengan teman-teman semua.

Si Kakak pernah terpapar pornografi. Itu terjadi dua tahun yang lalu ketika ia masih duduk di bangku klas 6 SD. Sebenarnya saya termasuk ibu yang ketat terhadap penggunaan internet dan ponsel. Saya selalu mengatakan kepada anak-anak jika ponsel bisa didapat jika mereka sudah duduk di bangku SMP. Tentang penggunaan internet pun sangat saya batasi. Kakak dan Adik punya jatah satu hari untuk mengakses internet selama tiga jam. Itu pun dengan pengawasan saya karena laptop berada di ruang keluarga. Sejauh itu saya merasa sangat aman. Apalagi melihat history di laptop tak ada yang mengkhawatirkan.

Satu hari, saat saya bersih-bersih kamar si Kakak. Saya menata letak buku yang berantakan di meja belajarnya. Sebuah buku tulis berwarna pink tiba-tiba saja menarik perhatian saya. Saya sisihkan buku itu, kemudian membukanya setelah selesai merapikan buku si Kakak.

Saya mengenali tulisan Kakak. Mencermati tulisan Kakak yang semakin bagus pilihan diksinya. Namun ketika sampai di halaman ketiga tangan saya gemetaran. Ia menuliskan sesuatu yang tak pernah saya bayangkan. Saya mual. Saya seperti membaca buku stensilan di masa remaja saya. Seperti tulisan Anny Arrow yang sempat saya baca tiga paragraf berpuluh-puluh tahun yang lalu. Sebuah buku yang membuat saya mau muntah ketika membaca tak genap satu halaman di masa lalu.


Shock?
Tentu saja. Kakak usianya baru sebelas tahun waktu itu. Nggak mungkin Kakak bisa menulis adegan itu secara detil tanpa pernah melihatnya sama sekali. Saya yakin, ia pasti pernah melihat. Namun tak mungkin ia melihat itu di rumah.

Saya berusaha mengingat. Saya menggali memori kira-kira kapan ia mendapatkan pengalaman yang menurut saya mengerikan. Lantas saya pun teringat, ia pernah berpamitan mengerjakan tugas kelompok ke warnet.

Saya hanya bisa menangis pagi itu. Saya menyesali. Biasanya saya selalu meminta Kakak mengerjakan tugas kelompok di rumah apabila harus menggunakan internet. Namun mengapa hari itu saya nggak ‘ngeh’ ketika ia beralasan temannya bosan ngerjain tugas di rumah? Kenapa saat itu saya begitu longgar dan mengatakan ya, meski saat ia pergi hati saya terasa tak enak?

Rasanya tak sabar menunggu ia pulang sekolah. Kepala saya sudah berasap rasanya. Si Ayah bolak balik menelpon, meminta saya untuk tetap tenang menghadapi si Kakak.

Sore hari saat si Kakak pulang sekolah. Saya berusaha bersikap biasa saja. Mendengarkannya dan si Adik berceloteh. Berusaha, meski sangat sulit menarik bibir untuk memberikan sebuah senyuman. Selalu mata saya berkaca-kaca menatap si Kakak. Saya takut dampak buruk yang diakibatkan oleh paparan pornografi tersebut pada si Kakak.

Malam hari, ketika si Adik sudah tertidur, saya mendekati Kakak sambil membawa buku warna pink itu. Saya letakkan dengan hati-hati buku itu di depannya. Sedetik ia mengerutkan kening. Setelah itu ekspresi terkejut nampak di wajahnya. Matanya menatap saya takut-takut. Ia tertunduk. Ketika bahunya saya peluk, kepalanya makin dalam tertunduk. Ia meneteskan air mata.
“Kenapa kakak menangis?”

Ia terdiam cukup lama, kemudian menjawab dengan suara lirih.
“Takut.”
“Kenapa?”

Ia terdiam. Masih dengan kepala tertunduk.
“Kakak melihat itu dimana?”
“Warnet.”
“Sama siapa?”
“Sama N dan D.”

Saya menghela napas. Dua-duanya saya kenal. Salah satu dari teman yang ia sebut adalah putri seorang pendakwah.
“Kakak tau apa yang kakak lihat?”
Dia mengangguk.
“Itu film porno. Tak pantas dilihat. Kok bisa melihat itu?”
“D yang nunjukin. Katanya ‘eh, tak liatin. Ini seru lho’. Gitu katanya.”

Saya mengucap istighfar berkali-kali. Putri sang pendakwah itu yang menunjukkan link pornografi pada anak saya.
“Kok D bisa tau?”
“Katanya pernah lihat youtube di hp mas nya.”
“Kakak lama lihatnya?”
“Enggak.”
“Berapa menit?”
“Nggak sampai satu menit. Aku minta ganti.”
“Yang Kakak rasakan apa waktu lihat itu?”
“Jijik.”
“Kalau jijik kenapa kakak tuliskan?”
“D minta ditulisin cerita yang wow. Yang pernah dibaca.”

Perasaan saya makin tak enak. Kenapa ada pula yang dibaca?
“Baca apa?”
“Baca cerita yang kutulis itu. Diliatin sama D.”

Lemas tubuh saya. Rasa takut semakin besar. Seingat saya, ia pamit ke warnet dua atau tiga kali.
“Berapa kali bacanya?”
Lirih, serupa bisikan ia menjawab,”tiga kali.”

Saya meneteskan air mata. Si Kakak memeluk tubuh saya erat ketika melihat pipi saya basah.
“Maaf ya Nda? Maaf.”

Berulang kali Kakak mengucapkan kata maaf sambil tersedu. Saya pun membalas dengan pelukan yang sama erat. Saya tau ini salah satu hal terberat dalam hidupnya. Merasakan takut, malu, dan bersalah yang bercampur jadi satu. Setelah reda tangisnya, kembali saya bertanya.
“Apa yang kakak rasain pas kakak baca dan  nulis cerita itu?”
“Ada yang geli-geli gitu.”
“Dimana?”
“Di bawah perut.”
“Itu yang dinamakan terangsang, Kak. Yang kakak lihat itu film porno. Yang kakak baca juga cerita porno. Semua berbahaya. Banyak sel di otak yang akan mati jika Kakak baca atau nonton film porno terus-terusan.”
“Terangsang itu berbahaya?”

Duh ...
Saya tak pernah membayangkan bahwa saya harus menerangkan tentang hal seperti ini ketika si Kakak masih SD. Bayangan saya, saya akan ngobrolin hal ini saat si Kakak punya bekal ilmu biologi dari sekolah. Prediksi saya ngobrolin hal ini ketika Kakak SMP ternyata meleset.
“Tentu saja, apalagi bagi yang belum menikah. Itu akan membuat pikiran nggak fokus. Kakak akan sulit belajar, Shalat juga kepikiran. Kakak nggak mau seperti itu kan?”

Ia menggeleng.
 “Melihat aurat orang lain dilarang juga kan? Allah membuat larangan itu pasti ada maksudnya. Salah satunya, mencegah dari perbuatan buruk.”
“Maafin aku ya Nda?”
“Janji ya Kak? Kalau ada yang ngajak melihat lagi jangan mau.”
“Aku takut.”
“Takut kenapa?”
“Kalau dijauhin nanti aku nggak punya temen lagi.”

Kekhawatiran khas anak ABG. Takut nggak punya temen.
“Enggak. Pasti tetep mau berteman.”

Sejak hari itu, saya makin ketat mengawasi anak-anak, apalagi yang kaitannya dengan internet. Untuk youtube saya pasang restricted mode.   Saya pun mengaktifkan safe search filter untuk mengamankan pencarian via google. Dan nggak kurang-kurangnya saya bicara tentang penggunaan internet untuk hal-hal yang bermanfaat. Boleh untuk hiburan, tapi saya yang akan memilihkan apa saja yang boleh diakses oleh anak-anak.

Saya makin rajin menunggui anak-anak mengakses internet. Saat si Kakak mulai mempunyai gadget, saya sejak awal sudah berkomitmen dengan si kakak. Saya diperbolehkan membuka gadget kakak kapanpun. Ketika saya memasang aplikasi secure teen di gadget Kakak, dengan mudahnya ia uninstall aplikasi itu. Awalnya saya marah saat tau hal itu. Kakak sendiri juga merasa nggak dipercaya, merasa diawasi terus menerus saat menggunakan gadget. Kemudian kami membuat kesepakatan kakak akan menggunakan ponsel di area keluarga, nggak dibawa ke kamar. Waktunya pun hanya setelah pulang sekolah sampai menjelang maghrib. Dan sejauh ini, kakak tak lagi perlu dikhawatirkan.

Ada satu hal yang membuat saya bersyukur dan mengambil hikmah dari kejadian ini. Saya dan kakak jadi semakin dekat. Apapun yang Kakak ingin tau selalu  ditanyakan langsung ke saya. Ia pun menjadi peer conselor buat teman-temannya.  Apalagi setelah membaca buku Cakap Bermedia Sosial, ia makin berhati-hati dalam menggunakan internet dan bermain media sosial. Ia bisa menasehati temannya tentang hubungan dengan orang tua, seksualitas dan cara berinternet secara sehat. 
Kok saya tau? 
Iya, saya buka ponselnya dan membaca semua history chatnya. Kakak tak pernah menghapus chatnya. Ia merasa tak ada yang perlu disembunyikan dari orang tuanya.

Bagaimana dengan tulisannya?
Buku itu saya musnahkan. Saya membeli banyak buku handbook for teen. Ia pun makin sering melahap buku yang bisa menyalurkan imaginasinya dengan baik, kemudian berlatih menulis.
Hasilnya? Tahun lalu ia menjadi finalis ARKI 2015 yang diadakan oleh MIZAN dan Kemendikbud. Semoga hal ini menjadikannya lebih banyak belajar lagi. Untuk masa depannya.

Alhamdulillah, sudah hari Jumat. Si Ayah akan pulang nanti malam. Hihihi ... Norak ya? Biarin ah. Pejuang LDR ini.
Keep on Spirit, Keep on Pray!


23 komentar:

  1. Wah Mak, sama dengan saya pengalamannya, cuman saya belum punya solusi. Saya cuman bisa bilang bahwa itu ada ratingnya 17 tahun artinya memang harus usia segitu karena usia dibawahnya belum siap mengerti tentang apa yang tersurat dan tersirat. Makasih tipsnya, nanti bisa jadi bahan obrolan sebelum tidur.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sami-sami Mak Junita. Terima kasih sudah berkunjung yaaa :)

      Hapus
  2. Merinding aku bacanya Mak... Anakku masih 3 tahun, belum pengalaman ditanyain begituan. Tapi takut juga kalau tiba2 luput dia kepapar pornografi. Semoga kita dimampukan jadi orangtua yg bijak internet ya Mak... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga nggak ngalamin Mak, kita yang jadi ortu harus makin waspada. Semoga internet takkan menjerumuskan anak-anak kita nantinya. Terima kasih sudah berkunjung ya Mak? :)

      Hapus
  3. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang bijak ya mak. Membaca dan kemudian berusaha memperbaiki pola asuh saya buat anak anak. Terimakasih sudah berbagi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Semoga bisa menjadi madrasah untuk putra putri kita ya Mak? Terima kasih sudah berkunjung :)

      Hapus
  4. Tfs mak. Kalo aku jg pernah punya pengalaman kecolongan pdhl anakku msh 7 tahun. Tp yg dilihat kartun sih dan ngg ada adegan porno. Tp bikin galau jg krn kontennya mmg gak pas utk anak2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bikin kita makin waspada ya Mak, semoga anak-anak kita aman dari bahaya teknologi informasi yang seperti edang bermata dua. Terima kasih sudah berkunjung Mak :)

      Hapus
  5. Huhu...ngeri juga ya mak..
    Aku juga pernah punya pengalaman kayak gitu. Waktu itu ikhsan masih umur 4th ktika tanpa sengaja melihat blue film di laptop tetangga. Si anak tetangga yg berumur 6 th pamerin laptop ayahnya yg ga dibawa kntor. Dinyalain dan tanpa sengaja nge-klik file tuh film. Alhasil anak2 yg maen sama dia ngeliat adegan syuur itu. Bener2 shock aku.
    Untung ikhsan langsung lari pulang dan bilang ke aku. Aku langsung datangin anak itu dan tak minta matikan. Perlu beberapa bulan utk membantu ikhsan melupakan kejadian itu.

    Kapan2 aku ceritain juga di blog ku pengalaman dan cara aku mengatasinya.

    Salam kenal
    Dari jogja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Takkan mudah bagi anak-anak kita untuk melupakan hal-hal tersebut Mak. Yang bisa kita lakukan hanya membuat pingsan memori tentang hal-hal buruk itu dengan menimpa dengan kenangan masih di hari-harinya. Terima kasih sudah berkunjung ya Mak, salam balik dari Magelang :)

      Hapus
  6. Aku kira yang mengalami ini anak cowok aja. Ternyata anak cewek juga. Untung Mb Irfa dekat sama si kakak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hal buruk tidak memilih jenis kelamin, MakDib. Aku masih sering khawatir nek dengerin cerita Kakak tentang gaya temennya pacaran, ada yang sering nonton hentai, duh ... kui nang kota cilik lho. Piye sik urip nang kota gede ya?
      Maturnuwun sudah menjejak yaaa

      Hapus
  7. Mak irfa bermanfaat sekali tulisan ini, bisa untuk mecegah biar g kecolongan saat saya menjadi orang tua nanti.
    Saya juga mulai rajin nemenin ponakan yang suka liat video di youtube, meski video kartun tapi masih ada kekawatiran.
    Terimakasih sharing pengalamannya mak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mb Via, pendampingan untuk anak-anak dalam mengakses internet maupun tayangan televisi memang sangat perlu. Salut mb Via, ponakan dijagain terus. Kartun pun banyak yang nggak aman buat anak-anak mb. Terima kasih sudah menjejak :)

      Hapus
  8. Mbak, ak mak deg. Duh, ak mbayangke Aila. Njuk kedandapan dewe. Ilmuku sebagai ibu masih sangat jauh ya mbak... Ya Allah kudu sinau meneh... sinau... sinau... #mrebesmili

    BalasHapus
    Balasan
    1. Proses Dee ... Aku juga dulu ijih sok gedandapan ngadepi anak-anak. Nuwun wes menjejak yaaa

      Hapus
  9. Mba irfa, terima kasih tulisannya, menginspirasi banyak orang tua untuk keep watching thd bahaya pornografi dan membangun komunikasi pada anak yg terpapar pornografi.

    BalasHapus
  10. Mba irfa, terima kasih tulisannya, menginspirasi banyak orang tua untuk keep watching thd bahaya pornografi dan membangun komunikasi pada anak yg terpapar pornografi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mandaaa ... tengkyu sudah berkunjung :)

      Hapus
  11. Sharingnya sangat luar biasa, terlebih bagi saya yg masih harus banyak belajar utk jd orang tua. Harus saya akui, terkadang saya masih menggunakan kalimat yg muter-muter utk menjelaskan.

    Terima kasih ya mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. MakRi, embok itu kudu pinter cari kata dan ngeles :D
      Makasih udah berkunjung yaaaa

      Hapus
  12. Semoga generasi kita dihindarkan dari pengaruh2 yg kurang baik utk perkembangan n kemajuan kehidupan modern ini☺

    BalasHapus
  13. Saya jadi khawatir dengan pergaulan anak sekarang smg anak2 kita dilindungi y mba, btw saya suka cra mba membuat pingsan otaknya ttg pornografi dengan terus menerus menjejali edukasi dan buku sampe jadi finalis ARKI. semuanya adalah pembelajara y mba terimakasih mau berbagi :)

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih