Belajar ketegaran dari seorang remaja - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Minggu, 31 Juli 2016

Belajar ketegaran dari seorang remaja

Sumber: twitter @AinNadiaSafira

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Harusnya saya menulis tentang hal ini dua bulan yang lalu ketika kisah ini baru saja terjadi. Namun setiap kali kalimat baru terangkai beberapa saja, saya sudah meneteskan air mata. Merinding setiap kali mengingatnya. Mungkin sampai tiga kali saya menyampaikan kisah ini kepada Anya, gadis kecil saya. Untuk menggugah semangat. Untuk memahami arti sebuah ketegaran.

Sebuah kisah yang menginspirasi. Bukan dari laki—laki atau perempuan dewasa yang membuat hati saya tergetar. Namun seorang remaja putri yang usianya belum genap lima belas tahun. Gadis itu, kakak kelas Anya. Putri sahabat saya yang telah berpulang beberapa waktu lalu.

Sang pembawa kesetiaan bermata indah seperti batu safir. Kira-kira begitulah kalau saya mengartikan namanya. Saat usianya belum genap 1 tahun, ia mengalami kelainan di kepalanya. Bocah lincah itu bisa saja merangkak dengan ceria tiba-tiba pingsan tanpa ada tanda-tanda. Dokter mengatakan bahwa ada beberapa syaraf yang terendam cairan di dalam kepalanya.  Dan di usianya yang belum genap 2 tahun pun ia harus berada di meja operasi.


Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas. Anak ragil yang selalu membawa keriuhan dalam rumahnya. Anak yang selalu ceria. Anak yang bersemangat. Anak yang selalu berusaha menjadi yang terbaik dalam bidangnya.

Meski anak bungsu, ia jarang bermanja-manja. Sangat mandiri, tak suka bergantung pada orang lain. Saat berada di bangku SD, ia sudah melakukan Shalat Tahajud. Dan mengungkapkan sebuah keinginan yang sangat jarang tercetus dari mulut anak SD. Ingin umroh bersama keluarganya. Kecerdasan spiritualnya yang berkembang pesat bukan?

22 Mei 2016, pukul 21.50 abahnya berpulang setelah berjuang melawan tumor otak yang sudah menyebar di kepala. Dalam rintik hujan malam itu, Ia menangis bersama kedua kakaknya. Dalam pelukan sang ibu, ia memanggil abahnya.

Tak berapa lama, setelah tangisnya mereda, ia teringat sesuatu.  Esok hari, ia bersama keempat temannya mewakili sekolah untuk lomba tari modern di kabupaten.
“Ibuk, aku besok tetep berangkat.”
Sang Ibu tertegun.
“Kalau teman-temanmu saja gimana to, In? Sekolah juga pasti mengerti posisimu sekarang.”
“Enggak, Buk. Aku harus ikut lomba. Aku ketua timnya. Untuk lomba ini aku sudah berlatih tiga bulan untuk mempersiapkan. Gimana nanti temen-temen kalau nggak ada aku? Tariannya jadi nggak ada maknanya,  Buk.”
“Tapi kondisinya sekarang beda ...”
“Abah juga tau aku latihannya kayak apa. Tolong, Buk. Ijinkan aku ikut lomba besok.”

Menghadapi kekerasan tekadnya, sang ibu pun berkata pada sang kepala sekolah yang berada di rumah itu mengikuti proses perawatan jenazah sang Abah. Dengan cepat kepala sekolah pun menghubungi panitia lomba, meminta untuk mendapat kesempatan tampil pertama kali. Supaya gadis ini bisa mengejar waktu sampai rumah. Untuk menghadiri pemakaman sang ayah.

Pagi hari, setelah shalat Subuh, gadis ini pun bersiap-siap. Saat berpamitan dengan sang ibu, air matanya pun kembali mengalir. Sesaat sebelum mencium tangan sang ibu, dia berkata,
”Buk, ijinkan aku pagi ini melupakan Abah. Supaya aku bisa mempersembahkan yang terbaik buat sekolah.”

Di antar kakak perempuannya ia berangkat ke sekolah yang berada di depan rumahnya. Di sana sudah ada salah satu ustadz yang semalam mengikuti prosesi perawatan jenazah abahnya. Gadis ini kembali meneteskan air mata. Air matanya membasahi kemeja sang ustadz dan kakaknya. Dalam pelukan dua orang yang mengasihinya, ia tersedu.
“Nangis aja nggak papa. Tapi nanti kalau sudah di make up jangan nangis lagi,” pesan kakak perempuannya.

Gadis itu melakukan pesan kakak perempuannya. Meski ketika akan berangkat lomba matanya berkaca-kaca. Apalagi saat kakaknya berkata,” Jadikan ini persembahan terakhir buat Abah.”
Sekuat tenaga ia menahan tangisnya. Untuk berlomba.

Dan gadis ini tampil di panggung tanpa air mata. Ia benar-benar tampil seakan tak ada beban. Ia menyimpan segala tangis dan milyaran kesedihannya. Untuk melunasi tanggung jawabnya sebagai ketua tim tari sekolahnya.

Begitu turun dari panggung, sang MC lomba berkata. Bahwa salah satu peserta yang baru saja tampil ayahnya berpulang tadi malam. Mendengar kata-kata sang MC, pecah sudah tangisnya. Semua orang yang tergabung dalam tim sekolahnya berpelukan, menangis bersama gadis itu.

Sore hari, ada senyum di wajah gadis itu. Saat sang Ibu dan kakak perempuannya masih menemui para pentakziah, ia memeluk sang ibu dan berbisik, ”Buk, kami juara satu. Besok Agustus maju lomba tingkat provinsi.”

Saya sangat tahu. Gadis itu mewarisi kekuatan orang tuanya. Kekuatan sang abah untuk berjuang. Kekuatan sang Ibu untuk bertahan dalam duka. Ia mempunyai seluruh semangat sang abah dan ketegaran ibunya. Saya tak mungkin bisa sekuat itu jika berada di posisinya.

Terima kasih, Mbak Ain. Kau sudah memberikan sebuah pelajaran tak ternilai untuk orang-orang di sekitarmu. Insya Allah kau akan menjadi qurrotaa’yun seperti yang dipesankan Abah saat masih sehat.

27 komentar:

  1. Masya Allah...luar biasa semangatnya. TFS, Mbak Irfa. btw, namanya cantik banget, sesuai orangnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Nunung, mereka keluarga yang luar biasa. maturnuwun sudah mampir

      Hapus
  2. Putri sahabat saya yang telah berpulang beberapa waktu lalu.... #semula kukira yg berpulang putrinya...kurang konsentrasi sy..

    BalasHapus
  3. Merinding bacanya, tegar sekali
    Semangat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Witri, waktu saya diceritain ibunya saya bisa tahan nggak nangis. Begitu keluar rumah nggak kerasa air mata dleweran nggak bisa ditahan. makasih udah mampir mbak

      Hapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mirip nama dan sering dikira laki-laki hehehe. makasih sudah mampir mas Irfan

      Hapus
  5. Serupa tak sama dg si kecil Titin berkepang satu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga mmbrambang baca tulisanmu waktu itu. Tengkiu udah mampir

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus
  6. mbrebes mili air mataku mbak irfa....smp gak terbendung, untung gak ada yang liat heeee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku nulis e yo karo mrebes mili mbak T_T

      Hapus
  7. Mengharukan... thanks sharenya .. sangat menginsiprasi

    BalasHapus
  8. Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus
  9. Balasan
    1. Mattur nuwun Mbak Amalia sudah berkunjung :)

      Hapus
  10. Balasan
    1. Aku butuh waktu dua bulan, bahkan lebih untuk nulis tentangnya mbak. Sebelumnya udah nyoba bolak balik nggak kuat atiku. Insya Allah dia kuat banget. She's amazing.

      Hapus
  11. Ya Allah...mungkin kalo aku yang mengalami nggak akan kuat kayak Ain. Tegar banget ya

    BalasHapus
  12. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih