Intuisi - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Selasa, 29 Maret 2016

Intuisi

Awalnya, saya mendengar kata intuisi dari Mbak Yana, mbak saya lain bapak dan ibu. Hehehe ... iya, dia sahabat saya, tapi lama-lama udah kayak sodara sendiri. Ia seorang psikolog. Saya benar-benar mengagumi segala analisa dan firasatnya yang tajam dan hampir 99% tepat. Setiap pikiran saya bisa ia tebak dengan tepat. Di depannya, saya seperti buku yang terbuka. Buku yang siap dibaca.

Dalam bahasa yang lebih familier, intuisi dikenal dengan kata 'firasat'. Coba deh, diingat, pernah nggak sih, ketika kita sedang melakukan sesuatu tiba-tiba ada yang berdesir di hati kita? Pernah kan, tiba-tiba saja kita merasa akan terjadi sesuatu pada diri kita?


Saya beberapa kali mengalaminya. Dan nyesel banget nggak mempercayai intuisi yang hadir dalam diri saya. Tahun 2009, saat saya awal-awal menggeluti dunia perbukuan. Di sebuah penerbitan yang merangkap distributor, saya dikenalkan marketing penerbitan itu dengan administrasi yang baru. Saat itu saya merasa nggak enak banget ketika ngobrol dengan admin baru itu, sebut saja namanya mbak Afro. Saat itu seperti ada yang mengatakan pada saya untuk lebih berhati-hati padanya. Saya menepis perasaan nggak enak di hati saya. Saya nggak mau suudzon. Dalam rentang waktu setahun saya akrab dengan Mbak Afro. Dia udah kayak adik saya sendiri. Saya sangat mempercayainya. Bahkan ketika kaitannya dengan pekerjaan dan uang, saya sangat percaya. Apa yang terjadi? Ternyata ia bermasalah. Ia menyeret saya dalam pusaran kericuhannya di kantor itu. Saya harus bolak balik klarifikasi, mencari bukti, pokoknya segala hal yang membersihkan nama saya di penerbit itu. Allah memang tak tidur. Bukti-bukti bahwa saya bersih disimpan oleh Mbak Afro di satu tempat yang sulit di temukan. Alhamdulillah.

Kemudian berbagai cerita tentang hubungan Long Distance Relationship yang juga saya jalani. Seorang teman bercerita betapa sang suami selalu romantis dan membutuhkannya. Suami takkan pernah lari dari pelukannya. Karena suami sangat mencintainya. Tiba-tiba bathin saya mencelos. Setiap kali ia bercerita tentang keromantisan sang suami, ada yang melintas di kepala saya. Ada yang salah dengan hubungan mereka. Dua tahun kemudian, saya mendengar suaminya pindah ke lain hati. Juga bodi.

Yang masih tertanam jelas di ingatan saya. Dua tahun lalu, saya diajak membuat sebuah surprise party untuk salah satu sahabat saya. Yang membuat surprise party adalah suami sahabat saya. Surprise party itu dalam rangka anniversary pernikahan mereka yang ke 17. Tentu saja saya mau. Saya pun ikut heboh nyiapinnya. Bagaimana tidak? Buat saya, keluarga sahabat saya ini menjadi panutan bagi saya. Secara kasat mata saya melihat betapa harmonis keluarga mereka. Di tambah dua putri cantik dan cerdas yang menjadi mutiara mereka. Benar-benar sebuah keluarga sakinah versi saya. 
Lalu saat surprise party berlangsung. Sahabat saya menangis ketika suaminya menyanyi untuknya. Saya ikut bertepuk tangan dan meneteskan air mata. Ikut berbahagia tentu saja. Dan saya pun mundur ke belakang bersama sahabat-sahabat lain yang terlibat dalam surprise party itu. Ketika saya mengangkat wajah saya. Menatap sahabat saya dan suaminya, ada yang berdesir di hati saya. Tiba-tiba hati saya terasa sesak. Bergantian saya menatap sahabat saya dan suaminya yang masih di panggung. Namun sesak saya nggak ilang-ilang. Tiba-tiba satu pertanyaan muncul di benak saya. Benarkah keharmonisan mereka seperti keromantisan yang saya lihat? Tuluskah romantisme yang disuguhkan suami sahabat saya? Lagi-lagi saya menepis pikiran saya. Saya anggap mungkin saya iri karena Mas Fathur tak pernah bersikap seromantis itu pada saya. Saya buang jauh-jauh semua pikiran itu. Kemudian enam bulan yang lalu. Sebuah peristiwa yang kembali mengingatkan saya pada perasaan sesak yang pernah memenuhi hati saya. Kembali perasaan itu membuat sesak hati saya dan sahabat-sahabat yang lain.
Sahabat saya berpisah dari suaminya. Saya pun hanya bisa berdoa. Semoga batas kesabaran sahabat saya ini berbuah manis. 
Dari manakah datangnya rasa tak nyaman itu? Mengapa kalimat 'ada yang salah' terlintas di kepala saya saat seorang teman itu bercerita? Siapakah yang menjadikan hati saya demikian sesak saat melihat sahabat saya menangis bahagia?
Benar, intuisi bisa dilatih. Berpikiran positif, banyak bermeditasi dan berdzikir, serta membuang perasaan negatif akan membantu kita mempertajam intuisi. Namun intuisi tetaplah istimewa. Bahwa Allah lah yang menggerakkan manusia untuk merasakan isyarat dan firasat. Meski kadang kepekaan itu jarang dipunyai oleh setiap manusia.

3 komentar:

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih