Keinginan sederhana - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Rabu, 04 November 2015

Keinginan sederhana

Sebuah telepon di pagi hari mengantarku menemani adik Mbah Uti ke Jogja, bersilaturahmi ke rumah adik Mbah Uti yang lain. Dua perempuan adik Mbah Uti ini sepantaran dengan Ibuk. Mereka juga yang paling dekat dengan Ibuk. Aku menyebutnya Bu As dan Bu Tin. Rasanya aneh aja menyebut mereka Mbah, karena dari sedari kecil tak ada yang mengoreksi panggilan itu. 

Dua perempuan yang wajahnya mirip dengan Ibuk itu bercakap. Melepas rindu. Apalagi Bu Tin baru saja sakit. Wajah sayu Bu Tin terlihat lebih bercahaya. Senyum dan tawa terhias di wajah perempuan yang usianya hanya terpaut satu tahun dengan Ibuk. Aku senang mendengar gelak tawanya ketika beberapa kali aku melempar candaan. Dan rasanya terbayang masa tuaku nanti bersama adik-adikku ketika mendengar rajukan Bu Tin pada kakaknya.
"Mbak As, bobok sini ya? Aku mbok dikancani."

Beberapa kali ia bercerita tentang putra putrinya. Raut wajah bangga tersirat di wajah yang mulai menyemburatkan warna merah di pipinya siang tadi. Namun tersirat gelisah di wajahnya, ketika bercerita tentang apa yang ia rasakan, apa yang sering ia alami di rumah. Aku sangat tahu. Aku sangat mengerti. Kegelisahan itu juga pernah dirasakan Ibuk. Hanya saja, Ibuk bercerita tentang kegundahannya. Entah kalau Bu Tin. 


Aku biarkan Bu Tin bercerita. Ia memang berkata bahwa membutuhkan teman untuk berbagi cerita. Ia pun bercerita bahwa sakit yang baru saja ia alami mungkin saja dikarenakan pembantunya minta pulang sepuluh hari lalu. Ia merasa bahwa ia kesepian, tanpa ada teman saat berada di rumah.

"Bu Tin, menurut Bu Tin, keinginan terbesar yang Bu Tin rasakan apa sekarang?" pelan aku bertanya.
Bu Tin menarik napas panjang, kemudian tatapannya meluruh sendu.
"Iir mestinya tau apa yang dirasakan ibumu saat anak-anak tak berada di rumah."
"Iya, saya tahu. Tapi saya ingin dengar, apa yang sekarang ini sangat diinginkan oleh Bu Tin."
Ia tersenyum. 
"Mungkin aku yang kurang bersyukur Ir. Yang lain aja sendiri nggak papa, tapi perasaanku kok mesti gini."

Ah ... Aku tahu, itu bukan sebuah jawaban. Itu sebuah pertahanan diri ketika ia tak ingin mengungkapkan sesuatu yang membekap hatinya. Tapi aku ingin ia mengatakan keinginannya itu padaku. Bukan untuk apa-apa, Supaya ia bisa menarik napas lebih lega ketika beban di hatinya ia buka. Setidaknya sedikit saja.

'Saya yakin, sudah banyak sekali yang Bu Tin syukuri dari putra putri Bu Tin. Kesuksesan dan kebahagiaan putra putri Bu Tin ada di depan mata. Ini bukan masalah bersyukur atau tidak. Ini hanya bagian dari kegelisahan orang tua yang sendiri. Iya kan?"
"Iir kok ngerti?"
"Karena Ibuk kan dulu juga pernah merasa sendiri Bu Tin. Setidaknya saya paham keinginan orang tua yang sendiri."

Lagi-lagi Bu Tin menarik napas dan menyandarkan tubuhnya di dinding. Sementara terdengar dengkur halus Bu As yang sudah terbaring dari tadi.
"Coba Bu Tin bilang, apa keinginan terbesar Bu Tin sekarang?"
Sesaat hening kemudian ia membuka suara.
"Wajar kan kalau orang tua ingin berkumpul dengan anak-anaknya?"
"Sangat wajar Bu Tin. Itu juga Ibuk rasakan."
"Tapi mereka sudah punya keluarga sendiri. Mereka sangat sayang sama aku Ir. Sayang mereka luar biasa."
"Saya tau Bu Tin, kecintaan putra putri Bu Tin pasti nggak bisa diukur dengan apapun. Ada lagi keinginan Bu Tin selain berkumpul dengan anak-anak Bu Tin?"
"Aku ingin mereka yang datang ke rumah, nemenin aku. Bukan aku yang dibawa ke rumah mereka. Aku nggak nyaman. Aku nyaman di rumahku sendiri."

Raut kelegaan kulihat berada di wajah yang masih terlihat cantik setelah mengucapkan kalimat itu. Dan berjuta kalimat yang ingin kukeluarkan hanya nyangkut di tenggorokan. Ada yang menyumpal dadaku. Aku seperti mendengar Ibuk yang berbicara. Ibuk pernah berbicara dengan topik yang sama bertahun-tahun yang lalu.

Ya ... keinginan yang sederhana dari setiap ibu yang sekarang hidup sendiri. Ingin menghabiskan masa tua di rumah sendiri, namun ditemani oleh anak-anaknya. Memang bukan satu hal yang mudah juga bagiku dulu saat memutuskan untuk menemani Ibuk, sementara saat itu banyak tawaran datang padaku untuk bekerja di tempat tinggal suamiku. Satu yang menjadi suntikan semangat bagiku. Kata-kata suamiku," Ini saatnya Bunda berbakti pada Ibuk. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?"

Aku mensyukuri keputusan suamiku yang mendukungku menemani Ibuk. Meski dalam perjalannya banyak hal yang menyakitkan karena ungkapan cinta yang sering disalahartikan. Meski kadang ada rasa lelah mendera ketika membersamai perempuan yang pernah mengalami stroke. Perempuan yang kembali seperti anak kecil karena segala keinginannya.

Aku mensyukuri saat aku bisa bersama Ibuk sampai akhir hayatnya. Aku mensyukuri perpisahan yang indah antara aku dan Ibuk setahun lalu. Saat tarikan napas terakhirnya, aku masih membisikkan nama Allah di telinganya.

Aku mensyukuri, aku mengabulkan keinginan Ibuk yang sangat sederhana itu. Ditemani.

Tidak ada komentar:

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih