Menggantung Cita-Cita episode 2 - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Senin, 27 Oktober 2014

Menggantung Cita-Cita episode 2

Pengen ngelanjutin yang tempo hari saya tulis di judul yang sama, menggantung cita-cita. Saya inget banget, belajar nulis via online. Waktu itu ada audisi workshop menulis tulisan inspiratif yang diadakan oleh mbak-mbak kece, Mbak Wylvera Windiyana, Mbak Fita Chakra, Mbak Dyah Rini, dan Mbak Haya Aliya Zaki. Semangat banget saya ngikutinnya. Gimana nggak semangat, tumben banget ada workshop gretongan. Dan saya berasa pede sangat bahwa tulisan saya bagus banget. Secara di note Fb selalu panen jempol. Tapi ternyata, tulisan saya nggak ada apa-apanya dibandingkan temen-temen lainnya. Setiap tugas yang diberikan, teman-teman saya bergiliran jadi tulisan terbaik dan ngedapetin hadiah. Dan saya... panen kritik. Gemes banget, nggak bisa ngedapetin hadiah. Tapi saya dapet banyak banget pelajaran. Bahwa menulis itu nggak segampang yang saya kira. Menulis itu dengan hati. Jangan pernah berpuas hati membaca tulisan kita. Kadang berasa sombong, tulisan kita pasti disukai banyak orang, padahal banyak juga yang beda selera sama kita.

Dari workshop sebulan itu, saya nongkrongin komunitas-komunitas online, meski cuman sekedar silent reader. Tapi saya mulai banyak belajar dari situ. Mulailah saya ikut audisi antologi-antologi yang banyak bertebaran di dunia maya. Dan alhamdulillah lolos. Namun saat saya lolos audisi antologi yang ketiga, saya nggak ngerasa spesial lagi. Saya pengen banget punya buku solo.



Pertemuan saya dengan IIDN Jogja, membawa saya mengenal Mas Dwi Suwiknyo. Awalnya saya memandang remeh. Siapa sih, si Dwi Suwiknyo ini. Nggak kenal tulisannya saya. Tau namanya aja baru kali ini saat disebut-sebut di IIDN Jogja. Tapi naluri saya seperti meminta saya untuk menghubunginya. Dan saya sempet chat dengannya, dengan semangat yang membara tentunya. Kemudian kami bertemu. Halah maakkk... brondong, batin saya. Umurnya aja jauh dibawah saya, seumuran sama adek bungsu saya. Cuman saya salut juga. Di umur yang baru 30, dia sudah membentuk satu komunitas penulis. Pesantren Penulis. Dia membuat komunitas kecil yang isinya 'atlet nulis'.

Saya mulai diminta menulis fiksi. Saya diberi tema, dan diminta membuat outline plus bab 1, 3 sinopsis. Saya seneng juga mulai berlatih sprint menulis. Hanya saja, saat 3 outline itu dibawa ke penerbit rekanan Pesantren Penulis, editornya sih suka, tapi pemiliknya bilang kalau nggak main fiksi dulu. Aiiihh... matek...

Jelas patah semangat dong! Tapi Si Brondong Dwi Suwiknyo itu bisa membangkitkan mood saya. Ngobrol, hahahihi nggak jelas. Memotivasi. Itu yang selama ini saya cari. Memberi semangat untuk belajar. Memberi semangat untuk menulis dengan hati. Belajar membuat narasi. Saya sungguh menikmati prosesnya.

Kemudian satu hari, saya diminta membuat novel biografi. Tentang Aisyah. Waduh... saya belum shalihah. Masih sholikhin terus. Mana bisa bikin novel religi. Batin saya. Tapi Mas Dwi tetap menyemangati. Ada kata-kata yang saya ingat, bahwa ketika kita menulis, kita juga mengaji. Ketika kita menulis sesuatu yang rasanya cuman bisa nulis doang nggak bisa ngelakuin, kita kayak ditampar-tampar. Kita seperti selalu diingatkan.

Saya yang religiusitasnya masih cekak bin jongkok, terpaksalah menulis tentang Aisyah istri Rasulullah. Saya masih setengah hati waktu menulis dari bab 1 sampai bab 3. Tapi ketika Mas Dwi bilang, "Bu, draft Aisyahnya diterima penerbit..."

Uwaaaaa.... Saya ketawa-ketawa sendiri di depan lepi. Mulai hari itu, saya memaksa diri saya untuk menulis secara konsisten, 3 halaman setiap hari. Tiap hari naskah bin naskah yang dipikirin. Sampai lupa waktu. Anak sempet keteteran juga, diprotes anak tiap hari. Haduuuuuuhh...

Eniwei, saya menikmati proses ini. Mata saya berkaca-kaca saat saya menggoreskan kata selesai di akhir naskah. Dan saya sungguh beruntung. Naskah The Beloved Aisyah itu membuka jalan untuk mendapatkan pesanan dari penerbit lain. Penerbit yang awalnya nggak main fiksi tersebut, mengontak saya dan ingin membaca draft naskah The Beloved Aisyah (TBA). Seminggu setelah draft TBA saya kirim via email, saya di sms sang Redpel untuk datang ke kantor. Saya ditawarin nulis novel lagi. Aduuuhh... bukan main senengnya saya. Bukan karena sang Redpel brondong juga. Tapi bagaimana saya dalam waktu sesingkat itu nggak perlu mengetuk pintu dengan naskah saya ke penerbit. Saya yang ditawarin.

Dan setelah itu, saya dihubungi Mas Dwi kembali untuk ngerjain naskah novel biografi lain yang sekarang saya kerjain. Dan lucunya, sedang setor outline naskah novel biografi ini, si editor sudah menyiapkan tema untuk buku non fiksi yang harus saya garap setelah novel saya yang ketiga.

Ah... Ini sudah melebihi dari apa yang saya harapkan. Ya... saya mempunyai cita-cita jadi penulis. Dan saya nggak nyangka Allah memberikan rizki secara beruntun dengan cara yang tak terduga. Meski kemudian Allah juga mengambil satu-satunya orang tua saya yang tersisa, namun saya yakin, Allah akan memberikan keindahan lagi yang saya nggak duga-duga.

Saya kemudian mengingat kata-kata ibuk. Ya... cita-cita itu digantung nggak tinggi-tinggi kan supaya kita bisa meraihnya. Kalau menggantungkan cita-cita setinggi langit, kita hanya bisa ngeliat aja bukan? Ngeliat akan kemampuan kita, kemauan kita, ditambah kesabaran dan ketelatenan serta konsistensi. Di tambah lagi doa yang nggak terputus. Allah nggak akan ngebiarin kita kelelahan tanpa ada senyum yang sudah tergambar di depan sana.

Kata mbakyu saya, kerja keras nggak akan berkhianat. Allah nggak tidur ngeliat kerja keras kita.
Tetaplah ini sebuah proses. Bahwa saya nggak bisa berhenti belajar ketika melalui sebuah proses. Sebuah proses yang kadang bikin saya jungkir balik. Sebuah proses yang menyadarkan saya akan arti sebuah pembelajaran.

Keep spirit to write, Keep on Praying!

Tidak ada komentar:

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih