Peluk untukmu anakku ... - Jurnal Hati Irfa Hudaya

Kamis, 14 Agustus 2014

Peluk untukmu anakku ...

Bismillahirrahmanirrahiim..
Kali ini aku mengawali tulisanku dengan bacaan basmallah. Karena aku ingin apa yang aku tulis bukanlah ledakan emosi semata atau rasa benci. Tidak. Aku menuliskan ini dengan pikiran jernih dan pertimbangan yang matang. Aku memilih untuk menulis di rumah mayaku ini sebagai katarsis untuk mengalirkan rasa yang terasa menyesakkan.

Aku sering membaca kasus kekerasan yang dialami anak di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru maupun sesama siswa. Aku merasa gemas, namun bisa mengerti, tak mungkin pihak sekolah mampu mengawasi anak satu persatu. Bukan berarti aku bisa mengerti jika ada pendidik yang melakukan kekerasan pada muridnya. Meski beban pendidik seberapa besar sulitnya. Seorang guru harus mempunyai anger management yang baik untuk mengatasi polah tingkah anak-anak. Karena setiap anak itu istimewa. Lagipula, ketika seseorang sudah memilih menjadi pendidik, menurutku ia sudah memilih untuk mempunyai kesabaran tingkat dewa.

Hari Selasa yang lalu. Aku diberitahukan seseorang tentang kekerasan yang dialami anakku. Aku tak yakin akan hal itu, karena Lilo sama sekali tak bercerita. Namun sejujurnya ada selintas kekhawatiran akan kebenaran tentang hal itu. Ada sedikit perubahan tingkah lakunya. Namun aku menepis pikiran buruk itu. Lilo tidak cerita. Biasanya, apapun yang terjadi di sekolah ia akan bercerita. Bahkan sampai kesalahannya pun ia bercerita.



Sore hari, sepulang sekolah. Seperti biasa kakaknya sudah heboh bercerita tentang kejadian di sekolah. Tetapi Lilo menyendiri, bermain di teras. Aku panggil Lilo, dan ia mendatangiku. Ia naik ke pangkuanku, lalu mendekapku erat. Hatiku berdesir. Ini tak biasa. Jika ia ingin mendekapku, biasanya ia akan bilang," Aku kangen sama Bunda." atau "Aku saaaaayaaaaang banget sama Bunda."

Setelah melepaskan pelukannya, aku tanya," Adek, bunda denger adek kepalanya dibenturin ke F sama bu X. Bener?"
Dia menundukkan kepalanya. Tak mau menatap langsung ke mataku. Perlahan kemudian, kulihat ia menganggukkan kepala. Sesak rasanya melihat ekspresi anakku. Setelah itu, ia kembali memelukku. Aku mencoba menahan emosiku. Aku ingin mendengarnya bercerita.

"Adek, gimana ceritanya?"
Matanya menerawang menatap langit-langit. Kemudian ia menatapku dengan tatapan sendu.
"Adek lupa."
"Coba diingat-ingat Dek," kakaknya menimpali. Lilo menggeleng.
"Bener ... aku lupa."
Dia berkata lupa, namun sama sekali tak berani menatapku. Ia berbohong. Ia turun dari pangkuanku, kemudian duduk di sebelahku. Namun ia meminta tanganku tetap merengkuhnya. Aku yakin, dia sedang membutuhkan rasa nyaman yang luar biasa.
"Adek kemarin rame po?" Dia menggeleng. AKu gemas karena ia tak mau bercerita. kemudian aku membuat reka ulang dari kejadian itu.
"Misalnya bunda jadi adek, kakak jadi F, trus adek jadi Bu X, apa yang dilakukan Bu X?"
Dia kembali menatap langit-langit, kemudian menatapku. Aku mengangguk dan tersenyum, menyalurkan keberanian supaya ia mau bercerita.
"Kemarin itu kelasnya ada yang rame, ada yang enggak. Aku sama F nggak rame. Trus bu X bilang gini,'ngko nek rame sirahe tak jedhukke lho'. Trus Bu X mau njedukin kepala B dan R, tapi mereka nggak mau. Trus mundurin mejaku, megang kepala kemudian kepalaku diginiin. Maaf ya, Nda, tak pegang kepalanya. "
Dia menirukan apa yang dilakukan oleh bu X padanya.
Sungguh... bukan main nyerinya dadaku. Spontan mataku mengabut dan membuat pipiku menghangat. Aku kembali memeluknya. AKu kembali menciumnya. Aku menyesal tak memperhatikan perubahan-perubahan kecilnya.
"Pusing nggak Dek?" tanyaku sambil mengusap air mata.
"Pusing banget."

Aku tak bisa membayangkan rasanya. Ketika tak sengaja kepala kita terantuk jendela, kita bisa menangis karena sakitnya. Bagaimana rasanya jika kepala diadu dengan kepala?
Aku pun tak berhenti meneteskan air mata jika menatap Lilo.

Kejadian itu terjadi hari Jumat minggu sebelumnya. Itu berarti empat hari sebelumnya. Tak biasanya ia merengek minta dimandiin. Tak biasanya saat dibangunkan untuk Shalat Shubuh ia rewel dan marah. Tak biasanya ia selalu minta kutemani.

Setelah Maghrib aku mencari informasi tentang kejadian itu pada temennya. Dan temennya pun membenarkan cerita Lilo, bahkan menambahkan bahwa saat itu Lilo sedang membaca buku panduannya. Aku merekam pembicaraan kami. Air mataku tak terasa kembali mengalir. Bu X juga seorang ibu. Apakah ia mau anaknya diperlakukan sama dengan anakku? Bolehkah anaknya mengalami kekerasan seperti yang dialami anakku?

Saat suamiku pulang, kami sama-sama merenung. Mencoba berempati dan berpikir apa yang akan terjadi dengan apa yang akan kami lakukan esok hari. Aku menyampaikan pada anak-anak pula kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, dan mereka siap menghadapi.

Pagi hari kami menemui kepala sekolah. Kebetulan saat kami masuk ke kantor ada wali kelas Lilo. Kami bercerita, persis seperti yang disampaikan Lilo dan cerita temen sekelasnya. Setelah itu kami menemui pengurus yayasan, dan alhamdulillah direspon positif.

Aku menuliskan ini bukan dengan rasa marah. Aku hanya ingin berbagi. Tak ada sedikitpun niat untuk memperburuk citra sekolah. Aku hanya ingin tak ada lagi anak-anak yang mengalaminya. Aku hanya ingin Bu X tak lagi punya kesempatan untuk melakukan hal itu lagi. Bukan maaf yang aku inginkan. Tapi kemauan sekolah anakku untuk memberikan yang terbaik untuk anak didiknya. Selalu mengupdate kemampuan pendidik, serta mempertimbangkan kelayakan seseorang menjadi pendidik di sekolah itu. Memberikan yang terbaik, memberikan rasa nyaman dan aman, juga memberikan cinta bagi anak didiknya.

Aku adalah wali murid yang tak menuntut anakku menjadi ranking satu ketika aku menyekolahkan anakku ke sana. Harapanku, anakku bisa menjadi anak yang berkarakter, cinta pada agamanya, tak hanya sekedar doktrin dan dogma yang diterimanya.

Semua ini akan menjadi pembelajaran bagiku. Bahwa aku harus menjadi lebih peka. AKu harus lebih waspada. Andai saja sekolah memfasilitasi pengetahuan-pengetahuan tentang kekerasan pada anak-anak, bisa jadi pendidik akan lebih berhati-hati dalam kegiatan belajar mengajar.

Peluk untukmu anakku. Ini adalah bekal untukmu. Bahwa engkau harus punya keberanian penuh untuk selalu berkata jujur, dan berkata tidak untuk sesuatu yang membahayakanmu.

3 komentar:

  1. Wah..sy jd ikut gemes mbak. Untung anaknya bermental ksatria. Semoga jd org sukses..kedepannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Nuwun mb doanya. Insya Allah Lilo sudah memaafkan

      Hapus
  2. Ya Allah mbak, nangis aku... Huhuhu..

    BalasHapus

Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih